Mohon tunggu...
Denny Abdurrachman
Denny Abdurrachman Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar Masalah Sosial | Disabilitas | Pendidikan | Pendidikan bagi Disabilitas

email: dennyabdurrachman20@gmail.com blog: kakikukeram.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah Tempat Belajar atau Tempat Memaksa untuk Belajar?

19 September 2022   17:04 Diperbarui: 19 September 2022   17:32 773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya rasa, sebagian guru ketika melihat peserta didiknya di kelas sering bolak-balik ke kamar mandi, hal yang dipikirkannya adalah bahwa anak ini tidak betul-betul tertarik belajar. Bagaimana tidak, setiap kali waktu dia selalu meminta izin ke belakang, setelahnya dia minta izin ke belakang kembali, begitu seterusnya. 

Saya rasa ada benarnya juga asumsi guru bahwa anak tersebut memang tidak tertarik untuk mengikuti pembelajaran. Ketika di kelas dia mengantuk begitu hebat, sedang ketika keluar kelas, seketika sirna rasa kantuknya. Bahkan lebih parahnya, dia seperti lebih gembira ketika keluar kelas ketimbang mendengar penjelasan guru yang berlangsung selama berjam-jam.

Guru yang tidak suka melihat tingkah polah peserta didik tersebut, pasti langsung menghakimi secara membabi buta. Dibilangnya lah anak ini malas belajar, dibilangnya juga anak ini banyak tingkah, dibilangnya juga anak ini tidak disiplin dan tidak tau aturan. Guru melihat letak persoalan berada pada individu peserta didik tersebut, bukan pada akar penyebab persoalan.

Saya rasa di antara kita yang menjadi guru  pernah mengalami dalam kondisi tersebut. Kita seringkali menganggap persoalan peserta didik dengan mengkambinghitamkan peserta didik secara langsung. Kita menganggap bahwa guru adalah sumber benar yang luput dari keliru. Sehingga kita jarang sekali merefleksi diri kita sendiri.

Coba sejenak kita refleksi, sebetulnya yang membuat peserta didik tidak tertarik untuk mengikuti pembelajaran apakah karena memang mereka betul-betul malas belajar atau justru cara mengajar kita yang membuat mereka tidak tertarik untuk belajar sehingga seringkali keluar kelas untuk mencari pelarian.

Sejenak kita menelisik, apa yang membuat anak-anak menjadi tidak tertarik untuk belajar. Apakah metode dan cara mengajar kita yang tidak menarik, materi yang kita sampaikan tidak mereka butuhkan, atau justru sikap kita terhadap peserta didik yang menjadi pemicu hal tersebut. 

Saya coba melihat diri saya di masa lalu. Betapa masa remaja saya, saya habiskan  dengan begitu semrawut. Saya bangun pagi, berangkat ke sekolah tanpa tujuan yang jelas. Saya tidak betul-betul tertarik untuk belajar. Ketika itu, saya ke sekolah hanya untuk membesarkan hati ibu saya yang sudah capek-capek memasukan saya ke sekolah dan membekali saya uang jajan. Sesekali saya juga bolos, karena malas bertemu dengan guru yang saya anggap tidak menarik.

Guru tersebut seringkali mengesampingkan saya di dalam kelas. Selama belajar dengannya, saya terus menerus dianggap medioker yang tidak serius ikut belajar di kelasnya. Dalam beberapa kesempatan, beberapa materi yang disampaikan membuat tergugah untuk belajar. Tapi alih-alih kami  kami di kelas dituntut menjadi pendengar setia dari dongeng-dongeng materi yang disampaikan guru tersebut. 

Tidak sekalipun kami diminta pendapat mengenai materi belajar yang disampaikan. Tidak terjadi pertukaran informasi di antara guru dan peserta didik, maupun antara peserta didik dengan peserta didik. Kami diposisikan sebagai makhluk yang tidak tahu apa-apa. Tapi di lain waktu kami diposisikan sebagai makhluk yang harus memahami hal-hal yang  tidak benar-benar kami sukai, bahkan lebih jauh kami benci. 

Singkatnya, ruang kelas dimaknai sebagai tempat menghapal beragam materi, berlatih mengerjakan soal agar bisa tuntas setiap ulangan demi ulangan, setiap ujian demi ujian. Guru tidak menjembatani kami untuk tertarik dan mau belajar. Guru tidak memberikan rangsangan agar kami bergairah dan ketagihan belajar. Sebetulnya kami tidak sedang belajar, tapi kami sedang dipaksa supaya belajar.

Lalu, bagaimana memberikan rangsangan agar peserta didik bergairah dan ketagihan belajar?

Saya rasa, yang perlu menjadi pijakan adalah bahwa sekolah tidak lagi dipandang sebagai tempat guru mencurahkan materi dan peserta didik sebagai wadah penerima materi. Tujuan besarnya bukan untuk mendapatkan nilai yang baik, tetapi menguasai sejumlah keterampilan yang diperoleh dari proses belajar. 

Lebih jauh bahwa sekolah dianggap sebagai ruang untuk pengembangan diri, untuk mengisi ruang pikiran peserta didik dengan beragam pengetahuan yang relevan dengan situasi dunia nyata peserta didik serta mendorong peserta didik mengaitkan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka. Sehingga ada pemaknaan dan kebermaknaan dalam proses belajar.

Kini, hasil belajar bukan selalu tentang nilai dan deskripsi rapor. Melainkan kemampuan peserta didik dalam memecahkan masalah, kemampuan beradaptasi, keterampilan hidup yang dapat dikuasai, serta sebuah sikap untuk menikmati proses belajar dengan rasa gembira. Peserta didik bisa belajar dalam arti yang sesungguhnya, menjadi menusia yang kaya ilmu lahir batin, dalam suasana ceria penuh makna. Sekolah dianggap menjadi tempat yang menyenangkan untuk didatangi dan berlama-lama di dalamnya.

 

   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun