Sebuah prediksi dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) terkait Puncak Jayawijaya Papua, yang disampaikan langsung oleh Dwikorita Karnawati, 21 Maret 2022 lalu, yang memperkirakan bahwa kita tidak lagi melihat es di Puncak tertinggi di Indonesia tersebut pada 2025.Â
Dalam keterangannya Dwikorita juga menyampaikan bahwa punahnya es di Puncak Jayawijaya dikarenakan penyusutan es yang begitu ekstrim.Â
Data BMKG mencatat per Pebruari 2022, susut es di Puncak Jayawijaya telah mencapai 23,46 meter.Â
Saat ini luas hamparan salju di pengunungan tersebut sekitar 2 kilometer persegi. Apa penyebabnya? Tentu saja sebagai dampak dari perubahan iklim yang menyebabkan pemanasan global atau sering kita dengar sebagai efek rumah kaca.Â
Gunung Jayawijaya terletak di Taman Nasional Lorentz dan memiliki ketinggian 4.884 meter di atas permukaan laut.Â
Merupakan gunung tertinggi di Indonesia. Kabar akan menghilangnya es di Puncak Jayawijaya merupakan berita yang cukup mengejutkan.Â
Salju di Puncak Jayawijaya dapat dikatakan sebagai suatu 'keajaiban' yang dimiliki oleh Indonesia sebagai negara yang terletak di garis khatulistiwa dan dikenal sebagai negara tropis.Â
Kita akan kehilangan salah satu ikon yang telah menduniakan Indonesia selama ini. Bayangkan, salju Puncak Jayawijaya adalah daya tarik bagi ribuan pendaki gunung yang datang ke situ.Â
Hilangnya salju Puncak Jayawijaya juga diperkirakan memberi pengaruh kepada kepercayaan dan tradisi yang telah terbangun dalam masyarakat yang tinggal disekitar pegunungan. Mereka mempercayai bahwa Puncak Jaya sebagai tempat yang sakral dengan keberadaan saljunya.
Selain itu, hilangnya salju juga akan memberi pengaruh pada perubahan flora dan fauna yang selama ini tumbuh dan hidup di pengunungan tersebut. Akan ada perubahan signifikan terhadap flora dan fauna.Â
Selain perubahan karakter, dimungkinkan akan ada flora dan fauna endemik yang punah.Â
Perubahan iklim merupakan penyebab utama tergerusnya ketebalan es di Puncak Jayawijaya. Revolusi industri menjadi titik awalnya.Â
Namun kita tidak mungkin lagi kembali ke awal prosesnya. Semua sudah terjadi dan revolusi industri di 1840-an telah menjadi awal perubahan peradaban manusia ke arah yang lebih canggih dengan mengedepankan penggunaan teknologi.Â
Kemajuan teknologi yang menggunakan bahan bakar fosil di sektor industri dan manufaktur menjadi penyumbang terbesarnya. Bahkan suatu penelitian menyebutkan bahwa penggunaan smartphone dan laptop turut menyumbang emisi karbon.Â
Untuk itu pelepasan emisi karbon dan emisi gas perlu mendapat pengawasan yang ketat dan bahkan memerlukan upaya substitusi agar emisi karbon dan gas tersebut tidak ada lagi.
Kita sebagai warga negara perlu berperan aktif memberi sumbangsih dalam mengurangi emisi karbon dan gas. Apa yang dapat kita lakukan?Â
Yang pertama adalah peduli terhadap lingkungan sekitar, lingkungan dimana kita tinggal atau kita beraktifitas sehari-hari dengan melakukan kebiasaan-kebiasaan yang peduli lingkungan.Â
Misalnya ketika berbelanja membawa sendiri tas atau keranjang belanja, membawa botol minuman sendiri dan menghindari penggunaan air mineral kemasan, mengurangi penggunaan kendaraan pribadi berbahan bakar minyak, smartphone dan PC, dan masih banyak lainnya.
Yang kedua adalah peran aktif kita dalam kegiatan-kegiatan bertema penyelamatan bumi. Banyak bermunculan upaya ataupun program yang digagas organisasi maupun pemerintah sendiri yang bertujuan untuk mengurangi efek rumah kaca.Â
Seperti program penghijauan melalui penanaman sejuta pohon, gotong royong desa secara periodik, implementasi kebijakan untuk reduce, reuse dan recycle terhadap barang-barang kemasan, ataupun kita dapat berdonasi membantu organisasi nirlaba dalam mengkampanyekan penyelamatan bumi.
Selain hal diatas, di tataran global kesepahaman negara-negara dunia untuk percepatan penanganan perubahan iklim sudah dimulai sejak 1979.Â
Agak terkesan lamban dalam aksinya mengingat political and economic interest dari masing-masing negara yang berbeda-beda.Â
Indonesia sebagai negara tropis dengan hutan hujan tropis yang luas, telah berkomitmen secara sukarela untuk mengurangi emisi sebesar 29% dibawah tingkat Bussines at Usual (BaU) pada 2030 dan 41% dengan bantuan internasional.
Cepat ataupun lambat, tingkat polusi dunia akan mencapai ambang batas kejenuhannya apabila usaha untuk mengurangi emisi karbon dan gas tidak efektif terlaksana.Â
Mari, jadikan momentum es dan salju yang semakin mencair di Puncak Jayawijaya mereduksi emisi karbon dan gas. Jangan sampai perubahan iklim itu menjelma sebagai momok bagi kehidupan makhluk hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H