Batu bara merupakan salah satu bahan galian berbentuk batuan yang berasal dari alam yang ditambang untuk digunakan sebagai bahan bakar, selain minyak bumi. Merujuk pada The lnternational Hand Book of Coal Petrography (1963), batu bara didefenisikan sebagai batuan sedimen yang mudah terbakar, terbentuk dari sisa-sisa tanaman dalam variasi tingkat pengawetan, diikat oleh proses kompaksi dan terkubur dalam cekungan-cekungan pada kedalaman yang bervariasi, dari dangkal sampai dalam. Proses terbentuknya batu bara membutuhkan waktu hingga berjuta-juta tahun lamanya.
Penemuan sumber batu bara pada tahun 1849 di daerah Pengaron, dusun yang terletak di sepanjang Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, menjadi awal terbukanya penambangan batu bara di Indonesia yang pertama kali dioperasikan sebuah perusahaan Belanda bernama Oost Borneo Maatschappij.
Selanjutnya, sejarah mencatat bahwa sejak tahun sat itu semakin kuat upaya untuk menemukan sumber-sumber batu bara di Indonesia yang diikuti bermunculannya perusahaan-perusahaan yang bergerak dibidang penambangan batu bara. Seperti pertambangan di Palarang, Samarinda, tambang Ombilin di Sumatera Barat dan tambang batu bara di Bukit Asam Sumatera Selatan.
Keberadaan batu bara telah memberikan kontribusi besar bagi penerimaan negara. Pada tahun 2021 yang lalu penerimaan negara dari sektor pertambangan mineral dan batu bara (Minerba) yang mencakup bea keluar, pajak hingga Penerimaan Negara Bukan Pajak merupakan yang tertinggi dalam lima tahun terakhir. Semakin besar produksi batu bara maka semakin besar pula kontribusinya pada penerimaan negara. Dalam catatan Kementerian ESDM, PT Bumi Resources Tbk (BUMI) menjadi produsen batu bara terbesar di Indonesia dengan produksi kisaran 80 -- 85 juta ton yang menjadikannya sebagai pembayar PNBP terbesar di Indonesia.
Pada tahun 2021 yang lalu, total produksi batu bara Indonesia sebesar 614 juta ton. Sekitar 25% diantaranya atau sebesar 133 juta ton digunakan untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Untuk tahun ini, Pemerintah memberi target produksi sebesar 663 juta ton dan 165,7 ton untuk penggunaan dalam negeri.
Namun seiring dengan kebijakan Pemerintah mengenai pengembangan energi baru dan terbarukan, baru-baru ini Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik yang implementasinya memberi dampak langsung pada industri pertambangan batu bara.
Hal ini selaras dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang disampaikan jauh hari sebelumnya pada acara B20 Indonesia Inception Meeting 2022, Kamis, 27 Januari 2022, ".......Kebijakan kami mekanisme transisi energi dari fosil fuel ke energi baru terbarukan juga akan menjamin kepastian investasi. Di Jawa dan Sumatera kita mendorong early retirement PLTU ke energi baru terbarukan seperti geothermal dan solar panel. Dan kita akan membuka partisipasi di sektor swasta untuk berinvestasi di transisi energi ini."
Melalui Perpres Nomor 112 Tahun 2022, Presiden Joko Widodo menegaskan dukungannya terhadap penghentian operasional sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan melarang pembangunan PLTU baru.
Seperti diketahui bahwa PLTU adalah jenis pembangkit listrik yang menggunakan uap untuk menggerakkan turbin. Uap panas diperoleh dari boiler dengan menggunakan bahan bakar, salah satunya batu bara. Penggunaan batu bara lebih disukai oleh PLTU mengingat produksinya yang melimpah di Indonesia.
Kebijakan penghentian operasional sejumlah PLTU dan tidak diperkenankannya lagi pembangunan PLTU baru, merupakan bagian dari komitmen Pemerintah Indonesia untuk mendukung pengurangan emisi gas karbon dunia yang salah satunya disebabkan oleh pembakaran batu bara seperti tertuang dalam Paris Agreement yang menyepakati target penurunan emisi sebesar 45% pada tahun 2030 dan Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2050 untuk mencegah kenaikan suhu diatas 1,5 derajat Celcius. Lembaga Transition Zero pernah mengungkapkan bahwa perlu menutup 3000 PLTU diseluruh dunia sampai tahun 2030 bila ingin mewujudkannya.