Mohon tunggu...
Denni Meilizon
Denni Meilizon Mohon Tunggu... lainnya -

Engkau mengenalku sebagai Pengelana, namun aku mengenalmu sebagai penanda Kita adalah pemetik putik, dan Dia adalah penyiram hujan menyerbukkan hati kita.. https://www.facebook.com/dennimeilizon https://twitter.com/DenniMeilizon https://dennimlz.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Arhoiba

24 Mei 2014   07:46 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:10 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Luka Dalam Bibir Ababil

Marilah kejar bintang-bintang itu. Bukan pada malam ini saja,
duduklah diam patuki detak jarum jam. Bukan pada malam ini saja,
tunduklah Arhoiba, kau bunga mekar di atas rerumputan basah
Rumput yang berbicara memacari cemara di tubir penggal detik yang
ditebas jarum jam itu.

Arhoiba, kau luka yang diserahkan ke dalam bibir Ababil
Mimpimu habis dikunyah semesta ketika di gerbang Arkana kau
susun puluhan singgasana mengajak raja-raja untuk mengejar bintang
bintang. Ababil bisu, melegam dibakar raganya sendiri. Tiap kepakannya bergema sahut menyahut namamu. Maka di sana muncul dari ayakan pasir
yang dimuntahkan Versimell -gunung itu- perkenalkan bintang pertamamu, merajah diri dengan nama, sebut saja Washeya.

Oo, luka berambut indah yang memeluk gunung-gunung. Oo, pembawa telaga bersusun tiga dalam genangan di atas pasir Versimell!
Washeya, bintang pertama itu. Kau dongeng tidur yang prasasti menggantung dalam tembok Arkana. Dunia yang bernama bayang-bayang. Tiap jengkalnya mengalir keangkuhan perang. Untukmu Arhoiba, Versimell sedia menyingkap pepasir dua juta tahun yang membenamkan dongeng ke dalam botol mitologi purba.

Marilah kejar bintang-bintang itu lagi, Arhoiba!
Jarum jam yang kau duduki dalam gigitan Ababil semakin rakus
mengunyah detik, mengiris daging-daging
melumatkan dongeng pada malam.

“Bukan kau kiranya, Washeya. Mimpiku masih menari, mengelupasi dinding
gerbang ini, menyusun kembali singgasana raja-raja yang rela mati
mengejar bintang-bintang lain bersamaku”.

Safa Marwa, Desember 2013

Di Gerbang Arkana

Arhoiba menata tatakan gelas para raja. Deru puing puncak Versimell memanggil kawanan badai, mengelus angin lalu menyimbah hantam gerbang Arkana, tempat Arhoiba menyusun singgasana raja-raja yang berkhidmat kepadanya. Oo prahara, detik jam mengiris tajam. Tatakan gelas berhamburan menjadi bulu. Bulu menjelma menjadi api. Api membakar dalam lautan. Istana terpanggang. Arhoiba, pilu menanti datangnya bintang kedua, Washmina.

Washmina, bintang air. Dulu gencar mengibaskan selendang dalam salju. Arkana berbalut basah, sejuk berdesir. Gerbang membiru memagut rembulan bersama singgasana. Washmina dahulu kala, sejak Arhoiba menggoda para raja. Menghujam ke dalam bebatuan. Menyeret desir, rembulan dan warna biru. Lenyap sejuk, basah air. Arhoiba menangis.

Marilah kejar bintang-bintang itu lagi, Arhoiba!
Jarum jam yang kau duduki semakin rakus
mengunyah detik, mengiris daging-daging
melumatkan dongeng pada malam.

Gemuruh langit membilas Arkana, padang pasir, prasasti-prasasti. Derak tanah rengkah, badai prahara melenguh.
Di hadapan singgasana, di atas puing gerbang Arkana. Arhoiba merapalkan doa. Selendang jingga mengibas udara yang merah.
Washmina! menyingkaplah!

Safa Marwa, Januari 2014



Daulat Washmina

Gugur angin meracau petala. Sinar-sinar berkilauan keras menusuk tiang pancang istana. Istana Arkana yang memuing gosong dan berasap. Sebongkah isi perut Versimell yang dimuntahkannya dengan beringas perkasa pongah menanti nyanyian pepasir menyingkap ribuan desing suara, hembuskan petaka menusuk Arhoiba ketika selendang kebesarannya menjamah udara.
Arhoiba, bunga mekar perindu rerumputan di taman istana Arkana.
Ibu Agung para pangeran dan putri. Yang diwariskan para raja ke dalam rahimnya. Daulat Arkana.

Di Gerbang Arkana, singgasana para raja bergetar. Tanah semburat, tercabut dari gelanggang yang berdentang mengadu urat-urat pasak dalam bumi. Berdesak-desakan membaca prahara. Arhoiba menggigil, selendang jingga itu tergolek di tanah, terkapar.

Bebatuan rengkah. Washmina!
Menyingkaplah!

Dari timur pekik udara mengirim anyir. Perang berkelebatan seperti kumparan yang mengirim ketakutan yang lebih dalam.

"Arhoiba! Kau dihukum! Kau prahara bumi dan langit!".
"Arhoiba! Kau bunuh raja-raja!".
"Arhoiba! Kau bunuh anakmu sendiri!".
"Arhoiba! Kau penjarakan bintang-bintang!
"Arhoiba! Kau hancurkan Arkana!".

Arhoiba lekat mematung. Tubuhnya tersingkap. Anyir perang, geger suara letusan Versimell dan gema kutukan memeluknya ketat.

"Washmina, Aku yang menghidupkanmu!"
"Washmina, Aku yang memanggilmu!"

"Kau butuh Washeya, Arhoiba!
bukan aku!"
"Bintang yang mengunjungimu di awal kehidupanmu. Yang kau kurung di dalam perut Versimell -gunung itu-".
"Ohh, iba nasibmu, Ibu Agung! Suri para raja Arkana!"
"Negerimu di amuk bintangmu sendiri...!"

Washmina, bintang biru berkilau itu. Dingin kulitnya. Sejuk matanya. Mengirimkan api ke dalam rahim Arhoiba.
Arhoiba diam, terbakar jerit pilu. Ibu Agung Arkana, penguasa singgasana para raja, penjaga gerbang Arkana, mati.
Arkana mati. Washmina hidup.
Washeya masih menggerung murka di dalam perut Versimell.
Mematai Washmina yang mendaulat diri.

Januari, 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun