Mohon tunggu...
Denny Eko Wibowo
Denny Eko Wibowo Mohon Tunggu... Dosen - Long Life Learner - Enthusiast in Research of Performing Arts and Culture

D3 Bahasa Jepang Univ.Diponegoro - S1 Seni Tari ISI Yogyakarta - S2 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM - Dosen Tari Universitas Universal Batam

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tradisi Kondangan: Ungkapan Syukur Mengawali Hari Penting

10 Mei 2022   00:50 Diperbarui: 10 Mei 2022   01:15 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seminggu setelah hari raya Idul Fitri ternyata masih menjadi waktu penting bagi masyarakat Jawa Tengah yang ada di Desa Telukan, Wanglu, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten. Momen Bada Kupat (dibaca: Bodo Kupat) atau Lebaran Ketupat atau Bada Sawal ditandai dengan selebrasi sederhana yang penuh makna. Pasalnya, tradisi Kondangan telah banyak dipahami masyarakat setempat sebagai ungkapan syukur atas waktu dan ruang yang masih bisa dialami bersama. Tradisi Kondangan menjadi kebiasaan yang diturunkan secara turun temurun dari generasi terdahulu secara lisan. 

Kali ini, tradisi Kondangan dilaksanakan di rumah kakek saya yang bernama Mantodiharjo (dianggap yang paling tua di lingkungan sekitar). Senin pagi (9/4), rumah kakek kedatangan beberapa tetangga sekitar yang menghantarkan makanan dalam wadah berupa tenong atau tampah. Uniknya, yang menghantarkan wadah-wadah berisi makanan ini adalah kaum perempuan. Mereka menyiapkan makanan yang telah dimasak matang semalam atau jelang subuh. Bergiliran atau bersamaan mereka menaruh wadah-wadah tersebut di ruang tamu rumah kakek yang telah dialas dengan tikar sederhana. Sesaat setelah semua wadah-wadah tersebut hampir terkumpul, seorang pemimpin tradisi Kondangan atau seringkali disebut modin kali ini bernama Sukarno, mengajak beberapa laki-laki disekitar rumah (termasuk saya) untuk duduk sila, mendekat pada wadah-wadah tersebut. Tampak, tradisi Kondangan akan segera dimulai seraya nenek membuka tutup wadah-wadah tersebut satu persatu. 

Tenong berisi kupat, jangan sambel, dan docang

(dokumentasi: Denny Eko Wibowo, 9 Mei 2022)


Doa-doa baik dipanjatkan dalam bahasa Arab dan sedikit wejangan dalam bahasa Jawa. Saya dan beberapa laki-laki yang ada di tempat itu 'mengamini' setiap doa yang dilafazkan. Akhirnya acara doa pun usai, modin lantas menyuruh kami untuk ngrahabi atau menyantap makanan yang ada di hadapan. Bentuk aktivitas makan ini dilakukan dengan cara mengambil makanan dari berbagai tenong atau tampah. Saya melontarkan pertanyaan "Pakdhe, niki pareng dipendet?" (sambil mengarahkan telapak tangan pada tenong yang lain). "Nggih, monggo mas dipendet mawon, campur boten napa-napa". Serunya seperti mencicipi menu dari berbagai rumah. Meskipun berbeda orang yang memasak makanan tersebut, semua makanan yang telah disajikan dan didoakan terasa sangat lezat, ditambah dengan dhahar kembul (makan bersama) membuat kian hangat dan intim. 

Tenong adalah wadah makanan khas yang terbuat anyaman bambu dalam bentuk bulat berdiameter sekitar 1 meter, terdiri dari wadah dan tutup. Mungkin, saya hanya bisa menemuinya di Klaten, pun jika ada di tempat lain bentuk dan namanya pasti berbeda. Makanan yang ada di dalam tenong kali ini adalah ketupat, jangan sambel (sayur sambal goreng), dan docang (campuran kelapa muda parut dengan kacang tholo). Ternyata, menu ini hanya disajikan saat Bada Kupat, sebab saat tradisi Kondangan pada hari raya Idul Fitri, tidak disajikan ketupat dan docang. Tiap-tiap hantaran wadah diselipkan uang lembar Rp. 5.000,- yang disebut sebagai 'wajib'. Jangan dianggap makna 'wajib' sama dengan istilah untuk keharusan. Tetapi, dalam tradisi syukur masyarakat Jawa 'wajib' menjadi pelengkap kekurangan dari sesuatu yang disajikan. 

Nilai kearifan lokal dalam tradisi Kondangan yang berkaitan dengan doa, kuliner dan sikap orang Jawa tampak nyata. Sungguh luar biasa, sehingga kemudian saya mencermati beberapa hal dari peristiwa tersebut. Pertama, kebutuhan mewujudkan rasa syukur untuk mengawali hari penting dilakukan dengan mengolah kuliner dan menyajikannya dengan sebaik-baiknya, tentu tiap-tiap rumah mempunyai rasa masakan yang berbeda satu sama lain. Hal ini menarik sebab pengolahan bahan pangan merupakan salah satu bentuk budaya manusia, dan ini bukan gambaran dari sebuah kompetisi antar rasa masakan, tetapi kompetisi untuk menyajikan hidangan terbaik dalam sebuah ruang kemuliaan dan syukur bersama. Dari sini, kita dapat cermati betapa ketahanan pangan di lingkungan tersebut menjadi semakin kuat, dengan adanya cara mengolah masakan yang bervariasi setiap tahun selebrasi. Kedua, adanya dhahar kembul (makan bersama) menjadi gambaran interaksi sosial yang bersifat egaliter atau setara. Pun, modin sebagai pemimpin acara dan kakek sebagai sesepuh turut bercampur dalam kesederhanaan. Ketiga, keberadaan 'wajib' menjadi gambaran karakteristik orang Jawa yang instropektif. Manusia yang selalu melihat kekurangan diri sendiri, dan berupaya melengkapi kekurangan dengan sesuatu yang proporsional dalam konteks budaya masyarakat setempat.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun