Mohon tunggu...
Den Mas Vic
Den Mas Vic Mohon Tunggu... Sales - Indah Karena Benar

Nostalgiaers

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Atribut yang Bikin Ribut, Jadi Teringat Nostalgia Bersekolah di SMA Negeri Favorit

27 Januari 2021   03:35 Diperbarui: 27 Januari 2021   15:34 612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hal tersebut merupakan bentuk intoleransi atas keberagamaan, sehingga bukan saja melanggar peraturan UU, melainkan juga nilai-nilai Pancasila dan Kebhinekaan," Nadiem Makarim

Saya sejenak diam dan ingatan saya kembali 18 tahun silam saat membaca berita terkait kasus intoleransi di SMKN 2 Padang, Sumatera Barat (Sumbar) yang mewajibkan siswi non-muslim mengenakan hijab.

Saat itu saya masih SMA di salah satu sekolah negeri di kampung halaman saya. Bangkrutnya perekonomian keluarga, memupus impian untuk bisa tetap bersekolah di sekolah swasta yang saya idamkan.

Alasan ekonomis dan dianggap sebagai sekolah favorit, membuat saya diharuskan bersekolah di SMA favorit tersebut. Suatu hal yang pada akhirnya bisa saya bilang bahwa sebenarnya memorable banget sih kalo ngomongin masa-masa SMA. Wabilkhusus soal pelabelan dan atribusi terhadap siswa Katolik, non-muslim seperti saya.

Bersekolah di SMA negeri favorit, nyatanya memang tidak menjadi kenangan terindah saya. Maaf saya harus katakan, kurang terasa keindonesiaannya.

Sewaktu ospek, dibilang noni (istilah bagi siswa dan siswi di luar keyakinan Islam). Apa? saya ini laki-laki kenapa dipanggil noni? Okelah kalo Meneer sekalian biar terangkat derajat saya, biar seolah-olah terkesan siswa pertukaran pelajar.

Lalu yang menjadi pertanyaan saya juga saat itu, kenapa ya SMA negeri tidak menghadirkan guru agama noni di sekolah, jadi kami siswa dan siswi ini, nona dan noni, tidak harus mengikuti pelajaran agama Katolik di gereja setiap hari Minggu.

Padahal hari Minggu kan waktunya ke gereja, pulang gereja makan bakso atau siomay, dan family time. Masih juga disuruh belajar, teologi pula. Wah itulah keunggulan lahir batin siswa noni di Sekolah Menengah Atas Negeri terkemuka di wilayah saya.

Jika tadi soal panggilan, saya jadi teringat teman-teman wanita noni saya. Saat itu sedang booming film "Ada Apa Dengan Cinta?". Rangga dan Cinta adalah role model standar penampilan siswa dan siswi.

Wah, benar-benar berdesir darah kelakian ini kalo melihat outfit putih abu-abu yang ukurannya full presses body itu, dengan rok di atas lulut, lalu kaos kaki macam pemain bola Totenham Hostspurs, panjang dan putih. Wangun jon.

Tidak cuma teman-teman wanita saya saja, ada teman cowok yang juga pakai baju ngepas badan dan celana yang kedodoran. Cocoklah untuk menjadi pemain-pemain ekstras di film itu.

Tapi, pada akhirnya teman-teman wanita saya yang noni itu, cuma hanya sebentar bisa menggunakan model seragam seperti itu. Karena belakangan mereka harus mengenakan rok panjang, meskipun kemejanya sih sedikit lebih longgar.

Tapi, lebih serunya lagi adalah setiap hari Jumat. Agar saya bisa merasa menjadi bagian dari masyarakat yang komunal maka saya pernah sampai ikut sholat Jumat, dengan alasan mayoritas teman saya melaksanakan ibadah sholat Jumat tadi.

Sehabis itu biasanya kami bermain bola, karena pelajaran olahraga dijadwalkan selepas waktu sholat Jumat. Saya juga akhirnya akrab istilah-istilah dalam bahasa Arab karena seringnya mendengar kawan-kawan yang sebagian cukup fasih dan keseringan ikut sholat Jumat.

Merdeka Sejak dalam Pikiran

Atas nama pikiran, saya ingin bertanya, memang sebenarnya hakikat bersekolah di Indonesia ini apa ya? Sampai-sampai masalah seragam dan atribut keagamaan kok menjadi faktor signifikan dalam lingkungan bersekolah?

Jargon merdeka belajar sejatinya kan adalah visi untuk memerdekakan pikiran dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Harus adil sejak dalam pikiran, jangan menjadi hakim atas perkara yang tidak kita ketahui benar atau salahnya, demikian Pram sampaikan dalam Bumi Manusia. Aturan berpikir dan berekspresi dalam kegiatan belajar mengajar ini sudah jelas aturannya. 

Melalui Pasal 55 Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), dituliskan bahwa setiap anak berhak beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orang tua atau wali.

Selain itu, Pasal 4 Ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa.

TIDAK DISKRIMINATIF, wahai Bapak/Ibu Guru sekalian.

Tapi sebentar... sebentar... Rasanya gak salah juga sih. Jika, guru di Sumatera Barat itu mewajibkan siswi non-muslimnya untuk mengenakan hijab, ya memang tidak perlu kita gugat, tidak perlu disalahkan.

Justru kita harus berterima kasih terhadap guru tersebut. Blio menjadi contoh, karena mengingatkan kepada pemerintah bahwa ada aturan yang harus ditegakkan. Aturan yang dibuat oleh pemerintah daerah setempat. 

Aturan pemerintah setempat berlaku untuk wilayah setempat, lalu fungsi Undang-Undangnya? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun