Ini kisah anak-anak dipelosok, yang mungkin sebelum ini sama sekali kita tidak mengenal daerah itu. Sebut saja daerah itu bernama Desa gantung, Kabupaten Gantung, Belitung Timur. Didesa itulah berdiri sebuah sekolah kecil, bahkan nyaris roboh, Sekolah Dasar Muhammadiyah namanya. Siang hari untuk aktivitas belajar-mengajar dan malam hari ruang kelas sekolah itu digunakan untuk kandang ternak.
Hari itu adalah hari yang penting, keputusan apakah sekolah itu akan dilanjutkan atau dibubarkan karena tidak memenuhi syarat minimal jumlah murid. Hingga siang itu murid yang datang baru berjumlah 9 orang, padahal syarat minimal yang diberikan Dinas pendidikan setempat minimal harus ada 10 murid agar sekolah itu bisa dinyatakan tetap berjalan. Pak Harfan Efendy Noor sebagai kepala sekolah SD Muhammadiyah was-was, bahkan ia sudah pasrah, siap memberikan pidato penutupan sekolah.
Menit-menit akhir sang penyelamat datang, Harun namanya, anak yang memiliki keterbelakangan mental. Kedatangan harun menjadi awal cerita 10 anak di SD Muhammadiyah.
SD pelosok dengan fasilitas seadanya dan guru yang minim, nyatanya tidak menyurutkan semangat aktivitas pengajaran di SD Muhammadiyah. Bu Muslimah sebagai salah satu guru di SD itu terus memberikan dedikasi terbaiknya untuk anak-anak didiknya, beliau mengajarkan anak-anak didiknya untuk bermimpi setinggi-tingginya.
Hambatan dalam proses pengajaran pasti ada, anak-anak itu tidak seluruhnya anak-anak yang tinggal di daerah dekat sekolah. Lintang salah satunya, setiap hari ia harus mengayuh sepeda sejauh 40 KM melewati hutan-hutan demi menerima ilmu dari sang guru.
Kisah anak-anak SD Muhammadiyah semakin berwarna ketika harus bersaing dengan SD PN Timah yang memiliki fasilitas jauh diatas SD Muhammadiyah. Dan dalam keberjalanannya, dalam sebuah lomba cerdas cermat, SD Muhammadiyah akhirnya membuktikan mereka dapat mengalahkan SD PN Timah, meskipun dalam hal infrastruktur dan pendukung sekolah mereka sangat minim, berbanding terbalik dengan SD PN Timah.
Beberapa tahun kemudian, dikisahkan satu persatu murid SD Muhammadiyah mulai menapaki jalur mimpi mereka, lkal salah satunya, yang akhirnya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studinya di Eropa.
***
Kisah diatas adalah ringkasan salah satu novel yang akhirnya di jadikan film beberapa tahun lalu, Laskar Pelangi namanya. Awalnya hanya sedikit orang yang mengenal daerah belitong, tapi kemudian melalui Novel ini, daerah itu menjadi terkenal. Bukan hanya itu, novel itu adalah gambaran salah satu kondisi pendidikan di pelosok negeri ini. Andrea Hirata ingin ‘menelanjangi’ fakta bahwa kemerataan pendidikan masih menjadi barang mahal di republik yang memiliki cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa ini. Novel dan Film Laskar Pelangi bukan hanya salah satu instrumen sebagai hiburan bagi masyarakat, tapi ada pesan yang sangat penting didalamnya.
“Ini loh salah satu realita pendidikan kita”“ini loh kondisi infrastruktur pendidikan di daerah”
Selain itu Laskar Pelangi juga ingin mengabarkan, di pelosok Indonesia, ada merah putih juga, meskipun dengan fasilitas yang jauh berbeda dengan kota, dipelosok sana ada anak bangsa juga, yang memiliki mimpi memajukan bangsanya, yang memiliki mimpi dapat mengenyam pendidikan sebagaimana layaknya.