"Memerintahkan agar Kantor Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Administrasi Jakarta Selatan untuk mencatatkan Perkawinan Beda Agama Para Pemohon ke Register Pencatatan Perkawinan yang digunakan untuk itu dan segera menerbitkan Akta Perkawinan tersebut," demikian potongan kalimat yang tercantum dalam amar putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebagaimana dimuat dalam laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakarta Selatan.
Itulah amar putusan yang mengabulkan sebagian dari permohonan para pemohon, berinisial DRS dan JN, yang didaftarkan dengan Nomor: 508/Pdt.P/2022/PN JKT.SEL pada tanggal 27 Juni 2022 lalu. Disebutkan bahwa DRS dan JN menganut agama yang berbeda dan telah melangsungkan pernikahan di Gereja Kristen Nusantara, beralamat di Jalan Cempaka Putih Barat XXI, Nomor 34, Jakarta Pusat.
Mendengar frasa 'perkawinan beda agama' sebagaimana disebutkan dalam amar putusan diatas terasa tak biasa bagi kita. Seolah menggiring imaginasi kita bahwa ketika DRS dan JN menikah, keduanya masih menganut agama masing-masing di hadapan pemuka salah satu agama. Pertanyaan yang muncul mengekor melayang-layang dalam benak adalah sejak kapan Indonesia mengizinkan pencatatan perkawinan beda agama?
Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem pencatatan perkawinan. Kata 'pencatatan' perlu digarisbawahi dan kalau perlu di bold. Setiap peristiwa perkawinan harus dicatat dan diregistrasi oleh instansi yang diberi kewenangan. Khusus untuk penduduk yang beragama Islam, pencatatan perkawinan dilakukan melalui Kantor Urusan Agama yang berada dibawah naungan Kementerian Agama. Sedangkan untuk pencatatan perkawinan penduduk non-Islam dilakukan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil yang bersifat semi vertikal dan berada dibawah Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan Kementerian Dalam Negeri.
Dalam melindungi dan memastikan pencatatan perkawinan tersebut berlangsung baik, Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dijelaskan dalam UU tersebut bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kehadiran Undang-Undang secara eksplisit mematenkan bahwa perkawinan di Indonesia haruslah bersifat monogami. Bukan three on three karena bukan permainan basketball ya.
Azas monogami lebih lanjut di uraikan pada Pasal 3 (ayat 1) yang berbunyi "Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami". Dapat melakukan poligami hanya jika (ayat 2) "Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan."
Selanjutnya ditegaskan dalam Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya (ayat 1). Baru kemudian perkawinan tersebut dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (ayat 2). Hal ini berarti bahwa Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota dapat mencatat perkawinan penduduk setelah terlebih dahulu perkawinan tersebut dilaksanakan berdasarkan hukum agama dan kepercayaan.Â
Sampai saat ini terdapat enam agama yang sudah diakui di negara kita, yakni Islam, Kristen Ptotestan, Katholik, Hindu, Budha dan Konghucu. Tentu saja keenam agama memiliki norma, nilai, dan pengajaran yang dogmatis menurut kitab suci masing-masing khususnya terkait mengenai perkawinan.
Jika dikemudian hari kita mendengar atau membaca berita tentang pencatatan perkawinan beda agama di Indonesia, barangkali kita perlu memperjelas beberapa hal sebelum mengarahkan opini kita. Dalam hal perkawinan penduduk, agama Islam mengenal akad nikah atau ijab kabul. Kristen melakukannya melalui sakramen pemberkatan nikah. Ada juga upacara pawiwahan bagi penduduk beragama Hindu. Pertanyaannya, apakah ijab kabul atau akad nikah dapat dilakukan jika salah satunya bukan beragama Islam? Demikian pula pemberkatan nikah di gereja, apakah dapat dilakukan jika laki-laki atau perempuan bukan beragama kristen? Apakah ada agama di Indonesia yang mengizinkan pernikahan beda keyakinan?
Mendapati jawaban pertanyaan diatas akan memberikan penerangan seterang-benderangnya melebihi terangnya petromaks di malam hari kepada kita bahwa pernikahan beda agama di Indonesia mustahil terjadi karena kedua insan yang menikah wajib memeluk agama yang sama karena harus dinikahkan secara satu hukum agama yang sama. Sehingga dapat disimpulkan pemakaian frasa perkawinan beda agama dapat menimbulkan ambiguitas atau dapat menyeret kita ke pemahaman yang berbeda.