Di tahun 2014, upaya Pilkada dipilih DPRD pernah dicoba, tapi akhirnya dibatalkan Presiden SBY. Survei opini publik saat itu menunjukkan lebih dari 80 persen rakyat menolak haknya memilih langsung pemimpin dicabut.
Rakyat banyak akan mudah sekali membalikkan dukungannya karena merasa haknya untuk memilih pemimpin diambil alih.
Jika ratusan kepala daerah dipilih DPRD, siapa yang akan menjadi gubernur, wali kota, dan bupati sepenuhnya hanya masalah "kesepakatan" 3-5 ketua umum partai politik di Jakarta saja. Pemilihan kepala daerah akan sangat elitis untuk sistem politik presidensial.
-000-
Pro kontra Pilkada Langsung Versus Pilkada Lewat DPRD
Pilkada langsung telah membawa kemajuan dalam demokrasi, memungkinkan rakyat memilih pemimpin sesuai aspirasi. Namun, tantangan besar terus menghantui, seperti money politics yang meluas, tingginya biaya kampanye, dan meningkatnya angka golput.
Politik uang merusak integritas demokrasi, mengalihkan fokus kandidat dari pelayanan publik ke modal politik. Sementara itu, biaya kampanye yang besar memaksa kandidat bergantung pada donatur, membuka potensi konflik kepentingan.
Selain itu, partisipasi pemilih yang menurun di beberapa wilayah menunjukkan lemahnya kepercayaan publik terhadap proses politik.
Namun, menghapus Pilkada langsung adalah langkah mundur. Pilkada langsung memaksa pemimpin untuk bertanggung jawab kepada rakyat, bukan kepada partai.
Isu seperti money politics dapat diatasi dengan reformasi regulasi: memperketat pengawasan dana kampanye, meningkatkan transparansi anggaran kandidat, serta memberikan sanksi tegas terhadap pelanggaran.
Penyelenggaran pilkada juga dapat dibuat di tahun yang berbeda dibandingkan pemilu nasional (Presiden, DPR). Â Menyelenggarakan pilkada setelah dan di tahun yang sama dengan Pilpres dan Pileg acapkali membuat pilkada hanya mendapatkan sisa enerji politik dari pemilih.