4. Merefleksi setiap hari
Perlu waktu untuk memulai dan membiasakan slow living. Kita terbiasa cepat, sat set, instan, ingin cepat selesai, sehingga lupa menikmati dari seluruh kegiatan kita. Padahal, ini yang terpenting dalam aktivitas kita sebagai manusia. Menyelami makna lelah, letih, dan segala hal yang berhubungan dengan kehidupan kita. Bukankah menjadi tua adalah kemestian dan menjadi bijaksana adalah pilihan? Bijaksana akan terjadi saat kita mampu menikmati seluruh kegiatan dan memaknainya.
Ada beberapa catatan dalam memaknai slow living ini. Pertama, membuat lambat (getting slower) ini berlaku untuk kegiatan yang bukan ibadah wajib. Shalat, berpuasa, membayar zakat, dan berhaji harus dilakukan secara segera. Tidak boleh dilambat-lambatkan. Sementara urusan dunia, yang bukan kewajiban, dapat mulai dibuat lambat. Dalam konteks pekerjaan, nampaknya selama masih sebagai karyawan, agak repot kita untuk masuk pada slow living, terlebih perusahaan yang menegakkan target ketat untuk kinerja.Â
Ada baiknya mulai berpikir untuk bekerja di perusahaan yang lebih longgar secara aturan, atau membuka bisnis, atau bekerja di sektor yang kita dapat mengatur jadwal dan kegiatan kita sendiri. Berbicara tempat bekerja, berkaitan dengan kebutuhan. Para karyawan terjebak dalam urusan ini. Satu sisi, ingin slow living, tapi sisi lain perusahaan atau tempat bekerja menuntut bekerja by target, disaat yang bersamaan, kita masih membutuhkan penghasilan untuk membayar seluruh penghidupan kita. Semoga ada solusi terbaik, sehingga kita benar-benar dapat menikmati kehidupan dalam kegiatan kita.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H