Namun, jika kita melangkah mundur ke dalam sejarah, kita akan menemukan bahwa semua agama besar di dunia baru muncul dalam 1% terakhir dari sejarah Homo sapiens.
Homo sapiens telah ada selama lebih dari 300.000 tahun, tetapi agama-agama seperti Hindu, Yahudi, Kristen, dan Islam baru muncul dalam rentang 2500 tahun terakhir.
Sebelum itu, manusia sudah mengenal konsep kebaikan dan keburukan melalui hubungan sosial mereka. Artinya, agama-agama yang ada saat ini adalah warisan budaya yang berkembang untuk menjawab kebutuhan manusia pada zamannya.
Dalam berbagai tulisan dan orasi, saya menyatakan  "Agama adalah warisan kultural milik kita bersama." Agama tidak hanya dimiliki oleh penganutnya, tetapi oleh seluruh umat manusia yang menjadi bagian dari sejarahnya.
Merayakan hari raya agama lain adalah bentuk pengakuan terhadap warisan ini, sebuah cara untuk menghormati perjalanan panjang manusia dalam mencari makna.
Menghormati Agama dengan Cara Baru
Kita hidup di era baru peradaban. Teknologi, globalisasi, dan akses informasi telah mengubah cara kita memandang dunia.
Menghormati agama hari ini bukan lagi hanya tentang memisahkan diri untuk menjaga batas-batas identitas.
Sebaliknya, Â ia tentang mengembangkan empati terhadap sisi esoteris agama dan melakukan universalisasi atas prinsip-prinsip kebaikan dan keadilan yang dikandungnya.
Tradisi ikut merayakan hari raya agama lain adalah langkah maju dalam perjalanan ini. Ia mengajak kita untuk melampaui sekat-sekat eksklusivitas, menemukan titik temu dalam nilai-nilai universal yang menghubungkan kita sebagai manusia.
"Empati adalah bahasa universal. Saat kita merayakan kebahagiaan orang lain, kita sedang menciptakan dunia yang lebih damai."