Dalam satu diskusi santai saya dengan salah seorang pejabat Ahli Utama Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, pekerjaan guru yang bersifat admnistratif dialihkan modanya ke dalam bentuk aplikasi/digital. Dengan kata lain, apa yang dilakukan guru di seluruh Indonesia hari-hari ini, menyusun Rencaha Hasil Kerja (RHK), istilah lain dari Sasaran Kinerja Pegawai (SKP), melalui Platform Merdeka Mengajar (PMM) merupakan pekerjaan administrasi. Tentu saja, saya menganggap kegiatan itu penting, meski kata "administrasi" menjadi "musuh" bagi kebanyakan guru, termasuk saya.
Alasannya sederhana, mengapa "administrasi" menjadi semacam "musuh bersama" (common enemy) bagi kebanyakan guru. Pertama, pekerjaan mencatat aktivitas, menulis Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Rencana Tahunan, Rencana Semester yang dibundel rapi, hanya berhenti pada tataran kertas.Â
Ia jarang, bahkan dapat dikatakan, tidak pernah dijadikan rujukan untuk dilaksanakan di dalam kelas. Dokumen-dokumen tersebut terpajang berbaris-baris untuk kepentingan akreditasi atau monitoring evaluasi dari pihak terkait. Singkat kata, tumpukan kertas yang tebal itu digunakan untuk menunjukkan bahwa saya telah mengajar, telah bekerja sehingga eligible mendapatkan uang sertifikasi pendidik.
Kedua, tumpukan-tumpukan dokumen tersebut seperti dibuang sayang. Ia terlantar dalam waktu yang panjang dan baru dicari-cari kembali saat Dinas Pendidikan mengeluarkan surat edaran penghitungan angka kredit untuk kenaikan pangkat. Tumpukan administrasi tersebut dibuka kembali, dokumen yang hilang dicari, kemudian dibundel kembali sehingga membawa kesan bila tumpukan dokumen yang dimiliki tinggi menjulang menunjukkan bahwa saya layak naik pangkat, karena telah keras bekerja.
Ketiga, karena mengetik, menggandakan, membundel dokumen, menyita waktu, dan juga uang tentunya, tidak sedikit guru disibukkan untuk mengerjakan itu, sehingga siswa di kelas menjadi korban. Siswa mengerjakan tugas yang diinstruksikan oleh gurunya. Menjawab soal, membuat ringkasan, atau membuat laporan, sejatinya pekerjaan administrasi yang dilakukan oleh siswa. Singkat cerita, guru dan siswa, dalam proses pendidikannya larut dalam kegiatan administrasi. Celakanya, tugas-tugas yang dikumpulkan siswa bertumpuk bak Gunung Himalaya, tanpa umpan balik. Tersimpan berantakan di meja guru dan tidak pernah dikembalikan kepada siswa.
Wajar bila hasil Program for International Student Assesment (PISA), Indonesia kalah telak dengan negara kecil tetangganya, Singapura. Negeri Singa ini menduduki urutan pertama pada PISA tahun 2022, menggeser China. Sementara Indonesia, masih berada di papan bawah. Bisa jadi penyebabnya, ya itu tadi, guru-guru disibukkan dengan tugas-tugas administrasi (paper works).
Seperti yang saya katakan di atas, bahwa administrasi itu penting bila ia diterapkan di dalam kelas, namun menjadi mubazir saat ia hanya menjadi ongokan kertas yang menegaskan terjadinya praktik action bias. Merasa bekerja, padahal tidak. Nampaknya kebiasaan menumpuk-numpuk kertas ini membangun mindset bahwa guru telah menjadi educator dengan bukti kertas-kertas tersebut. Padahal, dokumen RPP bila ia difungsikan seperti flight plan seorang pilot yang melakukan check list dalam setiap kegiatannya, ia menjadi penuntun arah yang baik dalam kegiatan pembelajaran yang berkualitas. Lagi-lagi, dengan catatan, ia dijalankan di kelas.
Pada RPP tercantum tujuan pembelajaran, langkah-langkah melaksanakan tujuan tersebut dalam kegiatan pembelajaran, dari mulai pembukaan hingga penutup sekaligus dimuat pula cara melaksanakan penilaian formatifnya, guru tidak akan banyak berpikir atau improvisasi saat waktu masih banyak tersisa sementara bahan materi di hari itu sudah habis. Tidak akan terjadi hal itu, karena pada RPP, guru telah merencanakan sesuai durasinya. Yang ada biasanya, waktu terasa singkat sebelum materi di hari itu selesai. Tidak jarang juga, untuk kelas selanjutnya, RPP yang tadi telah digunakan mengalami penyesuaian.
Nah, terjadi saat ini, saat seluruh kegiatan belajar mengajar, harus diabadikan dengan jepretan foto selfie atau candid, kemudian itu menjadi salah satu bagian laporan, lalu guru mengikuti kegiatan pengembangan diri sesuai RHK yang ia sepakati, lalu membuat laporan, di tengah kegiatan KBM yang menyita waktu dan tenaga. Pertanyaan kritisnya, mampukah guru menjalankan tugas utamanya sebagai pendidik (educator) yang membimbing siswa, mengarahkan dan mengingatkan siswa, memecahkan masalah siswa di rumah dan hal-hal lain yang itu semua terlalu besar untuk direkam dalam dokumen-dokumen administrasi.
Saya masih ingat dulu, banyak guru yang membuat Penelitian Tindakan Kelas (PTK) untuk naik pangkat, beberapa diantaranya meminta saya membuatkan PTKnya. Entah dokumen PTK itu dibaca oleh tim penilai ataukah tidak, namun yang pasti, isi PTK itu seringnya tidak mencerminkan kondisi kelas yang diajar oleh guru tersebut. Saya pun menyangsikan apakah guru mampu meluangkan waktu untuk menulis paragraf demi paragraf hingga tersusun puluhan bahkan ratusan lembar PTK sementara di sekolah saya jarang melihat guru-guru tersebut membuka laptop dan mengetik laporan PTKnya. Tidak elok bila saya mengatakan ada pabrik oligark PTK.
Lebih parah lagi dalam kegiatan Penilaian Kinerja Kepala Sekolah (PKKS), di tahun 2022 terdapat instrumen yang menagih dalam wujud dokumen. Saya menyebutnya "laporan yang mengadi-adi". Misalnya, sekolah memiliki "Laporan Hasil Evaluasi Kegiatan". Ini jelas mengada-ada. Bisa dibayangkan, untuk satu kegiatan seperti Penilaian Akhir Semester, terdapat dokumen program (rencana kegiatan), kemudian setelah selesai hasil pelaksanaan dilaporkan dalam bentuk "Laporan Kegiatan", di dalam dokumen tersebut, terdapat bab evaluasi. Nah, mengikuti instrumen PKKS tersebut, sekolah harus membuat "Laporan Evaluasi Kegiatan Penilaian Akhir Semester" yang sebenarnya sudah ada pada dokumen Laporan Kegiatan.