Tempat pangkas itu terletak di Jalan Yos Sudarso, Kota Gunungsitoli. Tepatnya diseberang Kampus Universitas Nias, satu-satunya universitas yang berdiri di Kota Gunungsitoli. Luasnya kira-kira 5 x 7 meter persegi. Didalamnya terlihat dua tempat duduk khusus pangkas. Selebihnya terdapat empat sampai lima kursi plastik yang disediakan untuk menunggu dan sebuah tempat khusus creambath.
Sore itu, saya datang hendak memotong rambut yang menurut saya sudah lumayan tidak teratur panjangnya. Dari tempat saya memarkir motor, hanya terlihat dua orang tukang pangkas yang sedang menangani dua orang pelanggan. Tidak ada seorang pun yang sedang duduk menunggu giliran. Kedua tukang pangkas begitu asyik dan serius menata rambut pelanggannya, sambil sesekali mengajak bicara, memastikan apakah hasil kerjanya sudah sesuai dengan keinginan pelanggan.
Saya membuka pintu dan menyapa. Tukang pangkas yang berada dekat pintu masuk balas menyapa sekaligus memberitahu saya bahwa sudah ada enam orang lagi yang mengantri. Dengan sopan dia mempersilahkan saya menunggu sembari melanjutkan pekerjaannya.
Aneh. Dari tadi saya tidak melihat enam orang yang dimaksud tukang pangkas ini. Jangan-jangan ini hanya akal-akalan si tukang pangkas. Sambil duduk, saya memberanikan diri  menanyakan keberadaan ke enam orang yang mengantri tersebut karena secara nyata hanya saya yang betul-betul mengantri saat itu. Si tukang pangkas menjelaskan bahwa mereka memang tidak ada disitu. Ke enam orang tersebut sudah booking antrian dengan menelpon terlebih dahulu sehingga mereka tidak perlu duduk antri. Jika sudah mendekati giliran, nanti akan ditelpon balik untuk segera datang.
Kepada saya, si tukang pangkas menawarkan hal yang sama. Dari pada lama menunggu, dia tidak berkeberatan untuk memberitahu jika giliran saya menjelang sehingga saya dapat segera kembali. Akhirnya, saya menerima tawarannya. Kami saling bertukar nomor telepon seluler. Sebuah nomor telepon seluler baru saya catat di phonebook. Setelahnya, saya pun kembali kerumah melanjutkan aktivitas sambil menunggu giliran di hubungi oleh si tukang pangkas.
Pangkas AINE tertulis di papan nama tempat pangkas itu. Papan nama sederhana namun didesain sedemikian rupa dengan menampilkan wajah kedua tukang pangkas, yang satu menghadap ke utara yang lain menghadap ke selatan sehingga orang yang berkendara di sepanjang jalan dapat dengan mudah menemukan tempat pangkas ini. AINE yang dalam bahasa Nias berarti mari atau ayo. Sebuah kata yang bermakna mengajak. Kedua owner pangkas tersebut bernama Mendrofa dan Hulu. Usia keduanya masih sangat muda, kisaran 20 tahunan.
Keduanya sudah menggeluti dunia pangkas sejak menamatkan bangku SLTA, sekitar pertengahan tahun 2020. Kondisi perekonomian dan sulitnya mendapatkan pekerjaan di sektor formal mengarahkan mereka untuk menciptakan usaha sendiri. Mendrofa bahkan pernah beberapa kali ikut tes penerimaan Anggota TNI dan Polri, tetapi gagal.
Sebelum mendirikan Pangkas AINE, Mendrofa dan Hulu pernah bekerja di tempat-tempat pangkas lainnya di seputaran Kota Gunungsitoli. Ibarat ketemu jodoh, keduanya memberanikan diri membuka usaha pangkas sendiri dengan modal patungan. Mereka menyewa sebuah tempat sederhana dan mendirikan Pangkas AINE.
Menariknya, kedua anak muda ini memiliki kreativitas yang tinggi. Mereka mengadopsi strategi pelayanan yang menunjang keberhasilan usaha mereka. Salah satu diantaranya adalah strategi antrian non fisik atau lebih dikenal dengan antrian online. Di Pangkas AINE, kita tidak akan menemukan pelanggan yang duduk mengantri.
Penerapan antrian non fisik memiliki banyak kelebihan. Pelanggan tidak perlu membuang-buang waktu untuk menunggu giliran. Mereka dapat memanfaatkan waktu tunggu tersebut untuk mengerjakan banyak hal di tempat lain yang lebih bermanfaat ketimbang harus menunggu. Antrian non fisik juga tidak membuat pelanggan stress menunggu. Bukankah menunggu adalah pekerjaan yang paling membosankan?