Tiga puluh tahun yang lalu, aku gagah dengan seragam kebanggaanku. Menjelajahi nusantara, dari sabang sampai merauke. Meninggalkan isteri dalam masa penantian anak kami, demi sebuah perjuangan untuk ibu pertiwi. Kukecup keningnya teriring doa untuk anakku yang pertama. Semoga, walaupun tanpa kehadiran raga, jiwa ku akan bersamanya disaat tangisan pertama menggema dibumi yang kusayang. Tatapan mata seakan bertutur memintaku untuk bersamanya, karena seminggu lagi adalah hari yang kami nanti, kelahiran anak pertamaku.
Kubelai rambutnya dan kubisikkan :”Ma…ini demi Negara”. Dia pun melepas tanganku, walaupun tatapannya berkata “jangan pergi”. Kuyakinkan diri dan kuserahkan semua pada Tuhan.
Kenangan itu tidak bisa lepas dari ingatan walaupun usia sudah senja. Air mata pun tak bisa dibendung disaat melihat bungsuku menjajakan minuman ringan diperempatan jalan ibu kota sepulang dari sekolah. Aku melihat seragam ku dulu yang tergantung disamping jendela, Seragam Bukit Barisan bengkok merah. Masihkah aku bangga dengan itu ?
Aku hentikan lamunanku, segera aku menyusun semua panci dan periuk kedalam kardus karena besok kami harus meninggalkan rumah ini, digusur untuk pembangunan pabrik milik orang Tionghoa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H