Saya rasa, sebagian guru ketika melihat peserta didiknya di kelas sering bolak-balik ke kamar mandi, hal yang dipikirkannya adalah bahwa anak ini tidak betul-betul tertarik belajar. Bagaimana tidak, setiap kali waktu dia selalu meminta izin ke belakang, setelahnya dia minta izin ke belakang kembali, begitu seterusnya.Â
Saya rasa ada benarnya juga asumsi guru bahwa anak tersebut memang tidak tertarik untuk mengikuti pembelajaran. Ketika di kelas dia mengantuk begitu hebat, sedang ketika keluar kelas, seketika sirna rasa kantuknya. Bahkan lebih parahnya, dia seperti lebih gembira ketika keluar kelas ketimbang mendengar penjelasan guru yang berlangsung selama berjam-jam.
Guru yang tidak suka melihat tingkah polah peserta didik tersebut, pasti langsung menghakimi secara membabi buta. Dibilangnya lah anak ini malas belajar, dibilangnya juga anak ini banyak tingkah, dibilangnya juga anak ini tidak disiplin dan tidak tau aturan. Guru melihat letak persoalan berada pada individu peserta didik tersebut, bukan pada akar penyebab persoalan.
Saya rasa di antara kita yang menjadi guru  pernah mengalami dalam kondisi tersebut. Kita seringkali menganggap persoalan peserta didik dengan mengkambinghitamkan peserta didik secara langsung. Kita menganggap bahwa guru adalah sumber benar yang luput dari keliru. Sehingga kita jarang sekali merefleksi diri kita sendiri.
Coba sejenak kita refleksi, sebetulnya yang membuat peserta didik tidak tertarik untuk mengikuti pembelajaran apakah karena memang mereka betul-betul malas belajar atau justru cara mengajar kita yang membuat mereka tidak tertarik untuk belajar sehingga seringkali keluar kelas untuk mencari pelarian.
Sejenak kita menelisik, apa yang membuat anak-anak menjadi tidak tertarik untuk belajar. Apakah metode dan cara mengajar kita yang tidak menarik, materi yang kita sampaikan tidak mereka butuhkan, atau justru sikap kita terhadap peserta didik yang menjadi pemicu hal tersebut.Â
Saya coba melihat diri saya di masa lalu. Betapa masa remaja saya, saya habiskan  dengan begitu semrawut. Saya bangun pagi, berangkat ke sekolah tanpa tujuan yang jelas. Saya tidak betul-betul tertarik untuk belajar. Ketika itu, saya ke sekolah hanya untuk membesarkan hati ibu saya yang sudah capek-capek memasukan saya ke sekolah dan membekali saya uang jajan. Sesekali saya juga bolos, karena malas bertemu dengan guru yang saya anggap tidak menarik.
Guru tersebut seringkali mengesampingkan saya di dalam kelas. Selama belajar dengannya, saya terus menerus dianggap medioker yang tidak serius ikut belajar di kelasnya. Dalam beberapa kesempatan, beberapa materi yang disampaikan membuat tergugah untuk belajar. Tapi alih-alih kami  kami di kelas dituntut menjadi pendengar setia dari dongeng-dongeng materi yang disampaikan guru tersebut.Â
Tidak sekalipun kami diminta pendapat mengenai materi belajar yang disampaikan. Tidak terjadi pertukaran informasi di antara guru dan peserta didik, maupun antara peserta didik dengan peserta didik. Kami diposisikan sebagai makhluk yang tidak tahu apa-apa. Tapi di lain waktu kami diposisikan sebagai makhluk yang harus memahami hal-hal yang  tidak benar-benar kami sukai, bahkan lebih jauh kami benci.Â
Singkatnya, ruang kelas dimaknai sebagai tempat menghapal beragam materi, berlatih mengerjakan soal agar bisa tuntas setiap ulangan demi ulangan, setiap ujian demi ujian. Guru tidak menjembatani kami untuk tertarik dan mau belajar. Guru tidak memberikan rangsangan agar kami bergairah dan ketagihan belajar. Sebetulnya kami tidak sedang belajar, tapi kami sedang dipaksa supaya belajar.