Mohon tunggu...
Den Mas Vic
Den Mas Vic Mohon Tunggu... Sales - Indah Karena Benar

Nostalgiaers

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mungkin Eiger Harus Belajar dari Pak Tino Sidin, Maestro Dua Gunung yang Gak Baperan

29 Januari 2021   21:11 Diperbarui: 31 Januari 2021   05:38 3335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pelajaran kesenian di sekolah dasar biasanya menjadi ruang pamer kreativitas di sekolah. Setiap anak bagaimana pun karakternya pasti ada saja darah seni yang mengalir. 

Nah, mata pelajaran ini juga menjadi salah satu mata pelajaran favorit saya dari kecil, sifat seni yang bebas membuat saya tidak harus membatasi diri perihal hapalan, rumus, dan turunannya. 

Alibi saja padahal nyat pekok tekan cilik. Satu di antara jenis mata pelajaran itu yang cukup saya suka adalah menggambar.

Ketika tiba saatnya Ibu Guru menyuruh kami mengeluarkan alat menggambar, saya ingat betul ketika memandangi teman-teman kecil saya. Ada pandangan melihat ke atas layaknya Galileo yang memikirkan "Diagramma della Verita", Diagram Kebenaran. 

Lalu ada kawan yang mondar-mandir tengok kiri dan kanan layaknya Pak Satpol PP yang akan merazia orang yang tidak memakai masker, pun begitu seorang teman saya dengan gaya topang dagunya berpikir agar terlihat layaknya patung The Thinker. entah apa yang dipikirkannya. 30 menit waktu menggambar, lalu Ibu Guru pun meminta gambar dikumpulkan . 

Dan yang terjadi...

Hampir 99 persen murid di dalam kelas tersebut menganut aliran naturalisme. Meski dengan nuansa yang berbeda, atau bentuk garis yang dimodifikasi, kami semua menggambar dua gunung, matahari bersinar di tengahnya, jalanan lurus, dan persawahan, tidak lupa huruf "M" di atas langit dengan garis di bawah. 

Ada yang gunungnya simetris besarnya, ada pula yang tidak, ada yang jalanannya lurus karena mendapat subsidi infrastuktur, ada yang tidak. Lalu ada yang rumahnya besar, ada pula yang tidak. 

Mungkin tergantung cicilan orang tuanya. Ada yang huruf "M" nya melengkung kecil, ada yang besar, mungkin kalo yang besar habis ditraktir Big Mac. Semuanya memiliki pandangan, ulasan, dan terjemahan yang berbeda atas sebuah karya yang menjadi landasan karya gambar mereka. Sebuah karya dari maestro seni rupa asal Indonesia, Tino Sidin. 

Namun, apakah bapak Tino Sidin marah? Kok saya berpikir rasanya beliau cukup arif dan bijaksana untuk tidak memarahi anak-anak macam kita ini. Karena sebagai maestro, dia sudah memikirkan bahwa apapun review, tanggapan, dan reka karya anak kecil itu adalah..."Bagus!, kalimat yang diucapkannya pada setiap sesi acara menggambar yang dilakukannya. Tidak ada rasa di dirinya bahwa,

1. Gambar anak kecil ini dari kualitas gambar review nya kurang bagus dari segi pengambilan angle gambar yang dapat menyebabkan gambar Pak Tino Sidin terlihat berbeda baik dari segi warna, sehingga bahan dan detail aksesoris menjadi terlihat kurang jelas. 

2. Adanya suara di luar ruang belajar yang dapat mengganggu (noise) sehingga informasi gambar tidak jelas bagi konsumen atau penikmat gambar

3. Setting lokasi yang kurang proper bagi pembuatan gambar.

Tino Sidin adalah benar-benar maestro, jika bukan maestro tidak mungkin Google Doodle menaruhnya di halaman muka pada 25 November 2020 lalu. Seorang sosok yang bisa dibilang mahaguru lukis, yang menginspirasi, namun tetap membumi dan tidak pernah berpikir bahwa dia ada di puncak gunung yang tertinggi.

Tetaplah Membumi Di Saat Tinggi

Kasus merek perlengkapan dan pakaian luar ruang Eiger yang ramai diperbincangkan, lantaran mereka mengirimkan surat teguran kepada Youtuber benar-benar mengajarkan kepada kita satu hal. 

Bahwa kekuatan terbesar bagi jenama adalah rasa cinta publik terhadap jenama itu. Tahun 1994, ketika Eiger membuka toko pertamanya di Bandung, mungkin mereka tidak pernah menyangka akan menjadi jenama sehebat ini. Tentu mereka tahu bahwa kekuatan mereka bukan karena produk mereka sendiri saja, ada masyarakat yang mengenalkannya secara gethuk tular.

Ada anak gunung yang dulu masih bingung membayar biaya kuliah mengenakan tas punggung Eiger. Ada anak SMA yang dari hasil menabung, mampu membeli sendal gunung. Ada pula mas-mas mengenakan kemeja flannel yang dipakai saat mengunjungi pacar di kostnya, dan sang pacar senyam-senyum karena masnya kok ganteng sekali. Itulah mungkin sedikit cerita dari para pengguna produk Eiger.

Kini, hanya karena persoalan review saja semua dianggap salah, semua menjadi runyam. Nasi sudah menjadi bubur, sang gunung terasa hancur.

Yah, memang kita mesti banyak belajar...seperti Pak Tino Sidin yang selalu belajar untuk menghargai apapun itu sebuah karya sambil mengucapkan:

BAGUSSS.......

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun