Sebuah postingan akun facebook @Kodim 0213 & Jajaran memperlihatkan peristiwa tergerusnya jalan aspal yang menghubungkan Kecamatan Gomo dengan Kecamatan Boronadu di Kabupaten Nias Selatan, tepatnya di Desa Hilina'a Kecamatan Gomo.Â
Dalam gambar terlihat bagaimana aliran Sungai Gomo yang deras menggerus sisi jalan hingga membuat jalan raya terputus sepanjang kurang lebih 50 meter. Bukan hanya sampai di situ, aliran banjir terus menggerus hingga ke sisi sebuah rumah di seberang jalan.
Kejadian ini berlangsung pada Minggu, 15 Oktober 2023. Banjir disinyalir berawal dari curah hujan tinggi yang membuat luapan banjir bergeser menerjang sisi jalan dan membuat jalan amblas. Selain terputusnya jalan, aliran listrik turut terdampak akibat tiang listrik dan trafo yang berdiri disisi jalan ikut terseret banjir.
Peristiwa luapan banjir sungai yang 'berhasil' memutus jalan raya di Kecamatan Gomo bukan peristiwa pertama yang terjadi di Kepulauan Nias. Hal serupa sering terjadi diberbagai daerah di Indonesia. Terlebih jika memasuki musim penghujan, berita serupa akan sering kita baca, dengar dan tonton dari media-media pemberitaan.
Dari beragam peristiwa tersebut, yang menarik untuk dicermati adalah seberapa paham dan mampukah kita untuk bisa belajar dari keadaan tersebut. Jalan yang terputus akibat luapan banjir atau rumah yang rusak, hancur bahkan hanyut tergerus banjir menjadi fenomena yang perlu dicari jawabnya.Â
Jawaban dari sebuah pertanyaan sederhana, mengapa jalan atau rumah penduduk bisa tergerus luapan banjir sungai?, dapat menggiring kita menemukan beberapa fakta lapangan yang memang perlu diluruskan kembali.
1. Fakta awal yang perlu dicermati adalah begitu dekatnya jarak bangunan infrastruktur umum dan privat dengan aliran sungai. Di berbagai tempat, kita dapat dengan mudah menemukan fakta ini. Bahkan ada bangunan yang berdiri diatas bantaran sungai. Â
Pembangunan fasilitas umum maupun pribadi di sepanjang daratan di kedua sisi aliran sungai pada dasarnya tidak disarankan bahkan Pemerintah melarang hal ini dilakukan. Area daratan di kedua sisi sungai disebut sempadan sungai. Sedangkan bantaran sungai dimaknai sebagai ruang antara tepi palung sungai dan kaki tanggul sebelah dalam yang terletak di sisi kiri kanan palung sungai yang masih dialiri air.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 28/Prt/M/2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau, lebih gamblang mengatur tentang area sempadan pada sungai. Permen PUPR ini mengatur sempadan pada sungai tidak bertanggul dan bertanggul di kawasan perkotaan serta diluar perkotaan.
Garis sempadan sungai tidak bertanggul di kawasan perkotaan berjarak minimal 10 meter (sungai dengan kedalaman palung 3 meter) sampai dengan minimal 30 meter (sungai dengan kedalaman palung lebih dari 20 meter).
Sedangkan area sempadan sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan ditentukan paling sedikit 50 meter dari tepi kiri atau kanan palung sungai sepanjang alur sungai yang memiliki luas daerah aliran sungai kurang dari 500 km2. Bagi sungai dengan luas DAS diatas 500 km2 ditentukan lebar sempadannya paling sedikit berjarak 100 m dari tepi kiri atau kanan palung sungai sepanjang alur sungai.
Garis sempadan sungai bertanggul di kawasan perkotaan minimal berjarak 3 meter dari tepi luar kaki tanggul sepanjang alur sungai, dan untuk sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan garis sempadannya dihitung minimal 5 meter dari tepi luar kaki tanggul sepanjang alur sungai.
Penetapan garis sempadan sungai ditujukan untuk mempertahankan fungsi sungai tidak terganggu oleh aktifitas yang berkembang di sekitarnya serta memastikan nilai manfaat sumber daya yang ada di sungai dapat memberikan hasil secara optimal sekaligus menjaga kelestarian fungsi sungai. Selain itu, penetapan tersebut dapat mencegah daya rusak air sungai terhadap lingkungannya.
Adanya penentuan garis sempadan sungai diikuti dengan pengaturan pemanfaatan sempadan sungai hanya untuk bangunan prasarana sumber daya air, fasilitas jembatan dan dermaga, jalur pipa gas dan air minum, rentangan kabel listrik dan telekomunikasi, bangunan ketenagalistrikan, serta kegiatan lain sepanjang tidak mengganggu fungsi sungai, antara lain kegiatan menanam tanaman sayur-mayur.
Bangunan seperti rumah tempat tinggal serta gedung perkantoran dilarang untuk didirikan di sepanjang area sempadan sungai. Jika telah terdapat bangunan, maka secara bertahap Pemerintah Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota dapat menertibkannya dalam upaya mengembalikan fungsi sempadan sungai sebagaimana diamanatkan Pasal 15 Permen PUPR Nomor 28/Prt/M/2015 sesuai kewenangan masing-masing.
2. Fakta selanjutnya bahwa Permen PUPR Nomor 28/Prt/M/2015 tersebut belum sepenuhnya diikuti. Peraturan ini seolah bukan skala prioritas bagi pemerintah, khususnya Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk mengimplementasikannya. Alhasil, seperti yang sudah diprediksi bahwa setiap musim penghujan, pemberitaan media dalam negeri akan berpusar pada bencana banjir dan segala dampaknya.
Sebenarnya, pemerintah, utamanya Gubernur, Bupati dan Walikota telah diberi kewenangan untuk melakukan pengkajian penetapan sempadan sungai. Kajian dimaksud memuat paling sedikit mengenai batas ruas sungai yang ditetapkan, letak garis sempadan, serta rincian jumlah dan jenis bangunan yang terdapat di dalam sempadan.
Kewenangan yang dimiliki Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam menetukan sempadan sungai merupakan salah satu parameter signifikan untuk mengatur tatanan pemukiman warga, penetapan rencana tata ruang wilayah serta perencanaan pembangunan.
Jalan pemerintah yang terputus di Desa Hiliana'a Kecamatan Gomo di Nias Selatan akibat banjir dapat menghadirkan polemik tak berujung serta geleng-geleng kepala dari pemerhati pembangunan daerah manakala terbukti jalan tersebut dibangun dalam area sempadan sungai. Cukup memprihatinkan jika hal itu terjadi.
Kita harus memahami bahwa pengaturan garis sempadan sungai merupakan upaya pemerintah menghindarkan penduduknya dari dampak daya rusak air sungai. Segala jenis peraturan yang memuat pengaturan sempadan sungai wajib hukumnya untuk ditaati dan diimplementasikan.Â
Memang perlu upaya sosialisasi, penyebaran informasi yang masif serta patron keteladanan yang konsisten dari pemerintah. Apabila pada akhirnya masih ada pelanggaran pembangunan di dalam garis sempadan sungai, Pemerintah dimaklumkan untuk dapat bertindak tegas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H