Mohon tunggu...
De Be Roha
De Be Roha Mohon Tunggu... Guru - Penulis adalah guru di SMA Negeri DKI Jakarta

Nama Lengkap : Deni Boy Pekerjaan : Pengajar SMAN 87 Jakarta Tinggal di Sawangan Depok Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kasihan Ibuku

25 Agustus 2020   21:16 Diperbarui: 25 Agustus 2020   21:23 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di mata aku, kakak dan adikku, ibu adalah sosok yang paling baik. Kebaikan ibu menurun dari ayahnya atau kakek kami. Harta peninggalan turun temurun selalu disisihkan untuk masyarakat yang membutuhkannya, secara adil, tentu saja ada ketentuan yang harus dipenuhi agar dapat tertib dan lancar, serta maksud dan tujuan dapat tercapai.

Suatu malam, Ibu mengumpulkan kami anak-anaknya. Tidak ada yang membantah, sepenting apapun kegiatan di luar sana, jikalau ibu yang memanggil, kegiatan diluar harus dipending, ditunda ataupun dibatalkan. Hanya satu yang dapat membatalkan perintah ibu, yaitu perintah Allah. Begitulah kami sangat menghormati dan patuh pada Ibu.

"Anak-anakku semua, kalian dengar ya. Kekayaan kita ini semuanya berasal dari Allah, dan kita wajib menyebarkannya kepada makhluk Allah yang lain, yang membutuhkannya. Dari dulu semenjak moyang kalian, hal ini sudah dijalankan, maka sudah sepantasnya kita tetap menjaga tradisi ini, sebagai salah satu bentuk rasa bersyukur pada Allah SWT." Begitu penjelasan dan sedikit pengajian dari ibu. Kami semua mengiyakannya.

Tibalah hari yang dinantikan semua kami. Pengumuman sudah pula disebarkan setelah mendapat persetujuan dari RT, RW bahkan Kecamatan. Ibu sudah duduk di bangku di teras rumahnya. Aku dan kakak adikku sibuk menyiapkan bungkusan-bungkusan serta beberapa dus disusun rapi di depan. Pagar depan masih ditutup, dan akan dibuka pukul 8.00 WIB. Security sudah siap di depan pagar.

Pukul 7.45 WIB semua persiapan sudah selesai. Ibu mulai memantau lewat layar CCTV. Kami anak-anaknya sudah menempati pos-pos yang sudah ditentukan. Pagar dibuka, satpam memeriksa suhu tubuh masyarakat yang masuk, kemudian menyruh cuci tangan, dan memastikan masyarakat memakai masker. Semua berjalan tertib dan lancar, masyarakat begitu senang mendapat pembagian dari ibu. Ada yang langsung melakukan sujud syukur, ada juga yang mengucapkan 'Puji Tuhan'. Tidak sedikit juga yang biasa-biasa saja hanya mengucapkan 'Alhamdulillah'.

Seharian kami bekerja dengan senang hati, hanya istirahat saat sholat dan makan siang. Kemudian dilanjutkan lagi hingga pukul 16.00 WIB. Ibu sangat senang melihatnya. Pagar mulai ditutup karena waktu pembagian sudah selesai. Ibu baru akan beranjak ke belakang, tiba-tiba pagar digedor-gedor oleh beberapa orang dari luar. Ibu kaget dan melirik. Dengan gerakan mata, Satpam mendekati dan bertanya kepada orang yang menggedor pagar.

"Pak... Ada apa menggedor pagar?"

"Tidak adil... tidak adil. Kami juga orang miskin, kami juga butuh bantuan. Kenapa kami tidak diperbolehkan?" Teriak seorang ibu muda di luar. "Apakah ibu warga sini?" Tanya Satpam lembut, karena ibu mengajarkan demikian. "Memangnya saya tidak boleh?" Pertanyaan ibu tadi disambung lagi oleh ibu-ibu dan bapak-bapak yang lain, sehingga tidak jelas apa yang disampaikan. 

Ibuku kembali pada kursinya, duduk memperhatikan. "Kami akan laporkan keluarga kalian." Teriak salah seorang dari belakang. Ibu hanya tersenyum. "Bapak-bapak, ibu-ibu dan saudara sekalian. Kami sudah melaksanakan dengan baik, sesuai ketentuan." Satpam menjelaskan kepada mereka menggunakan megaphone.

Seorang utusan dari Kecamatan datang dan masuk menemui ibu, kami semua mendampingi ibu. "Bu... apakah tidak mungkin keluarga ini memberikan bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan itu?" Beliau meminta. "Pak... kami sudah memberikan kepada mereka yang membutuhkan, kami berikan kepada mereka yang sesuai ketentuan yang sudah kami sebarkan sebelumnya." Ujar ibu lembut. "Benar bu, ini adalah kekayaan keluarga ini, tapi akan lebih bijak ibu bisa membantu mereka." Ujar petugas itu lagi. Ibu kembali tersenyum, kemudian berdiri dan beranjak ke belakang, sambil mengumpulkan kami anak-anaknya. Kamipun turut ke belakang meninggalkan petugas.

"Anak-anakku semua. Sekarang ibu meminta kalian, untuk mengeluarkan uang yang ada di kantong kalian, baju yang kalian pakai, jam tangan, cincin, gelang, kalung, dan apapun yang berharga di tubuh kalian. Kumpulkan di atas ranjang itu. Kalian boleh memakai pakaian yang biasa saja." Tegas, jelas suara ibu kepada kami. Tidak ada satupun yang berani membantah. Semua yang disampaikan ibu langsung dikerjakan dengan ikhlas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun