Mohon tunggu...
Dennis Baktian Lahagu
Dennis Baktian Lahagu Mohon Tunggu... Lainnya - Penghuni Bumi ber-KTP

Generasi X, penikmat syair-syair Khairil Anwar, fans dari AC Milan, penyuka permainan basketball.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sidang PPKI 18 Agustus 1945, ketika Nasionalisme Ditempatkan di Atas Kepentingan Golongan

18 Agustus 2022   18:37 Diperbarui: 24 Agustus 2022   16:27 1279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalimat sila pertama yang menjadi rumusan dasar negara dianggap tidak mencerminkan masyarakat Indonesia yang beragam. Bahkan sore 17 Agustus 1945, Hatta didatangi seorang perwira AL Jepang (Kaigun) yang menyampaikan keberatan dari tokoh Kristen dan Katolik di wilayah pendudukan Jepang atas kalimat “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang termuat dalam Piagam Jakarta.

Awal munculnya penulisan sila pertama dimaksud tidak terlepas dari usulan dasar negara Islam yang dikemukakan Ki Bagus Hadikusumo, anggota BPUPKI yang juga pimpinan Muhammadiyah. 

Hatta memerankan diplomasinya menanggapi keresahan atas kalimat sila pertama Piagam Jakarta menjelang sidang PPKI. Melalui Teuku Moh. Hasan (anggota PPKI asal Aceh), diplomasi disampaikan dan meluluhkan Ki Bagus untuk menerima penghapusan penyebutan Islam dalam Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945. 

Dalam konteks ini, perlu diingat bahwa A. A. Maramis, seorang yang non muslim, termasuk dalam sembilan orang tokoh yang dikenal sebagai Panitia Sembilan yang merumuskan Piagam Jakarta dan menetapkannya pada 22 Juni 1945. Artinya, secara mendasar penulisan ke tujuh kata sebagai sila pertama tidak dipermasalahkan oleh Maramis bahkan Soekarno sebagai seorang nasionalis. 

Perbedaan pendapat tentang sila pertama tersebut sangat mungkin dipolitisir jika saja para pendiri negara dan perancang dasar negara saat itu lebih mengutamakan ego dan kepentingan golongan masing-masing. Terlebih anggota PPKI mayoritas beragama Islam. Tercatat beberapa nama saja yang non muslim yaitu Dr. G.S.S.J. Ratulangie, Mr. Johannes Latuharhary, Mr. I.G. Ketut Puja dan Drs. Yap Tjwan Bing.

Namun sekali lagi kita harus mengangkat topi dan secangkir teh untuk para pendiri negara. Ego dan kepentingan golongan disingkirkan demi nasionalisme. Sebuah teladan yang patut mendasari langkah berbangsa dan bernegara kita.

Tidak salah jika menyebut sidang pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945 sebagai titik tertinggi nasionalisme mampu ditempatkan diatas semua golongan. Apa yang sudah berdarah-darah mereka bangun, mereka dirikan, dengan tetesan keringat dan darah, dapat kita nikmati hingga Republik Indonesia memasuki usia yang ke 77 tahun.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun