Pandemi Covid-19 yang terjadi di Indonesia telah berlangsung lebih dari satu tahun sejak diumumkan pertama kali pada bulan Maret 2020, dan belum menunjukkan perubahan sama sekali. Malahan, seperti yang telah diprediksi oleh pemerintah dan banyak pengamat, bahwa setelah hari lebaran dan adanya ketidakpatuhan sebagian masyarakat terhadap kebijakan pelarangan untuk mudik, hingga dalam beberapa hari ini terjadi lonjakan yang signifikan. Kasus baru harian Covid-19 mencapai rekor tertingginya, tembus hingga lebih dari 20 ribuan perhari.Â
     Pemerintah akhirnya mengambil kebijakan pemberlakuan PPKM Darurat Jawa dan Bali yang mulai berlaku 3 Juli -- 20 Juli 2021, setelah melihat kondisi bed occupancy rate (BOR) di sejumlah rumah sakit di Pulau Jawa telah mencapai di atas 90%. Setiap kebijakan pasti memiliki dampak, dengan kondisi yang ada sektor ekonomi menjadi terdampak cukup berat dan sektor pariwisata menjadi bagian di dalamnya.Â
    Kondisi yang terjadi saat ini menyebabkan makin lamanya pemulihan di sektor pariwisata. Padahal sebelum pemberlakuan PPKM darurat pun sektor pariwisata masih 'berdarah -- darah' menghadapi kondisi yang tak pasti. Industri pariwisata memiliki efek berganda (multiplier efect) yang sangat besar, dalam kondisi normal mampu memberikan dorongan positif bagi semua sektor lainnya baik terkait langsung maupun tidak langsung. Namun, dengan kondisi seperti sekarang ini efek berganda tersebut memiliki efek balik yang mengkhawatirkan. Seperti efek domino, menurunnya jumlah wisatawan mampu meruntuhkan satu persatu usaha yang terkait dengan sektor pariwisata.Â
     Kita ambil salah satu contoh di salah satu sektor penunjang industri pariwisata yaitu penerbangan dimana Garuda maskapai milik nasional mengalami kesulitan likuiditas, dimana utang Garuda mencapai 70 triliun (money.kompas.com,04/06/2021), dikarenakan hal tersebut jumlah pesawat yang dioperasikan Garuda  sekarang hanya 53 pesawat dari sebelumnya 142 pesawat.  Belum lagi sebanyak 1.033 restoran telah tutup secara permanen di seluruh Indonesia (detikfinance,5/2/2021).Â
     Menurut Badan Pusat Statistik, pada bulan Mei 2021 tercatat  jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia mencapai 155.610. Jumlah  kunjungan tersebut menurun 3,85 persen jika dibandingkan periode yang sama pada tahun 2020 atau year on year (yoy). Namun, jika dibandingkan dengan April 2021, jumlah kunjungan wisman Mei 2021 meningkat 24,48 persen.Â
    Bali, seperti dikutip dari databoks (1/7/2021) sebagai salah satu barometer pariwisata di Indonesia di bulan Mei 2021 hanya tercatat sebanyak sembilan kunjungan jumlah wisatawan mancanegara, tidak jauh berbeda dengan April 2021 yang sebanyak sembilan kunjungan. Adapun total kunjungan turis asing ke Bali pada Januari-Mei 2021 tercatat sebanyak 42 kunjungan.Â
    Kondisi pariwisata yang terjadi secara nasional tentu saja memberikan implikasi langsung terhadap pariwisata di daerah lain termasuk bagi pariwisata Bangka Belitung tentunya. Sejauh mana pengaruh PPKM Darurat terhadap pariwisata Bangka Belitung khususnya pada triwulan II.Â
    Apabila kita melihat kondisi pariwisata di Bangka Belitung berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada triwulan I dan pertengahan triwulan II relatif belum menunjukkan perubahan yang signifikan. Memang ada kenaikan di bulan Mei 2021 sebesar 14,93%  dibandingkan bulan Apri 2021. Namun, kondisi tersebut tidak mempengaruhi Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel  yang turun dari bulan April 2021. Kondisi tersebut sebanding dengan penurunan jumlah penumpang angkutan udara dari dua bandara yang ada di Bangka Belitung, dimana peurununan sebesar 7,74% di bandara H.As. Hanndjoeddin dan 16,86% di bandara Depati Amir.
      Tujuan dari PPKM Darurat adalah membatasi ruang gerak masyarakat yang ada Jawa dan Bali di tempat-tempat umum, kecuali sektor-sektor esensial. Artinya jangankan untuk berwisata, untuk bekerja pun di batasi dengan work from home (WFH). Kondisi tersebut akan memberikan Implikasi langsung ke pariwisata Bangka Belitung.Â
     Mengapa demikian? Pertama, seperti yang kita ketahui bahwa Jakarta dan sekitarnya merupakan pasar utama wisatawan domestik ke Bangka Belitung. Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DKI Jakarta, kontribusi Jakarta terhadap ekonomi Indonesia pada tahun 2019 sebesar 17 -18 persen, dengan  Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kapita atau rata-rata pendapatan penduduk tertinggi di Indonesia sebesar Rp260,44 juta (www.cnnindonesia.com,22/06/2021).Â
     Faktor kedua, Jakarta merupakan hub dari dan ke seluruh Indonesia termasuk ke Bangka Belitung. Maka, dengan adanya PPKM Darurat, pemberlakuan pembatasan perjalanan akan semakin ketat tidak hanya sebatas prokes dan tes anti gen atau PCR, dimana harus menunjukkan bukti surat tugas dan sertifikat vaksinasi. Maka masyarakat maupun pegawai yang memiliki rencana ke Bangka Belitung baik dalam rangka wisata atau pun bekerja akan menahan diri untuk bepergian.
     Ketiga, jumlah wisatawan asing yang berkunjung masih terbatas akibat selain masih tingginya kasus harian di negara-negara utama pasar wisatawan asing, adanya aturan ketat bagi WNI ataupun WNA dari luar negeri yang masuk ke Indonesia seperti yang tertuang dalam Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2021 tentang Pengaturan Pelaku Perjalanan Internasional, antara lain harus karantina 8 hari, menunjukkan sertifikat vaksin Covid-19 dosis lengkap selain wajib tes PCR maksimal 3x24 jam sebelum keberangkatan.Â
    Melihat kondisi yang ada, dapat diproyeksikan bahwa kondisi pariwisata di Bangka Belitung akan tetap tertekan, belum akan ada perubahan yang signifikan seperti diharapkan di awal tahun. Wajar apabila pemerintah menganggap masalah kesehatan menjadi begitu krusial, karena membaiknya masalah kesehatan yang diindikasikan dengan landainya grafik kasus harian Covid-19 akan memberikan angin segar bagi dunia usaha tak terkecuali pariwisata.Â
    Pentingnya pencapaian target vaksinasi untuk mencapai herd immunity adalah kunci utama untuk mencapai kondisi tersebut, tentu saja dukungan masyarakat dengan meningkatkan protokol kesehatan dan mengabaikan informasi hoax apa pun terkait Covid dan vaksinasi. Tanpa kedua hal tersebut maka harapan untuk menekan penyebaran Covid-19 hanya halusinasi semata. Kebijakan apa pun yang diambil pemerintah terkait ekonomi akan sulit dijalankan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H