Hingga hari ini Indonesia masih terkurung pada permasalah energi yang tidak kunjung usai, contoh-contoh kecilnya masih sering sekali kita rasakan dalam keseharian, salah satu contohnya adalah ketika terjadi fluktuasi harga minyak dunia. Seketika wacana menaikkan harga BBM kembali hangat. Masalahnya bukan hanya BBM sebagai barang strategis yang dikonsumsi masyarakat luas, tetapi fakta bahwa BBM bukanlah barang yang mutually exclusive, kenaikan BBM seketika akan diikuti oleh kenaikan harga bahan-bahan pokok yang secara tidak langsung akan menurunkan daya beli masyarakat.
[caption id="attachment_403609" align="aligncenter" width="616" caption="Kenaikan BBM dan Kenaikan Harga Bahan Pokok (Hasil Kajian MTI ITB)"][/caption]
Indonesia adalah negara dunia ketiga, hari ini dengan standar bank dunia dengan batas miskin US$ 2 perhari, maka terdapat 108 juta orang yang hidup dibawah garis kemiskinan (sumber: World Bank Review). Kenaikan harga BBM yang praktis diikuti kenaikan harga bahan pokok praktis akan membuat rakyat kecil semakin tercekik.
[caption id="attachment_403610" align="aligncenter" width="612" caption="Peta Persebaran masyarakat miskin Indonesia"]
Masalah BBM adalah contoh permasalahan pertama, contoh kedua adalah fluktuasi harga minyak dunia hari-hari ini dan geopolitiknya. Menurut the economist ada beberapa sebab harga minyak dunia turun, yakni: ekonomi dunia yang sedang melemah (sehingga permintaan menurun), ketidakstabilan Irak dan Libya (sebagai importir minyak) dan booming shale oil (and gas) Amerika. Pada dasarnya fluktuasi harga Minyak dunia adalah fungsi permintaan dan penawaran, mekanisme pasar. Permintaan tinggi harga akan tinggi begitu sebaliknya. Tetapi, banyak hal yang terjadi didalam permintaan dan penawaran itu, disini konsep geopolitik migas bermain.
Selama ini dari konsumsi 90 Juta Barrel/hari minyak dunia, OPEC menyumbang setengahnya atau sekitar 47 Juta Barrel/hari (OPEC Annual Statistical Buletin 2014). Terbentuknya OPEC pada tahun 1960an dilatarbelakangi bukan hanya karena kesamaan sebagai eksportir minyak, tetapi kesamaan kepentingan untuk menjaga harga minyak tetap menguntungkan ke 12 negara ini. Ya, OPEC adalah kumpulan negara eksportir sekaligus kartel minyak, mereka sangat berkepentingan untuk menjaga harga minyak dunia tetap tinggi. Secara historical, sebagai lembaga penyumbang 50% produksi minyak dunia perharinya. OPEC memegang peranan signifikan dalam ‘mengatur’ permintaan dan penawaran minyak dunia. Ketika harga minyak dunia turun, buru-buru lembaga kartel minyak ini akan mengadakan rapat darurat untuk memotong produksi mereka, kemudian pasokan akan turun dan harga minyak akan kembali naik. Salah satu contohnya adalah pada pertengahan 2006, tingginya pasokan terutama dari negara OECD, mendorong harga minyak turun drastis, minyak WTI seharga 73 $/Barrel pada Agustus 2006 turun menjadi 54 $/Barrel pada Januari 2007. Penurunan harga ini mendorong OPEC untuk melakukan rapat darurat mereka dan memutuskan memotong produksi hingga 1,8 Juta Barrel/hari, dampaknya, pasokan menurun dan harga kembali tinggi. Kartel!
[caption id="attachment_403611" align="aligncenter" width="609" caption="Grafik fluktuasi harga minyak dunia (sumber : http://www.nasdaq.com)"]
[caption id="attachment_403612" align="aligncenter" width="609" caption="Grafik fluktuasi harga minyak dunia tahun 2015 (sumber: http://www.nasdaq.com)"]
Kondisi hari ini memberikan contoh lain, turunnya harga minyak dunia sejak akhir tahun lalu, bahkan hingga menyentuh angka 40 $/Barrel membuat OPEC panik, akhirnya mereka mengadakan rapat darurat di akhir 2014 lalu. Sayangnya, kondisi kali ini agak berbeda, rapat darurat mereka tidak mencapai kesepakatan untuk memotong produksi seperti rapat darurat sebelum-sebelumnya. Apa penyebabnya? Salah satu penyebab harga minyak dunia turun adalah karena pasokan yang berlebih, perkembangan Shale oil Amerika salah satu penyebabnya, sebagai jenis energi unconventional, teknologi yang digunakan untuk mengeskploitasi shale oil (Horizontal Drilling dan Fracturing) masih sangat mahal, Jika Arab Saudi bisa memproduksi minyak mentah dengan biaya 5-10 $/Barrel, pengembangan shale oil masih berkisar di harga 60 $/barrel. Oleh karena itu, dalam rapat darurat OPEC di akhir 2014 lalu, Arab Saudi ngotot untuk menjaga harga minyak tetap rendah, tujuannya, pertama agar teknologi pengembangan shale oil tidak berkembang. Kedua, dalam jangka panjang menjaga market minyak mentah mereka.
Dari contoh subsidi BBM kita bertanya, kenapa sering sekali kita kembali dipusingkan dengan subsidi BBM dampak fluktuasi harga minyak dunia? Apakah yang salah dalam sistem tata kelola migas kita?
Dan contoh kedua menunjukkan, geopolitk migas benar-benar nyata, dan dimanakah posisi Indonesia? pemain atau penonton? Lalu harus bagaimanakah langkah selanjutnya?
Kedua contoh ini mengarah pada 1 benang merah, realita migas kita yang begitu parah. Entah dalam hal produksi sehingga kita terombang-ambing dalam fluktuasi harga minyak atau terjebak dalam permainan para kartel minyak.
Kondisi Hulu Migas
Sejak kecil kita terus diceritakan bahwa negaraa ini merupakan negara yang kaya akan minyak, hal ini mungkin salah satu penyebab kita terus boros dalam mengkonsumsi BBM. Padahal faktanya, cadangan minyak kita berada di urutan buncit, hanya 3,7 Miliar Barrel. Bandingkan dengan Venezuela 298 Miliar Barrel dan Arab Saudi 265 Miliar Barrel (OPEC annual report 2014). 1; 100, belum lagi fakta bahwa penduduk kedua negara ini hanya 30 juta jiwa, jauh dari Indonesia dengan 250 Juta Jiwa, masih kaya minyakkah kita? Dimana posisi kita dalam geopolitik migas? Pemain atau penonton yang terus ikut dalam permainan kartel minyak?
Dari segi produksi dan konsumsi tidak jauh menyedihkan, di era 1970an kita pernah menjadi eksportir minyak, saat itu kita pernah mencapai produksi 1,5 juta barrel/day dan konsumsi masih jauh dibawah 1 juta barrel. Hari ini segalanya berubah, pertumbuhan penduduk yang diikuti dengan pertumbuhan ekonomi yang begitu cepat menyebabkan konsumsi BBM meningkat tajam, hari ini saja sudah menginjak 1,5 juta barrel perday, sementara konsumsi masih terseok-seok di angka 840 Juta barrel. Wajar rasanya kita masih dipusingkan dengan subsidi BBM terus menerus.
Dua contoh permasalahan tadi harusnya menyadarkan kita akan kondisi yang sedang sangat genting dari hulu migas kita. Konsumsi terus meningkat sementara produksi terus menurun. Padahal 49% penggunaan energi kita masih terpaku pada minyak bumi.
“Dependence on imports would mean that a country would never be independent” (Friedrich Ratzel (1908)
Tidak ada makna kemandirian energi jika tidak ada tawaran solusi yang dijalankan, seperti diungkap Ratzel dalam quotesnya itu, selamanya kita akan menjadi negara pengekor , terombang ambing dalam permainan para kartel minyak.
Menurut saya setidaknya ada beberapa tawaran solusi yang bisa dijalankan untuk menyelesaikan permasalahan ini, tapi yang pasti memang tidak ada solusi instan. Solusi yang penulis ajukan adalah sebagai berikut:
1.Beralih ke Pengembangan Energi Baru Terbarukan dan Unconventional Energy
Perlahan mau tidak mau suka tidak suka kita harus beralih dan memperbesar porsi EBT dalam penggunaan Energi di Indonesia. Kita sudah memiliki energy ix 2025, tetapi bagaimana keberjalanannya? Sangat lambat. Padahal ini salah satu cara untuk mengurangi ketergantungan kita dari Impor minyak. Mengurangi konsumsi minyak bumi. Selain itu, kita harus sudah memulai membahas dan mengembangkan Unconventiona Energy, yaitu: shale oil, shale gas, tight sand gas dan coal bed methane. Hari ini pembahasan unconventional energy masih sangat minim, bahkan di ranah lembaga intelektual dan kampus di ITB, kuliah tentang unconventional baru dimulai tahun lalu. Padahal, inilah salah satu alternatif pengganti conventional energy sejenis minyak bumi. Dan faktanya, Indonesia memiliki potensi Coal Bed Methane (Gas Metana Batubara) sangat besar, yakni 453 TCF.
Pengembangan shale oil di Amerika tidak dimulai 1-2 tahun ini, coba cek dokumen lembaga energi mereka, bahkan rencana pengembangan unconventional energy sudah dimulai dari tahun 1980an.
2.Mendorong dan memberi kepercayaan kepada Pertamina untuk lebih agresif dan ekspansif
Dalam hal ini kita perlu belajar dari negara-negara lain, khususnya China dan Brazil. Kedaulatan energi sangat erat kaitannya denagn peran NOC didalam negara tersebut. NOC dari negara-negara OPEC seperti Saudi Aramco, NIOC, KOC, PDVSA Venezuela dan QP Qatar menguasai 90% produksi domestik mereka. Pertonas Malaysia dan CNPC China bahkan menguasi masing-masing-masing 60 hingga 70% produksi domestik. Apa kabar Pertamina? Tidak lebih dari 20%.
Petrobras awalnya adalah NOC kecil, karena mayoritas cadangan minyak mereka berada di dasar Samudra Atlantik. Namun kemudian pemerintah Brazil mendukung penuh keinginan Petrobras untuk mengeksplorasi cadangan minyak mereka di laut dalam tersebut. Pengalaman di laut dalam akhirnya membuat mereka ‘terpaksa’ mengembangkan teknik dan teknologi baru, hingga khirnya Petrobras terkenal sebagai NOC ahli laut dalam dengan teknik pengeboran metode gravity and magnetic, hasilnya Petrobras tidak tergantung impor dan mereka menguasai lebih dari 90% produksi domestik mereka.
“Apa yang membuat kami begitu berbeda dengan perusahaan migas internasional lain adalah kenyataan bahwa Petrobras awalnya dibentuk sebagai perusahaan hulu. Kenyataan ini mebuat komitmen kami tidak berubah sampai hati ini. Semboyan kami adalah tantangan adalah energi kami” Petrobras
Lain Petrobras lain pula NOC China. Cadangan negara ini memang besar, sekita 24 Miliar Barrel, tetapi konsumsi sebagai dampak pertumbuhan ekonomi juga tidak kalah besar, tahun 2012 saja China mengkonsumsi 5 Juta Barrel minyak/hari nya. Untuk menutupi produksi domestik yang sanagt terbatas, pemerintah China membuat konsep yang dikenal sebagai Go International! Sebuah konsep mendukung NOC mereka untuk ekspansif mencari ladang-ladang minyak ke luar negara mereka. Tidak tanggung-tanggung, 3 NOC mereka, yakni: Sinopec, CNPC dan CNOOC masing-masing memiliki tugas spesifik yang berbeda-beda, tetapi tetap dalam satu koridor menjaga keamanan pasokan minyak mereka. Sinopec bertugas sebagai perusahaan komersial sekaligus fungsi investor, CNOOC bergerak disektor hulu ke luar negeri dan layanan teknik. Sementara CNPC mengoperasikan proyek hulu di lebih dari 30 negara melalui anak perusahaannya Great Wall drilling Co.
Apa yang dilakukan pemerintah Brazil, China dan negara-negara lainnya di dunia mengandung makna yang sama, yakni: berikan dukungan dan kepercayaan kepada National Oil Company.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H