"Bang saya tidak nyaman kepalanya di dengkul saya!"
"Lah teh (teteh maksudnya) dimaklumin saja kereta padat", jawab pria itu santai masih tidak beranjak.
"Loh kok saya harus maklum ya? Kereta padat memang! Tetapi bukan berarti Anda dengan santainya nyender di dengkul saya", wajah ini sudah merah. Sulit saya menyembunyikan amarah ini. Untuk mau turun saya tidak mau karena perjuangan naik kereta itu berat. Harus rebutan demi dapat tempat duduk.
Akhirnya ada seorang temannya yang ngomong gini,
"Eh bang ini'kan bukan gang kita. Jangan elu samain dong semua. Udah deh diri aja"
Akhirnya si pria itu berdiri, entah malu entah kesal. Dia diri tidak tepat di depanku tetapi rada jauh, biarin saja.Â
Cerita di atas kejadian pertama ada lagi kejadian kedua yang lebih menegangkan. Tahan napas yaaaa....eng ing eng, begini ceritanya
Suatu hari di kereta ekonomi
Saya naik dari stasiun Universitas Indonesia. Waktu itu sekitar jam 10-an. Kereta tidak terlalu padat. Masih ada space kosong untuk orang berdiri tidak mepet-mepet.
Saya berdiri dan di samping kiri kosong tidak ada orang berdiri, samping kanan pria berdiri. Di belakang saya pria berdiri.
Eing...ing...eng... kok makin mepet ya. Padahal tidak penuh, saya merasa ada yang tidak beres nih.
"Bang pindah saja di samping saya ini kosong kok", ujar saya sambil menoleh ke belakang. Pria ini diam saja. Tidak mengiyakan tetapi kok semakin mepet berdirinya dan rasanya sangat, sangat tidak nyaman. Ada yang tegang dari kelamin pria itu saya rasakan.Â