Mohon tunggu...
denny prabawa
denny prabawa Mohon Tunggu... Editor di Balai Pustaka -

penulis, penyunting, penata letak, perancang sampul, pedagang, pensiunan pendaki, dan masih banyak lagi sederet identitas yang bisa dilekatkan kepadanya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Film Masha dan Semiotika Saussure

3 November 2015   22:51 Diperbarui: 3 November 2015   23:47 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="masha dan babinya (youtube.com)"][/caption]Saya lupa pernah membaca dari buku siapa, tapi saya ingat perkataan itu terkait teori semiotika struktural. Sepanjang yang saya ingat, perkataan tersebut berbunyi begini: secara fitrah, manusia akan berpikir secara oposisi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, oposisi adalah pertentangan antara dua unsur bahasa untuk memperlihatkan perbedaan arti. Guru-guru kita di SD sering menyebutnya sebagai antonim atau lawan kata.

Dalam teori semiotika Saussurean, sebuah tanda memiliki makna bukan karena hakikat tanda tersebut, melainkan karena direlasikan dengan tanda lainnya. Salah satu bentuk relasi tersebut adalah relasi oposisi. Secara sederhana bisa dikatakan, kata “kaya” bermakna banyak uang karena ada kata “miskin” yang bermakna tidak punya uang.

Membaca perkataan yang saya lupa siapa yang mengatakannya tersebut, saya langsung ingat dengan salah satu episode dalam serial televisi “Masha dan Beruang” yang pernah saya tonton (beberapa kali) bersama anak-anak saya.

Suatu kali, Masha keluar dari rumah dengan membawa dorongan bayi. Semua hewan yang melihatnya langsung sembunyi. Hanya si Babi yang tidak menyadari keberadaan Masha karena telinganya sedang disumpal earphone. Masha langsung memakaikan popok dan menyumpal dot ke mulut si Babi, lalu menaikkannya ke kereta bayi. Setelah itu, Masha mendorongnya ke rumah si Beruang. Ia berperan sebagai ibu yang ingin minta susu kepada si Beruang untuk “bayinya”.

Masha mendorong kereta bayinya sangat kencang, hingga ketika sampai di halaman rumah si Beruang, ia terjatuh dalam kubangan. Si Beruang segera memandikan Masha dan menjahitkan pakaian baru untuk Masha. Setelah bajunya selesai dijahit, Masha pergi ke kulkas. Ia membuka kulkas dan memanjatnya untuk mengambil toples berisi susu. Akibatnya, toples itu terjatuh dan mengguyur Masha.

Si Beruang kembali membuatkan baju baru untuknya. Namun, kejadian tersebut berulang kembali. Sampai si Beruang tak punya lagi bahan untuk dijahit. Ia mencari ide. Ketemu! Si Beruang melepas popok yang dikenakan si Babi dan memakaikannya kepada Masha, lalu menaikkan Masha ke kereta bayi dan menyuruh si Babi menggantikan peran Masha sebagai ibu. Berhasil! Masha memainkan perannya sebagai bayi—meski terlihat kesal. Ia diam saat si Babi yang kini menjadi “ibunya” mendorongnya kembali ke rumah.

Dalam tayangan tersebut, ada oposisi ibu-anak. Ibu diperankan oleh Masha dan anak diperankan oleh si Babi. Untuk mengubah prilaku Masha, si Beruang mengubah perannya yang semula sebagai ibu menjadi seorang anak. Tayangan itu begitu menginspirasi saya.

Belakangan ini, Tebing Cakrawala, anak pertama saya, sangat resistensif. Semua yang dikatakan orang tuanya pasti dibantahnya. Ketika saya katakan, “Tebing sekolah, ya.” Dia akan langsung menjawab, “Enggak sekolah.” Saat saya tanyakan, “Tebing ada PR ya?” Ia akan menjawab, “Enggak ada PR.” Tiba-tiba, dia begitu suka mengucapkan kata “tidak”.

Sebagai orang tua yang masih belajar menjadi orang tua, tentu saja saya sempat kesal juga. Namun, sebagai orang tua yang kebetulan belajar linguistik, saya teringat dengan ucapan seorang ahli semiotika struktural yang saya tidak ingat namanya sebagaimana saya kemukakan di awal. Barangkali, otak Tebing sedang belajar mengolah informasi secara oposisi. Dia sedang belajar antonim.

Semalam, saya mencoba mempraktikkan apa yang dilakukan oleh si Beruang terhadap Masha. Si Beruang menggubah peran Masha sebagai ibu menjadi oposisi ibu, yakni anak. Sambil melaju di atas Thunder merah yang mulai terlihat semakin tua, saya katakan kepada Tebing, “Besok Tebing enggak sekolah, ya?” Tebing langsung menjawab, “Sekolah, kok, Yah.” Lalu saya coba mengucapkan kalimat lainnya, “Tebing enggak ada PR, ya?” Sebagaimana dugaan saya, Tebing menjawab, “Ada PR, Yah, tapi udah dikerjain di sekolah.”

Beberapa hari lalu, waktu Rayya, adiknya Tebing meletakkan buku di kasur, saya mengatakan kepadanya, "Ini jangan taruh di sini, Ya."

"Nih, taruh di sana," kata Rayya sambil menyerahkan bukunya kepada saya.

Tentu saja, saya tidak berani mengatakan, apa yang terjadi dengan Tebing dan Rayya merupakan bukti dari kebenaran perkataan seorang ahli yang saya lupa siapa namanya itu. Namun, setidaknya, hal itu dapat dianggap sebagai hipotesis yang perlu dibuktikan secara ilmiah. Demikian. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun