EDISI Pergi Kisah dibalik JARAMBAH Awalnya sekitar medio Agustus – September, meneruskan pembicaraan untuk kembali mengadakan Turing. Mulailah berkelebat ide-ide tujuan dan mencari-cari waktu yang ideal yg sekiranya cukup untuk melakukan sebuah perjalanan jauh. Pada awalnya tujuan pertama adalah Jogja-Surabaya, untuk meneruskan Turing Duo ROGAD Om Heru & Om Ogut Jakarta-Jogja. Kemudian melebar kenapa tidak Jogja-Surabaya-Bali sekalian? Setelah beberapa lama mengendap, sekitar bulan puasa akhirnya diputuskan Turing kali ini adalah Surabaya-Bali-Lombok dengan asumsi waktu perjalanan 1 Minggu. Mulailah dilakukan persiapan dari mulai rute mana yang akan dipilih, berapa jarak tempuh per hari dan tempat beristirahat, berapa orang kira-kira peserta, dan hal lainnya yang kita diskusikan bersama. JARAMBAH sendiri berasal dari bahasa sunda yang arti harfiah nya : Orang yang suka main jauh, ke tempat-tempat yang baru, dan terkadang konotasinya Bandel/ Negatif, biasanya diberikan kepada anak-anak kecil yang suka maen ke tempat yang jauh dan nggak bilang-bilang sama orang tuanya. Nah begitulah kami ! JARAMBAH.
Menjelang hari keberangkatan yaitu 17 Nopember 2010, peserta yang ikut ada 7 (tujuh) orang yaitu : Om Pri, Om Heru, Om Zamani, Om Dodi, Om Awang, Om Ridwan dan Om TP. Tentunya ada banyak cerita yang terjadi sebelum keberangkatan, perubahan jadwal, perubahan formasi, persiapan sepeda dll yang biarlah menjadi cerita yang tak terungkap. Hari Pertama, Rabu 17 Nopember 2010 Meeting Point : Cililitan sekitar jam 15:00 Sekitar jam 14:30, semua sudah pada berkumpul, kecuali OM Pri, Om Heru dan Om Awank, ternyata jari-jari sepeda Om Heru patah di sekitar PAL, akhirnya setelah diganti di bengkel kemudian diangkut oleh mobil yang akan membawa kita semua ke Stasiun Senen. Tak diduga ternyata ada beberapa ROGAD’ers yang akan mengantar kami menuju Stasiun Senen , ada Nte Jati, Om Iyunk, Om Fandri, Om Irsan, Om Ogut dan Om Novik. Dengan sepedanya mereka mengantar kami menuju Jatinegara, sementara sepeda kami diangkut mobil bak dan kami sendiri naik taksi.
Setibanya di Stasiun Senen , kami segera packing sepeda untuk mempermudah penempatan di dalam gerbong, dan membeli makanan dan minuman untuk bekal perjalanan selama hampir 12 Jam di Kereta Api. Karena bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha, kereta yang kami tumpangi tidak terlalu penuh, tapi walau begitu kami agak kerepotan untuk mencari tempat untuk menyimpan 7(tujuh) sepeda kami. Akhirnya 3 (tiga) sepeda kami dengan terpaksa mengambil dua kursi untuk penumpang, dan kami pun lebih memilih untuk lesehan di gerbong dan di bordess.
Jam 6 lebih beberapa menit akhirnya kereta mulai bergerak menuju timur, jika sesuai dengan jadwal harusnya kereta sampai di Pasar Turi jam 6 pagi esok hari. 12 jam di kereta api kami manfaatkan untuk kembali membahas rute perjalanan dan berbagai kemungkinan yang akan dihadapai selama perjalanan dan sisanya dipergunakan untuk beristirahat mencuri waktu sekedar memejamkan mata. Rupanya bukan menjadi rahasia umum lagi kalau kereta selalu terlambat, hampir jam 8 pagi akhirnya kami sampai di Stasiun Pasar Turi.
Hari kedua, kamis 18 Nopember 2010 Udara Surabaya yang mulai panas membuat badan kita lebih lengket setelah hampir setengah hari di dalam kereta. Kamipun mulai berkemas, bergantian mandi dan mempersiapkan sepeda dan barang-barang bawaan kami.
Tepat jam 9 pagi, kami mulai bergerak menuju arah Sidoarjo dengan rencana tujuan akhir di daerah PAITON atau BESUKI kira-kira 150km dari Pasar Turi melewati Porong, Gempol, Bangil, Pasuruan, Probolinggo. Dari arah Pasar Turi kami menyusuri jalanan dalam kota sambil mencari warung untuk sarapan. Yap sarapan pagi ini adalah makanan khas Jawa Timuran Nasi Rawon + Telor Ceplok dan segelas Teh Manis. Perjalananpun kemudian dilanjutkan melewati Wonokromo dan terus ke arah selatan melewati Jl Ahmad Yani. Kira-kira 30 menit perjalanan sekitar daerah Waru tiba-tiba terdengar suara ledakan yang cukup keras tepat di depan bengkel motor ! Kami yang di belakang mengira ledakan berasal dari bengkel tersebut, e a dalah ternyata suara itu berasal dari Ban Om Ridwan yang meledak, setelah di cek ternyata ban luarnya pun sobek. Untunglah Om Heru membawa ban luar cadangan, sehingga kamipun bisa melanjutkan perjalanan setelah mengganti ban dalam dan luar. Jalanan yang kami lalui cenderung lurus dan mendatar, tetapi karena jalan yang kami lalui adalah jalan propinsi sehingga suasana jalanan ramai dan mulai dipenuhi oleh bus dan truk dan angkutan umum. Kami harus lebih berhati-hati dan terkadang kami harus memilih badan jalan atau bahkan jalan tanah karena tak sedikit bus dan truk yang tidak mau berbagi jalan. Udara mulai terasa menyengat, panasnya aspal dan terik matahari akan menjadi teman kami sepanjang hari ini. Melewati kota sidoarjo, kami mencoba mencari toko/bengkel sepeda untuk membeli ban luar untuk berjaga-jaga jika terjadi kejadian seperti sebelumnya. Ke arah selatan terus dari kota sidoarjo, kami melewati Candi, Tangulangin dan akhirnya kami tiba di daerah Porong. Di sebelah kiri kami nampak gunungan pasir hampir setinggi 5 meter sepanjang kurang lebih 3km, di beberapa tempat nampak ada tulisan alakadarnya bertuliskan “
Pintu Masuk Wisata Lumpur “ . Orang-orang Indonesia ini memang sangat kreatif, bahkan sebuah bencana pun bisa dimanfaatkan untuk mencari keuntungan. Selain udara panas yang menyengat, debu pasir yang berterbangan, dan asap knalpot dari Bus, Truk dan Trailler sangat menyesakkan. Kami harus memilih melewati jalan tanah atau berjibaku di antara kendaraan besar lainnya dengan lebar yang sangat pas untuk sepeda atau bahkan melawan arus. Semua pilihan itu mengundang resiko tersendiri. Jika berjalan di jalan tanah yang berbatu resikonya ban kami bisa bocor karena beban ban cukup berat, jika berjalan diantara Truk dan Bus resikonya adalah terserempet atau terjepit badan bis/truk, dan jika melawan arus ya resikonya ,,,,,,,,, tahu sendirilah Jarak yang tidak terlalu jauh melewati daerah Porong cukup menguras tenaga. Setelah melewati Porong di pertigaan Gempol kami berbelok ke kiri menuju kota Pasuruan. Tak terasa waktu telah menunjukkan tengah hari, udara semakin panas dan menyengat.
Di penunjuk jalan masih sekitar 24km menuju kota Pasuruan, kurang-lebih 1 jam ke depan kami ditunggu oleh adiknya Om Heru untuk makan siang makanan khas Pasuruan. Ternyata kami harus menempuh lebih dari 24km untuk sampai di tempat kami beristirahat. Kurang lebih pukul 14:00 akhirnya kami tiba di sekitar Rejoso, tempat adiknya Om Heru berkantor. Kamipun berhenti sebentar untuk kemudian kembali ke arah kota Pasuruan untuk bersantap siang NASI PUNEL, makanan khas Pasuruan. Pasuruan yang berjuluk Kota Santri hari itu nampak sepi, toko-toko hampir sebagian besar tutup, mungkin masih dalam suasana hari raya Idul Adha. Setelah berputar-putar di dalam kota, akhirnya kamipun menemukan sebuah warung NASI PUNEL yang buka. Nasi Punel selain berisi nasi jg dilengkapi dengan sate kerang, suwiran daging dan kulit, parutan kelapa kering, kerupuk dan tak lupa sambel yang berisi potongan kacang panjang yang sangat pedes. Seporsi Nasi Punel dan minuman cukup membuat perut kami penuh dan terasa enggan beranjak dari tempat duduk. Kami pun segera kembail ke kantor adiknya Om Heru untuk melanjutkan perjalanan.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan hampir jam 16:00, kami mulai pesimis bisa mencapai tujuan semula yaitu daerah Paiton/Besuki yang menurut peta masih kurang lebih 80km dari tempat kami beristirahat. Kami pun sepakat untuk tidak memaksakan diri, mengingat ini hari pertama perjalanan kami dan kami kurang istirahat selama di kereta api. Menjelang sore cuaca mulai sedikit ramah, tetapi ternyata jalanan semakin ramai oleh kendaraan besar. Kami segera menyalakan lampu-lampu sebagai penanda bahwa kami ada di jalanan, sedikit berguna walau tak jarang kami harus turun ke badan jalan untuk menghindar. Jalanan masih cenderung mendatar dan lurus dan cukup mulus, sehingga kami bisa sedikit memacu laju sepeda di kecepatan 20-25Kpj. Kami masih berharap dapat mencapai PAITON/Besuki tidak telalu malam. Halangan kembali muncul, tiba-tiba Hub Depan sepeda Orange OM Awank terlilit besi sepanjang 20cm yang melingkari Hub barunya yang membuat sepedanya terhenti. Dengan wajah memelas memandangi Hub baru nya tergores, mungkin kalo tidak ada kami dia akan menangis. Menjelang Maghrib kami tiba di gerbang “ Selamat Datang di Probolinggo “ kamipun beristirahat sejenak. Ternyata melakukan Night Ride di jalanan Jakarta masih terasa nyaman dibandingkan Night Ride di jalur PANTURA. Kendaraan dengan kecepatan tinggi membuat kami beberapa kali harus meminggirkan sepeda ke jalan tanah. Dengan perbedaan badan jalan dan tanah cukup tinggi menyulitkan kami untuk kembali ke jalan bahkan di suatu tempat OM Awank sempat terkapar karena memaksakan diri pindah dari jalan tanah ke badan jalan. Rupanya beberapa ROGAD di Jakarta tetap memantau kami lewat Social Media ( FB, Twitter dll) sehingga mereka tahu posisi kami di mana. Om Akung menawarkan untuk menginap di rumah saudaranya sekitar Kraksaan, kami segera buka peta perjalanan, untuk mencapai Kraksaan kurang lebih 35km dari tempat kami beristirahat. Setelah berdiskusi dan mengingat kondisi sebagian dari kami sudah sedikit melemah kami pun akhirnya memutuskan untuk melewatkan tawaran menggiurkan dari Om Akung. Kami akhirnya memutuskan untuk mencari penginapan di kota Probolinggo yang tingal 3km dari tempat kami berhenti. Setelah berputar-putar kamipun menemukan Hotel yang lumayan bersih untuk sekedar melepas penat untuk melanjutkan perjalanan esok hari. Total perjalanan hari pertama 110km, kamipun segera bermimpi.
Hari ketiga, Jum’at 19 Nopember 2010 Karena rencana perjalanan hari kemarin berubah, jika mengikuti rencana semula kami harus menempuh lebih dari 180km untuk mencapai pelabuhan ketapang melewati Paiton-Besuki-Situbondo-Bajulmati dan Ketapang. Kira-kira jam 9 setelah kami sarapan di Hotel dan kembali mempersiapkan sepeda dan bawaan kami segera beranjak menuju luar kota Probolinggo. Seperti hari sebelumnya cuaca sudah mulai terasa panas dengan kondisi jalan yang lurus dan masih mendatar. Kurang lebih 25km dari Hotel akhirnya kami tiba di daerah Kraksaan, tempat yang ditawarkan OM Akung untuk bermalam. Kami segera mencari Minimarket untuk menambah perbekalan selama perjalanan dan NGADEM di ruangan ber AC.
Rasanya cukup membosankan melewati jalanan yang lurus dan datar, dan udara panas sangat menguras tenaga. Beberapa dari kami mencoba memacu laju sepeda untuk menyemangati yang lainnya atau ini dinamakan trik untuk bisa beristirahat lebih lama. Dan angin yang keras datang dari arah depan cukup membuat kami harus lebih memacu laju sepeda. Menjelang Paiton, kira-kira 55km dari Hotel tempat kami menginap, kami mencari mesjid untuk melaksanakan Shalat Jum’at. Waktu masih menunjukkan pukul 11 lebih beberapa menit. Beberapa dari kami mandi untuk membersihkan diri dan beristirahat menunggu Shalat dimulai. Dari kejahuan terlihat cerobong asap PLTU Paiton yang menjulang berwarna-warni. Kami sedikit menyesal tidak bisa menikmatinya di waktu malam, pasti lebih indah dengan kerlap-kerlip lampunya. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 13 siang, cacing di perut mulai berontak minta diberi makan. Kamipun mencari warung nasi untuk menambah tenaga karena menuju PAITON jalanan mulai menanjak memutari bukit sepanjang PLTU. Pantai utara sudah mulai terlihat, cerobong asap mulai mendekat, kami harus melahap jalanan menanjak dengan perut yang penuh. 5km dari tempat kami makan sampailah kami di gerbang PAITON, kami menyempatkan diri untuk ber-Narsis ria dengan pemandangan laut lepas dan latar belakang PLTU. Area PLTU ini sangat luas memanjang di kiri dan kanan jalan dengan jalanan yang naik turun , kamipun sampai di gerbang “ Selamat Datang di Situbondo “ Tetapi jangan salah itu bukan berarti kami sudah dekat dengan kota Situbondo , itu hanya perbatasan kota Probolingo dan Situbondo. Kota Situbondo masih sekitar 35km ke depan.
Tidak berapa jauh dari Paiton kami memasuki daerah Besuki dan kemudian Pantai Pasir Putih Situbondo, tetapi kami tidak menemukan atau melihat pantai yang berpasir putih? Kontur jalanan masih berkelok kelok dengan sedikit turunan dan tanjakan. Perlahan dan setelah beberapakali re-grouping menjelang maghrib kami memasuki Kota Situbondo. Situbondo lebih ramai bila dibandingkan dengan Probolinggo. Di alun-alun Situbondo kami berhenti untuk beristirahat dan makan malam dan menambah perbekalan karena ke depannya kami akan melewati Hutan Baluran sepanjang kurang-lebih 20km. Cukup lama kami beristirahat di alun-alun kota Situbondo, kami membuka kembali peta rencana perjalanan, masih kurang lebih 80km untuk mencapai Pelabuhan Ketapang dengan kontur jalan yang cenderung menanjak di sekitar kawasan Taman Nasional Baluran. Setelah berdiskusi apakah kami stop di Situbondo dengan resiko perjalanan akan mundur 1 hari atau kami meneruskan perjalanan menuju arah ketapang dengan mencari tempat menginap sekitar Asembagus atau Banyuputih. Karena waktu sudah menunjukkan hampir jam 21:00 kami pun segera memutuskan untuk meneruskan perjalanan menuju ketapang sesuai dengan rencana perjalanan awal. Melewati daerah Panji, Kapongan, Arjasa jalanan masih mendatar. Di pimpin oleh Om Pri yang telah menenggak Jamu di Kota Situbondo kamipun di ajak Sprint dengan kecepatan lebih dari 27Kpj tanpa henti sekitar hampir 40 Menit. Rupanya tenaga muda Om Pri memacu adrenalinnya sehingga kami yang lebih muda di belakang cukup terengah-engah mengikutinya. Tak berapa lama, mungkin, energi jamu nya sudah mulai menipis Om Pri mulai melambat, sepanjang jalan kami di belakang berteriak-teriak menyemangati dan bercanda agar Om Pri kembali menenggak Jamunya. Perjalanan terasa mengasikkan hampir menjelang tengah malam, kami masih berada di jalanan dan jauh dari rumah. Akhirnya sebuah gubuk di tengah sawah dan kebun yang hanya berukuran 2x 2 meter jadi tempat kami meluruskan punggung dan mencuri waktu untuk sebentar memejamkan mata.
Mungkin dikarenakan kita sebelumnya asik ber-Sprint ria sehingga kita ternyata melewatkan penginapan yang sekiranya bisa kita gunakan untuk bermalam. Kamipun meneruskan perjalanan perlahan dengan mata yang berat. Pepohonan besar sepanjang jalan menemani perjalanan malam kami, sesekali dari arah depan kendaraan besar dengan kecepatan penuh menyisakan angin dan bau knalpot saja. Menurut peta perjalanan, jarak Pelabuhan Ketapang sekitar 40km lagi, berarti tak jauh ke depan kami akan melewati Kawasan Taman Nasional Baluran. Dan waktu telah menunjukkan hampir jam 12:00 !!! Setelah berembug mengira-ngira dan membayangkan Tanjakan dan hutan sejauh hampir 25km harus kami lalui dalam gelap malam dan badan yang cape, akhirnya kami memutuskan untuk berhenti dan melanjutkan perjalanan dini hari nanti. Sebuah warung yang sudah tutup, dengan 2 bale-bale yang cukup besar akhirnya menjadi pilihan kami untuk memejamkan mata, setelah sepeda kami kunci dan barang-barang berharga kami amankan kami mencoba untuk tidur diantara bising suara Truk dan Bus dengan kecepatan tinggi melewati kami. Entah kami benar-benar tertidur atau tidak waktu bergerak dengan cepat. Udara pagi mulai terasa dingin membawa angin dari arah hutan.
Hari keempat, Sabtu 20 Nopember 2010 Tepat jam 4 pagi, kami segera berkemas dan melanjutkan perjalanan dengan asumsi jalanan tidak terlalu ramai sehingga kami bisa melewati hutan dengan selamat. Kami pun mengenakan jaket, tetapi ternyata tidak berguna malah membuat kami lebih cepat berkeringat karena jalanan menanjak telah dimulai. Sisi kiri dan kanan mulai terlihat pohon-pohon jati muda dan belukar, aroma hutan basah mulai tercium. Jalanan memang relatif sepi hanya beberapa motor dengar keranjang yg didesain khusus untuk membawa kayu bakar lewat menuju ke arah dalam hutan. Jalanan terus menanjak beberapa kilometer ke depan, dan di beberapa tempat banyak lubang yang cukup mengganggu laju sepeda kami. Di suatu tanjakan yang cukup curam kami melihat antrian truk tak bergerak di kedua sisi jalan, rupanya ada salah satu truk yang mungkin As nya patah teronggok tidak bergerak di sisi sebelah kanan jalan. Mungkin truk tersebut akan menyalip truk di depannya tetapi kemudian tidak berhasil dan malah terhenti. Sehingga kedua sisi jalan sepanjang beberapa ratus meter menganti truk dan bus dari terdiam tidak bisa bergerak sama sekali. Beruntung sepeda kami bisa melewati celah diantara truk truk bermuatan penuh tersebut sehingga kami bisa melanjutkan perjalanan. Udara yang segar dengan pemandangan yang cukup menawan membuat kami sedikit melupakan rasa cape dan ngantuk. Beberapa tanjakan masih harus kami lewati membuat kami harus re-grouping beberapa kali agar perbedaan jarak tidak terlalu jauh. Jalanan yang berlubang membuat kami harus lebih berhati-hati, apalagi pas di jalan turunan bonus sebelum tanjakan berikutnya. Om Ridwan sempat terjungkal di salah satu lubang jalan dan “menurut” cerita Om Pri yang persis berada di belakangnya cukup terkapar di jalanan. Dan bukannya menolong Om Pri malah tertawa terbahak-bahak melihat Om Ridwan terkapar di jalanan. Entah bagaimana persisnya kejadian ini berlangsung hanya mereka berdua yang tahu. Akhirnya kami sampai di puncaknya, terbukti dengan jalanan sudah mulai menurun, sehingga kamipun bisa meluruskan kaki untuk menikmati turunan sepanjang beberapa kilometer. Sepanjang kawasan Taman Nasional Baluran ini memang tidak ada terlihat rumah penduduk atau warung, hanya ada kira-kira 3 Pos Polisi Hutan yang kami temui di sepanjang hampir 25km.
Sekitar jam 6 akhirnya kami menemukan kehidupan dengan munculnya rumah penduduk di kiri dan kanan jalan walaupun masih jarang. Tepat di Pom Bensin yang kami temui pertama kali, kamipun membersihkan diri dan mencari sarapan pagi, dan minuman panas dan beristirahat sampai kira-kira jam 8 pagi. Seharusnya pelabuhan Ketapang sudah tidak jauh lagi, karena tidak berapa lama kami melihat gerbang “ Selamat Datang di Banyuwangi “ . Tak berapa lama kami sudah bisa melihat pantai utara di sebelah kiri kami, sepanjang beberapa kilometer kami melaju mengikuti garis pantai. Sungguh suatu pemandangan yang sukar dilupakan. Menjelang jam 10 kami tiba di sebuah Pos yang terletak di ujung karang yang sedikit menonjol ke bibir pantai. Pelabuhan Ketapang sudah terlihat di ujung sana. Lagi-lagi pemandangan yang indah, laut lepas, angin dan bau pantai, jejeran warung-warung, kapal nelayan menjadi komposisi yang menarik untuk dilewatkan, kamipun berhenti sambil menungu rekan-rekan yang berada di belakang kami.
Tak berapa lama ke depan akhirnya kami sampai di Pelabuhan Ketapang, setelah membayar tiket @ 7,500 kamipun naik ke dek kapal yang akan membawa kami ke Gilimanuk. Perjalanan di atas kapal Fery kira-kira 1 jam. Kapal yang tidak terlalu besar, laut yang tenang dan di ujung sana sudah terlihat ujung sebelah barat Pulau Bali. Sekitar jam 12 (atau jam 1 WIT ) siang kami sampai di Pelabuhan Gilimanuk. Udara sangat panas dan angin laut membuat badan kami lengket. Tidak jauh dari Pelabuhan kami beristirahat di sebuah Mesjid, yang rupanya juga dijadikan tempat beristirahat bagi pengendara motor yang akan melanjutkan perjalanan menuju Bali.
Cukup lama kami beristirahat dan bergiliran kamar mandi dan bahkan sempat mencuci baju kami yang kotor. Kemudian kami bergerak mencari tempat makan. Di sepanjang jalan keluar Pelabuhan banyak berjejer Warung dengan tulisan “Warung Muslim “ akhirnya kami memilih salah satu warung yang cukup ramai untuk makan. Jarak dari Pelabuhan ke kota Denpasar sekitar 130km dengan kontur jalan yang menanjak di sekitar Negara dan Tabanan. Membuat kami kembali berhitung dan membayangkan sampai berapa lama kami akan sampai di Denpasar. Sementara waktu sudah menunjukkan hampir pukul 3 sore, akhirnya kami memutuskan untuk menginap sebelum kota Denpasar mudah-mudahan bisa masuk Tabanan. Tak jauh dari Pelabuhan kami memasuki Kawasan Taman Nasional Bali Barat, kurang lebih sepanjang 15km kami menikmati jalanan yang mulus dan cenderung menurun sehingga kami bisa memacu laju sepeda di atas 25Kpj.
Sedang asyik-asyiknya dan terlena menikmati turunan kami tidak sadar bahwa jalanan ke depan adalah tanjakan. Dimulai dengan tanjakan berbelok yang sangat curam membuat kami sedikit kaget dan tidak siap menghadapinya. Jalanan mulai berkelok, menanjak dan sedikit sekali turunan atau jalan mendatar. Beberapa kali kami re-grouping dan beristirahat untuk minum, karena kami tidak menemukan minimarket sepanjang perjalanan kami mencari warung yang agak besar untuk membeli air mineral. Sekitar jam 6 sore akhirnya kami tiba di daerah Negara. Melalui kotanya dengan jalanan yang sangat lebar dengan lampu-lampu jalanan yang terang benderang dan gapura-gapura khas
bali mulai terlihat. Melewati daerah Negara, mungkin sekitar daerah Mendoyo, di sebuah pasar kami berhenti untuk makan malam. Bagi kami ini adalah makan malam teraneh dan terheboh yang pernah kami alami. Biasanya atau pada umumnya di warung-warung makan di pasar yang akan banyak kucing berkeliaran untuk mencari sisa-sisa makanan. Di sini hampir di semua pojokan adalan ANJING. Bayangkan makan dengan dibayangi ketakutan akan digigit anjing apa enaknya. Apalagi di daerah Bali terkenal dengan wabah Rabiesnya. Menurut penduduk kita dapat dengan mudah membedakan mana anjing yang sudah terbebasa rabies dengan anjing yang belum di vaksin yaitu dengan cara melihat apakah di leher anjir tersebut sudah terikat semacam kalung yang berwarna yang menandakan anjing tersebut sudah terbebas dari rabies. Makan malampun jadi ajang saling melempar tulang ayam ke rekan sebelah sehingga anjing-anjing pada datang bergerombol, begitu seterusnya. Sehingga tawa pun membahana di sela suapan nasi dan gonggongan anjing. Hari beranjak malam, Denpasar masih sekitar 80km ke depan. Akhirnya kami melanjutkan perjalanan dengan tujuan mencari penginapan sekitar daerah PEKUTATAN. Di tengah perjalanan kami bertemu dengan seorang pemuda asing dari prancis tanpa baju dengan motor bebek yg dilengkapi rak untuk menyimpan papan surfing menyarankan kami untuk menginap di Hotelnya, yang rupanya pemuda tadi melihat kami begitu turun dari Kapal di pelabuhan Gilimanuk dan tidak menyangka akan bertemu lagi di jalanan. Rekomendasi dari pemuda prancis tadi tidak mengecewakan dengan harga yang tidak terlalu mahal, kami mendapatan Hotel yang sangat bersih, dengan air panas dan pemandangan pantai yang indah. Begitu sampai di Hotel kami segera berkemas, membongkar bawaan naik ke atas karena gerimis mulai turun. Setelah membersihkan diri kami bukannya segera beristirahat tetapi sebagian dari kami malah mengobrol, tertawa-tawa dan mengingat kelucuan yang timbul selama perjalanan dan mendiskusikan sisa perjalanan. Tak terasa waktu sudah menunjukkan hampir jam 2 pagi, kami pun segera terlelap dalam mimpi masing-masing. Kami lihat Cyclometer kami menunjukkan 345 km dari arah Surabaya.
Hari kelima, Minggu 21 Nopember 2010 Pagi yang sempurna, roti bakar + teh manis, deburan ombak berlarian menuju pantai. Berkemas, mencuci baju, memanfaatkan matahari pagi yang mulai menyengat. Masalah muncul kembali, ban belakang sepeda Om TP salah satu nipple jari-jarinya longgar, sebetulnya sudah berasa dan berbunyi sejak memasuki kota Banyuwangi. Mungkin kendor setelah menghajar beberapa lobang di turunan sekitar Baluran. Akhirnya di bongkar dan dikengcangkan seperlunya agar sampai kota terdekar (Tabanan ) untuk mencari bengkel sepeda. Sekitar jam 10 kami keluar dari Hotel untuk melanjutkan perjalanan ke Denpasar dan terus ke timur sampai ke pelabuhan Padang Bai yang akan membawa kami ke tujuan akhir
LOMBOK dengan jarak kurang lebih 125km. Selesai makan pagi di ujung jalan Hotel, kami melanjutkan perjalanan dengan udara yang cukup panas. Kami mulai di hadapkan dengan jalanan yang menanjak yang panjang yang cukup curam. Di beberapa tempat ada bonus turunan yang tak cukup membawa kami ke puncak tanjakan sehingga kami harus tetap mengayuh agar sampai di ujung tanjakan.
Ternyata tanjakan menuju Tabanan ini lebih berat dan lebih panjang bila dibandingkan tanjakan di Baluran dan di Negara. Jalanan yang berkelok –kelok sangat bertolak belakang bila dibandingkan dengan jalanan sepanjang Surabaya- Situbondo yang lurus dan cenderung membosankan. Di sekitar 45km menuju Denpasar, kami bisa melihat di ujung sebelah atas sana mobil-mobil sedang merayap. Kami membayangkan akan beratnya tanjakan yang harus dilalui. Sedikit demi sedikit kayuhan demi kayuhan akhirnya kamipun sampai di puncak tanjakan. Re-grouping kembali di lakukan.
Om TP dan Om Heru meneruskan perjalanan dengan tujuan mencari bengkel sepeda untuk memperbaiki pelk sepeda Om TP yang mulai bergoyang parah. Beberapa kali berhenti di bengkel motor untuk menanyakan apakah bisa menyetel pelk dengan hasil nihil. Rupanya ini hari minggu, sehingga banyak bengkel-bengkel yang tutup. Ada satu bengkel sepeda yang kami temui tetapi sayang tidak mempunyai alat untuk menyetel pelk. Setiap menanyakan kepada orang dijalan selalu di jawab “ Ada Pak, 4 km ke depan” begitu seterusnya sampai akhirnya kamipun bosan bertanya. Tak terasa jalanan yang berkelok dan menanjak sudah kami lewati hampir 50km dari Hotel tempat kami menginap. Di perjalanan sekitar daerah Antasari kami bertemu dengan seorang Bapak yang juga mengayuh sepeda seorang diri dari daerah Porong menuju Bali. Kami sempat mengobrol sebentar dan berjalan bersama sampai kira-kira 3km menuju perbatasan kota Tabanan tiba-tiba hujan turun sangat deras. Masing-masing dari kami berteduh di tempat yang berbeda dan sialnya tak satupun dari kami yang beruntung bisa berteduh di warung untuk sekedar mencari minuman hangat. Ada yang berhenti di pom bensin, di pangkalan truk, di gubuk kosong sambil menunggu hujan reda. Setelah hujan agak reda, kami melanjutkan perjalanan menuju kota Tabanan. Waktu sudah menunjukkan pukul 16:00, jalanan basah sisa hujan yang masih menyisakan satu tanjakan memasuki gerbang kota Tabanan. Rupanya rasa lapar mulai menyelimuti, di ujung jalan nampak Tukang Bakso berhenti di depan sebuah Bale. Ah pas sekali abis hujan makan bakso yang panas. Om Tp dan Om Heru yang tiba duluan menyantap bakso terlebih dahulu sambil menunggu rekan lainnya yang di berada di belakang. Semangkuk bakso + lontong cukup membuat perut kami penuh ditutup dengan kopi dan teh panas, kami melanjutkan perjalanan. Aroma malam kota mulai terasa, lampu-lampu jalanan telah menyala. Om Tp berpisah di Rodalink Tabanan untuk memperbaiki sepedanya, sedangkan yang lainnya meneruskan perjalanan ke Denpasar yang tinggal 20 km ke depan.
Setelah sepeda selesai diperbaiki Om Tp kembali meneruskan perjalana ke arah By Pass Denpasar untuk kembali berkumpul dengan yang lain yang sudah terlebih dahulu sampai untuk menitipkan sebagian barang bawaan yang akan dibawa ke saudaranya Om Pri agar tidak terlalu berat dan banyak bawaan yang akan dibawa ke Lombok. Makan malam di sekitar ByPass, sambil beristirahat. Sesuai dengan pembicaraan semula dan kesepakatan bersama kami akan tetap melanjutkan perjalanan menuju Pelabuhan Padang Bai sehingga paling tidak pagi-pagi kami sudah bisa menyeberang ke Lombok. Menurut peta perjalanan kami jarak dari Denpasar ke Pelabuhan Padang Bai adalah sekitar 50km, berarti paling nggak kita bisa sampai menjelang tengah malam di Pelabuhan Padang Bai. Melewati daerah Sukawati-Gianyar Night Ride kami mulai sekitar jam 21:30. Sepanjang jalan kami mulai diganggu dengan gongongan anjing yang saling bersahutan. Jalanan mulai kembali berkelok gelap dan menanjak memasuki daerah Klunkung. Kami sengaja jalan beriringan untuk mencegah hal-hal yang tidak di inginkan. Di beberapa tempat malah kami sempat dikejar oleh anjing, ada untungnya juga tenyata biasanya pas melewati tanjakan kami mulai melambat lha ini malah tambah kencang karena dikejar anjing. Formasi mulai berubah menjadi beberapa group kecil, berdua atau bertiga. Entah karena rasa cape dan hari mulai menjelang tengah malam kami merasa dibohongin oleh petunjuk jalan yang mengatakan jarak Padang Bai tinggal 7km lagi. Kami merasa lebih dari 3x lipatnya jarak yang harus di tempuh. Hampir menuju ke pertigaan antara Padai Bai dan amlapura, Om Tp yang berjalan sendirian di depan nampak sedan terengah-engah di ujung tanjakan di sebuah Tugu. Rupanya hampir 300 meter dikejar anjing di tanjakan pula. Bukan cuma satu anjing tapi di belakangnya ada beberapa anjing yang ikut mengejar. Akhirnya kira-kira jam 2 pagi kami sampai di gerbang Pelabuhan Padang Bai. Sambil menunggu kapal ferry yang sedang bongkar muatan kami sempat makan dan minum kopi di pelabuhan. Dengan membayar 44 Ribu kami naik fery menuju Pelabuhan Lembar untuk mengantar kami menuju Lombok.
Hari keenam, Senin 22 Nopember 2010 Perjalanan kapal ferry menuju lembar kurang lebih 4-5 jam tergantung ombak dan lamanya bongkar muat. Setelah sepeda kami simpan di tempat yang aman kami segera naik ke atas dek penumpang untuk mencari tempat meluruskan badan dan mencuri waktu tidur. Belum berapa lama kapal berjalan kehebohan terjadi. Seekor tikus tiba tiba melintas dengan cepat entah dari mana datangnya ke arah para penumpang yang baru saja terbuai ombak. Sontak saja kejadian adanya tikus ini membuat penumpang berdiri dan kebingungan apa yang terjadi, termasuk Om Tp yang tepat berada di arah di mana tikus itu mau berlari. Setelah itu kamipun tertidur ditemani getaran mesin kapan yang sangat terasa di punggung kami seperti sedang menikmati pijatan. Biasanya di perairan antara Padai Bai dan Lembar kita bisa melihat lumba-lumba yang berkelompok yang melintas. Tetapi karena kami berada pas gelap kami tidak bisa melihatnya. Menjelang Pukul 8 pagi kapal ferry mulai merapat di Pelabuhan Lembar. Akhirnya kami sampai juga menapakkan ban sepeda kami di tanah Lombok.
Jarak dari Pelabukan ke Kota Mataram kira-kira 25km dengan kontur jalan yang mendatar dan lurus. Keluar dari Pelabuhan Lembar kami mencari mesjid untuk menumpang mandi dan membersihkan diri. Tidak begitu jauh dari gerbang pelabuhan kira-kira 2km kami diperbolehkan menggunakan kamar mandi di sebuah mesjid yang lumayan besar yang terbuka. Di mesjid inilah Om Ridwan mendapat kabar yang kemudian akhirnya dia memutuskan untuk pulang duluan. Sebetulnya sebelum mengatakan iya untuk ikut dalam perjalanan ini, Om Ridwan masih setengah-setengah karena kandungan sang istri sudah pada masanya melahirkan. Tetapi setelah diberi ijin akhirnya memutuskan untuk berangkat juga. Setelah mendapatkan kepastian tiket untuk kembali ke Jakarta, akhirnya setelah makan pagi di sebuah warung, kami melanjutkan perjalanan menuju Bandara Selaparang. Om Tp, Om Zam dan Om Awank terpisah dari yang lainnya dan melewati jalan yang berbeda untuk menuju bandara. Cuaca terasa sangat panas, sepanjang jalanan nampak kebun jagung yang masih muda, dan sawah-sawah yang menghijau sedikit menghilangkan kebosanan selama perjalanan menuju Bandara. Memasuki perbatasn kota, mulailah terlihat moda transportasi khas mataram yaitu CIDOMO, atau kereta/gerobak penumpang yang ditarik oleh kuda. Sungguh sayang kota yang lumayan bersih harus ternoda oleh kotoran kuda yang tersebar di mana-mana. Memasuki kota Mataram hujan turun dengan sangat deras. Akhirnya kami semua terpisah. Om Tp terus melanjutkan perjalanan menuju bandara dan akhirnya sampai terlebih dahulu. Kemudian Om ridwan, Om Zam dan Om Awank menyusul kira-kira setengah jam kemudian. Rupanya mereka diajak berteduh oleh seorang anak muda yang mempunyai hobi bersepeda juga dan berencana membuka toko sepeda di Mataram. Saking antusiasnya anak muda tadi malah menawarkan makan di rukonya dan malah menawarkan membawa sepeda Om Ridwan, Om Zam dan Om Awang ke Bandara dan juga menawarkan Ruko jika mau menginap. Lalu di mana posisi Om Heru, Om Dody dan Om Pri. Rupanya mereka memilih jalur lewat kota Mataram, dan ternyata Om Pri terpisah sendiri gara-gara hujan yang tiba tiba turun dengan derasnya. Komunikasi agak susah karena beberapa Operator seluler yang kami gunakan selalu mengatakan nomor yang anda hubungi salah. Sehingga untuk beberapa lama kami kehilangan kontak satu sama lain. Kurang lebih satu jam akhirnya Om pri muncul juga di Bandara, kemudian disusul oleh Om Heru dan Om Dody. Pesawat yang akan mengantar Om Ridwan kembali ke Jakarta akan terbang jam 16:40 . Setelah packing dan membersihkan sepeda, lalu kami mengantar untuk Check-in . Begitu selesai kami menyempatkan untuk makan di sekitar areal Bandara sebelum berpisah. Sekarang kami tinggal ber-enam. Ada dua rencana pada saat itu ; menginap di daerah Sengigigi atau beristirahat di Mataram dan besok hari baru ke Sengigi. Akhirnya kami tidak memilih keduanya. Kami bergerak ke arah sengigi, kurang lebih dari Bandara sekitar 20km. Di tengah perjalanan kami menemui arak-arakan penganten muda yang cukup memacetkan perjalanan, diiringi dengan musik keybaord dan kira-kira delapan drum dengan nyanyian dan anak-anak muda seperti anak PUNK yang berjoget tiada henti. Pastinya sebelumnya mereka menenggak minuman terlebih dahulu kalau dilihat dari raut mukanya yang kosong begitu juga dengan pengantinnya.
Menjelang jam 6 Sore kami tiba di kawasan Sengigi dengan pantainya yang indah. Kami hanya berfoto-foto dan tidak terus melanjutkan menyusuri pantainya yang panjang. Segera kami kembali ke arah Mataram untuk mencari Hotel untuk beristirahat. Setelah mendapat rekomendasi dari temannya Om Pri, kamipun akhirnya memilih menginap di Hotel sekitar Ampenan untuk beristirahat dan melanjutkan perjalan pulang ke esokan harinya. Kami lihat di Cyclometer kami ; 525km dari Surabaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya