Untuk apa Denny JA mengklaim bukunya sebagai “Genre Baru Sastra Indonesia” yang segera menyejajarkan dirinya dengan pembaharu, seperti Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sutardji Calzoem Bachri, atau Afrizal Malna, kalau pada akhirnya dia mengatakan dirinya belum pantas dimasukan dalam 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh?
Buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaru disusun oleh Tim 8 yang beranggotakan Jamal D. Rahman, Agus R. Sarjono, Ahmad Gaus, Acep Zamzam Noor, Berthold Damshäuser, Joni Ariadinata, Nenden Lilis, dan Maman S. Mahayana. Bisa dikatakan, buku tersebut hasil kerja keras mereka. Namun, ketika muncul petisi menolak buku tersebut karena ada nama Denny JA yang dianggap belum pantas dinobatkan setinggi itu, tidak satu pun anggota Tim 8 yang berusaha membela hasil kerja mereka. Reaksi justru muncul dari Denny JA.
Jika benar yang dikatakan Denny JA bahwa ia tak hendak dan belum merasa pantas dimasukkan dalam buku itu, bukankah perkataannya itu sejalan dengan pendapat orang-orang yang menolak keberadaannya dalam buku itu karena memandangnya belum pantas?
Perkataan Denny JA tidak merepresentasikan realitas sesungguhnya. Oleh karena itu, perkataannya dapat diklasifikasikan sebagai tanda dusta, yakni tanda yang tidak simetris dengan realitas. Tanda A yang merepresentasikan realitas B. Perkataanya “Saya tak hendak” bermakna “Saya hendak”. Alasannya, “Belum merasa pantas” bermakna “Sudah merasa pantas”. Demikianlah pembacaan saya atas perkataan Denny JA dalam tulisannya yang ia publikasikan di situs inspirasi.co.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI