Net-Zero Emissions (NZE) atau kalau di artikan secara bebas sebagai nol-bersih emisi telah menjadi isu yang hangat dan menarik untuk di bahas dalam beberapa tahun belakangan ini. Terjadinya perubahan iklim bumi secara drastis telah menyadarkan masyarakat dunia khususnya para pemimpin negara.
Mereka terhenyak ketika pulau - pulau kecil mulai menghilang dari peta dunia dikarenakan semakin tingginya permukaan air laut, atau banyaknya korban tewas karena suhu tinggi akibat gelombang panas.
Banyaknya bencana yang terjadi di hampir seluruh belahan dunia telah mengentakkan kita semua bahwa bumi sebagai “rumah” kita saat ini dalam kondisi kritis dan perlu segera diselamatkan.
Tugas menyelamatkan bumi tidak hanya menjadi tanggung jawab para pemimpin dunia khususnya negara-negara maju, namun menjadi tanggung jawab setiap individu yang hidup dan masih menikmati kehidupan di bumi ini. Kita tidak bisa melemparkan kesalahan hanya pada segelintir orang di dunia ini.
Perubahan iklim yang terjadi di bumi merupakan akibat dari perilaku manusia itu sendiri.
Bencana yang terjadi di seluruh dunia tidak pernah memilih siapa yang akan menjadi korbannya, entah itu kaya atau miskin, berpendidikan tinggi atau rendah, orang desa atau orang kota, pengusaha atau para petani. Selagi semuanya masih tinggal dan berpijak di bumi yang sama maka selalu ada kemungkinan akan terkena dampaknya.
Net-Zero Emissions tidak hanya sekedar cita-cita atau sebatas komitmen dari para pemimpin dunia. Namun, harus menjadi satu pemahaman yang dapat menyadarkan seluruh masyarakat dunia, tak terkecuali seluruh rakyat Indonesia yang merupakan bagian dari penduduk dunia.
Sebaik apa pun kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tanpa dukungan masyarakat yang memahami tujuan dari kebijakan itu, maka implementasi yang ingin dicapai tidak akan pernah maksimal.
Apalagi Indonesia telah ikut meratifikasi United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang berisi 26 pasal. Hal tersebut menunjukkan kesediaan Indonesia sebagai bangsa untuk terikat secara legal atas semua keputusan yang ada terkait perubahan iklim.
Oleh karena itu, pemahaman masyarakat mengenai Net-Zero Emissions perlu dibangun, tentunya dengan cara yang disesuaikan dengan lingkungan masing-masing, struktur sosial, maupun pendidikan.
Hal itu menjadi penting sehingga masalah Net-Zero Emissions tidak hanya menjadi milik dan konsumsi sebagian masyarakat atau elit birokrasi saja, namun milik semua tingkatan struktur masyarakat.
Dari Literasi ke Perilaku
Keberhasilan Net-Zero Emissions baik di Indonesia atau pun di seluruh dunia akan tergantung dari seberapa besar peran serta masyarakat di dalamnya. Jika kita bicara Net-Zero Emissions tidak hanya dalam konteks pengaruh terhadap lingkungan akibat industri dalam skala besar, tapi juga diakibatkan oleh perilaku harian masyarakat.
Literasi mengenai Net-Zero Emissions menjadi penting dan perlu dilakukan sedari dini dalam lingkungan masyarakat untuk membentuk kesadaran komunitas. Pemahaman yang berjenjang perlu di mulai dari keluarga sebagai strata terkecil dalam struktur masyarakat hingga tatanan tertinggi.
Kesadaran komunitas yang terbentuk akan menjadi kekuatan besar dan akan memberikan dampak yang signifikan pada tata kelola emisi di Indonesia.
Indonesia sebagai salah satu negara dengan penduduk terbanyak di dunia memiliki potensi dan kesempatan untuk berkontribusi pada program Net-Zero Emissions.
Menurut sensus BPS 2020 jumlah penduduk Indonesia sebanyak 270,20 juta jiwa yang 64,69% didominasi oleh generasi milineal hingga Post Gen Z dimana mayoritas mereka sudah melek IT.
Indonesia pada 2030-2040 diperkirakan akan mendapatkan bonus demografi, potensi SDM yang besar tersebut dapat menjadi “tulang punggung” literasi di Indonesia khususnya terkait isu Net-Zero Emissions. Bisa dibayangkan besarnya dampak positif yang dapat dihasilkan.
Mari kita ambil contoh hal kecil dan sederhana di lingkungan masyarakat atau rumah tangga sehari – hari yang dapat memberikan dampak baik bagi lingkungan, misalnya penggantian lampu pijar, lampu neon atau neon kompak (CFL) disebut ‘lampu hemat energi (LHE)’ dengan lampu LED (Light Emitting Diode). Lampu LED menurut para ahli memiliki kelebihan antara lain hemat energi, daya tahan lama dan ramah lingkungan.
Dikutip dari ehow.com lampu LED memiliki masa hidup 60.000 jam apabila dibandingkan dengan lampu neon yang hanya 10.000 jam. Bohlam LED hanya menggunakan sekitar setengah watt dari lampu CFL, atau sekitar 6 watt daya dibanding daya 14 watt untuk bola lampu CFL.
Bohlam LED dengan masa hidup 60.000 jam hanya membutuhkan sekitar 340 kilowatt jika dibandingkan dengan bola lampu CFL yang digunakan selama 60.000 jam (6 lampu) maka akan menggunakan listrik sekitar 840 kilowatt.
Kesimpulannya penggunaan bola lampu LED sangat efisien dan murah. itu baru dari pergantian lampu, bagaimana kalau kita melakukan penghematan dalam penggunaan AC, televisi dan alat elektronik lainnya di rumah.
Selain hemat dari segi konsumsi listrik rumah tangga, dampak berganda lainnya yang akan didapat seperti berkurangnya pengeluaran rumah tangga untuk listrik. Dampak yang lebih luasnya adalah efisiensi dalam penggunaan bahan bakar fosil yang masih banyak digunakan oleh pembangkit listrik di Indonesia.
Kita semua tahu kalau penggunaan bahan bakar fosil memberikan kontribusi yang besar bagi terjadinya efek rumah kaca akibat meningkatnya emisi karbon.
Kegiatan lainnya yang dapat memberikan kontribusi bagi kebaikan lingkungan adalah pemanfaatan lahan atau ruang kosong di sekitar rumah kita.
Kegiatan seperti menanam beraneka tanaman seperti tanaman hias, sayur-sayuran, buah-buahan atau jika lahan agak luas bisa menanam tanaman tahunan seperti jati, akasia, coklat, pinang dan lainnya.
Kegiatan dalam skala besar yang dilakukan dalam bentuk komunitas yang peduli terhadap lingkungan seperti penanaman kembali hutan bakau, atau hutan yang gundul. Kita sejak sekolah dasar telah diajarkan kalau tanaman tersebut memiliki fungsi penting dalam menyerap CO2 di alam.
Yang perlu digaris bawahi adalah hal sekecil apa pun yang dilakukan masyarakat selain berkontribusi bagi kebaikan lingkungan sekitar, tapi juga akan memberikan kontribusi bagi peningkatan ekonomi masyarakat.
Apalagi jika kegiatan tersebut dapat dilakukan secara berkesinambungan. Disinilah pentingnya literasi dalam merubah perilaku masyarakat, akan lebih baik jika ditanamkan sejak usia dini.
Dukungan pemerintah dan stake holder lainnya menjadi penting dalam memberikan informasi secara berkelanjutan sebagai daya dukung literasi kepada masyarakat.
Kita jangan menjadikan informasi yang ada hanya sebagai bahan diskusi para ahli, materi dalam seminar akademik, atau pun bahan rapat para pejabat semata.
Namun, informasi dapat disebar melalui banyak ruang sehingga mudah bagi masyarakat untuk mengaksesnya.
Jangan jadikan masyarakat sekedar objek kebijakan tetapi hendaknya diberikan peran yang sesuai dengan keadaan masyarakat itu sendiri, sehingga kesadaran dan tanggung jawab itu timbul di semua lini kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H