Angka nol (0), angka satu (1) dan takhingga () adalah hal yang berbeda, jika mengacu konsep angka menurut garis bilangan. Yaitu konsep angka dalam satu garis lurus. Angka negatif di sebelah kiri, kemudian angka nol, lalu angka satu. Dan takhingga ada di sisi nan jauh.
Gambar garis bilangan atau garis bilangan linier
Walaupun pada dasarnya bilangan atau angka-angka hanyalah pengulangan dari sepuluh karakter yang ada, 0,1,2,3,4,5,6,7,8,9 tapi kita selama ini di sekolah diajarkan bahwa bilangan itu berkonsep satu garis lurus.
Ada satu lagi konsep tentang bilangan, yaitu bilangan adalah siklus yang berputar. Hal ini seperti yang sudah saya tuliskan di artikel saya sebelumnya tentang "Makna angka 1 sampai dengan 10". Di artikel tersebut saya memperkenalkan konsep bilangan sebagai siklus, sekaligus mencoba menerka atau menafsirkan makna dibaliknya.
Kemudian manakah konsep bilangan yang benar, apakah konsep bilangan dengan model linier atau garis lurus, ataukah konsep bilangan dengan model lingkaran atau siklus? Menurut saya kedua-duanya benar, hanya saja kita butuh ketepatan dalam menggunakannya. Pertanyaan ini mengingatkan saya akan pertanyaan lain yaitu "Apakah bumi ini bulat atau bumi ini datar?" kedua-duanya pertanyaan yang asyik. Saya akan mencoba menjelaskan keduanya, tapi tidak saya jamin bahwa penjelasan saya adalah benar. Sudah pasti tidak memuaskan Hahaha...
Gambar konsep bilangan adalah siklus
Dalam kasus angka nol, satu dan takhingga, konsep bilangan model linier tidak cukup mampu menjelaskan apa makna di balik itu. Maka konsep bilangan dengan model lingkaran atau siklus lebih pas untuk menjelaskan ketiganya. Seperti pada pertanyaan "Apakah bumi bulat atau datar?"
Baik saya akan dahulukan kasus bumi bulat atau bumi datar, untuk nol, satu dan takhingga saya jelaskan di akhir bahasan ini, biar terasa manis dan berkesan.
Apakah bumi ini bentuknya datar? Iya! Sepanjang pengamatan dengan mata kita, sejauh mata memandang, bumi ini adalah hamparan yang datar. Selama kita berdiri, kita tetap tegak, ketika kita mendongak ke atas memandang langit kita tetap melihat matahari, bulan dan bintang yang sama. Bagaimana mungkin bumi bisa dikatakan bulat seperti bola? Jikalau seperti itu seharusnya dan dunia terbalik di belahan bumi lain.
Baik bumi memang datar, sejauh pengamatan mata kita. Tapi berapakah jauhnya kita bisa mengamati dengan mata? Katakalah kita mampu melihat sejauh radius 35 Km sampai 50 Km, apakah itu sudah cukup untuk melihat lengkung bumi? Dan radius 35 Km sampai 50 Km tidak bisa kita kalikan dua, karena kita tidak bisa melihat apa yang ada di belakang kita. Kemudian kita memang berdiri tegak dan memandang gugusan bintang yang sama, tapi sejauh manakah kita telah menjelajah bumi sehingga kita bisa melihat ada perbedaan gugusan bintang? Sebanyak apa kita tahu akan gugusan bintang?
Katakanlah kita ambil jarak radius terjauh pandangan kita 50 Km, kemudian lebar pandangan 3 kalinya (yang masih dalam fokus mata / pandangan) sama dengan 150 Km. Dengan lebar pandangan 150 Km apakah cukup untuk melihat lengkung bumi?
150 Km / 40.000 Km = 0,00375
0,00375 X 100% = 0,375% lengkung bumi
Perkiraan 40.000 Km adalah keliling lingkaran dengan diameter 12.000 Km, yaitu diameter yang mendekati diameter bumi.
Dari hasil diatas adalah pengamatan dengan mata kita akan bumi, ketika melihat cakrawala / horizon, tidak sampai 1% dari lengkung bumi. Maka adalah benar jika dikatakan bumi ini datar.
Tentu saja tidak mungkin melihat kelengkungan bumi dengan mata telanjang. Diperlukan syarat-syarat tertentu untuk bisa melihat sedikit kelengkungan bumi, kita butuh pengamatan ke tempat yang lebih tinggi, tidak cukup mendaki gunung, atau naik pesawat terbang. Kita butuh ketinggian tertentu untuk bisa melihat lengkung bumi, butuh pengetahuan tentang sudut atau trigonometri, butuh pengetahuan tentang lensa mata ataupun lensa kamera untuk mengabadikan, butuh pengetahuan tentang roket untuk membantu kita terbang pada ketinggian tertentu.
Jika mengacu pada hitung-hitungan di atas, untuk melihat 1% dari lengkung bumi, lebar pandangan kita harus mencapai 400 Km. Lebar 400 Km seberapa jauh? Dari Banyuwangi sampai Malang jika ditarik garis lurus, jaraknya sekitar 195 Km. Kurang 5 Km untuk dapat setengah dari 400 Km. Atau dari pantai utara pulau jawa ditarik garis lurus ke pantai selatan pulau jawa jaraknya kurang dari 200 Km. Kita naik gunung tertinggipun tidak mampu melihat kedua pantai tersebut. Maka untuk bisa melihatnya, kita perlu melebarkan jarak pandang mata untuk bisa melihat 1% dari lengkung bumi kita butuh naik pada ketinggian tertentu.
Begitu banyaknya syarat yang harus kita penuhi untuk sekedar melihat 1% lengkung bumi. Tentu saja hal itu akan sangat sulit kita penuhi. Belum lagi persyaratan keilmuan yang harus kita kuasai. Apakah itu berarti bumi tidak bulat? Tidak, bumi bulat seperti bola, ini juga benar. Perbedaannya adalah bumi kita bisa dikatakan datar adalah benar sepanjang mata memandang dan selama diri kita merasakan. Bumi kita berbentuk bulat adalah hakikat sebenarnya, tapi kita tahu bahwa untuk mencapai tingkat hakikat itu kita perlu memenuhi semua syaratnya. Bumi datar ada pada tingkat pengetahuan akan rasa dan respon yang kita tangkap. Bumi bulat ada pada tingkat pengetahuan makrifat yang mana semua syaratnya harus kita penuhi.
Ketika bumi dikatakan datar, pada tingkatan tertentu, konsep ini tidak lagi mampu menjelaskan tentang fenomena yang terjadi. Konsep bumi datar tidak mampu menjelaskan bahwa Tuhan itu memasukan siang ke dalam malam, dan memasukan malam ke dalam siang, tidak mampu menjelaskan bagaimana periode gerhana atau siklus dari gerhana baik bulan ataupun gerhana matahari. Pada sisi lain, bumi bulat juga akan mengacaukan prinsip tinggi rendah. Bahwa tinggi itu selalu ke atas, dan rendah itu selalu ke bawah, maka jika bertahan pada bumi bulat, ke atas tidak akan pernah ketemu dari belahan bumi manapun tujuan akan selalu berbeda-beda.
Maka dibutuhkan kebijaksanaan dalam menempatkan kapan bumi itu dikatakan datar, dan kapan bumi itu dikatakan bulat. Mengatakan ilmu hakikat yang hanya bisa dicapai dengan syarat makrifat pada sesuatu hal yang tidak membutuhkan itu adalah hal yang kurang tepat. Bisa dikatakan gila nanti. Sebaliknya bertahan pada ilmu rasa atau ilmu dasar saja juga bukanlah pilihan yang baik.
Menaruh garam pada minuman bukanlah sesuatu yang tepat "kecuali ada syarat khusus", menaruh garam dan gula pada sayur adalah hal yang tepat, tetapi itupun harus ada ukurannya
Itu adalah penjelasan saya tentang bumi bulat atau datar. Kedua-duanya benar, tapi harus tahu kapan untuk dikatakan datar, kapan harus dikatakan bulat.
Kita kembali ke nol, satu, dan takhingga. Ketika kita menggunakan bilangan dengan konsep linier atau menurut garis lurus, maka nol adalah tahap sebelum satu, nol (0) adalah fase dimana sebelum masuk kedalam keadaan imaginer atau masuk kedalam dunia imajinasi (angka negatif). Satu (1) adalah bilangan terkecil, sesuatu yang kecil, tahap yang pertama untuk memulai segala sesuatu dan terus meningkat. Sedangkan tak hingga () adalah sesuatu yang lain yang sangat berbeda, sesuatu yang tak tersentuh. Dari konsep bilangan linier, maka angka nol, satu dan takhingga adalah sesuatu yang berbeda.
Lalu bagaimana dengan konsep bilangan model siklus atau lingkaran? Dalam konsep bilangan adalah siklus tidak bisa dilepaskan dengan makna bilangan itu, seperti yang sudah saya tuliskan diartikel sebelumnya tentang "Makna angka 1 sampai dengan 10" atau ditempat lain saya beri judul "Filosofi angka 1 sampai dengan 10". Di artikel tersebut saya menyebutkan makna angka satu (1) melambangkan Tuhan, Allah subhanahu wa ta'ala, sedangkan nol (0) melambangkan kematian, sesuatu yang menjadi akhir dari siklus dan kembali ke satu / Tuhan. Lalu bagiamana dengan takhingga? Untuk memamahi itu, kita harus paham dimana posisi kita sebagai mahluk. Bahwa mahluk / ciptaan itu berbeda dengan pencipta, mahluk itu bersifat selalu berpasang-pasangan, terjebak dalam ruang dan terikat oleh waktu.
 Gambar Ilustrasi mahluk, di dalam ruang, terikat waktu
Kubus menggambarkan ruang, spiral menggambarkan waktu, dan semua yang ada didalam kubus adalah mahluk. Ruang dan waktu juga mahluk atau ciptaan yang spesial, dimana kedua terikat dan berhimpit, berjalan bersama. Hebatnya lagi, waktu bersiklus atau bergerak sesuai denga siklus dan terus maju, seperti spriral. Begitu pula dengan ruang, juga terus bergerak dengan siklus. Di sini saya tidak cukup pengetahuan manakah antara ruang dan waktu yang mengikuti, apakah bergeraknya ruang mengikuti waktu, atau waktu mengikuti bergeraknya ruang?. Yang jelas keduanya bergerak bersama-sama, maka saya katakan terikat atau berhimpitan. Dan di dalam ruang dan waktu ada mahluk lain yang juga bergerak di dalamnya dengan siklusnya masing-masing diukur oleh waktu, termasuk kita umat manusia.
Kembali ke nol (0), satu (1) dan takhingga (, adanya nol, satu dan takhingga hanya karena itu dalam pandang mahluknya yaitu kita manusia. Pada hakikatnya nol (0), satu (1), dan takhingga () adalah sesuatu yang sama, tidak ada bedanya yaitu tuhan, Allah subhanahu wa ta'ala. Lalu kenapa kesannya atau rasanya seperti berbeda. Itu karena kita belajar matematika dan dikenalkan bahwa bilangan itu mengikuti garis lurus, sehingga berkesan berbeda. Atau dalam dunia nyata, karena kita terjebak oleh ruang, dan terikat waktu sehingga rasanya berbeda, seperti kasus dalam bumi datar, atau bumi bulat.
Bagaimana penjelasannya bahwa nol (0), satu (1), dan takhingga bisa dikatakan sama dan tidak berbeda sama sekali? Nol adalah satu yang ada dimasa lalu, karena kita adalah mahluk yang terikat oleh waktu, waktu yang telah berlalu tidak mungkin kita ambil kembali. Itulah mengapa ketika habis waktu maka kita dikatakan mati atau kehabisan waktu berarti adalah kematian. Maka nol atau waktu yang telah berlalu, atau kematian adalah sesuatu yang takhingga atau tak terjangkau oleh kita dan semua mahluk dalam ruang dan waktu. Tidak ada satupun manusia atau mahluk yang bisa menggapai nol atau kematian, jika ada yang mampu menggapainya tentunya dia bisa menahan kematian itu, sehingga dia bisa abadi. Pada kenyataanya tidak ada satupun mahluk yang luput dari kematian, semua akan kembali bersiklus.
Kemudian bagaimana dengan satu (1)? Satu adalah bentuk ketakhinggaan saat ini.
 Gambar ilustrasi hubungan nol, satu, dan takhingga
Dari gambar ilustrasi di atas, kita tahu bahwa nol (0), satu (1), dan takhingga () adalah satu hal yang sama. Hanya karena kita mahluk yang terikat waktu dan terbatas ruang saja semua itu terkesan berbeda.
Ketakhinggan satu saat ini, diwaktu sekarang atau diwaktu yang sama dengan kita adalah karena kita tidak pernah mampu menggapai satu, ataupun menjadi satu karena kita masih terbatasi oleh ruang, walaupun disaat/waktu yang sama tetap saja, sebagai mahluk kita dibatasi oleh ruang. Sebagai manusia, jasad kita adalah ruang yang mematasi diri kita. Untuk menggapai satu maka kita harus keluar dari jasad ini. Katakanlah kita menguasai ilmu "ngrogo sukma" dimana ruh kita meninggalkan jasad kita, tetap saja kita masih terikat oleh waktu dan masih saja di dalam bumi yaitu ruang yang lebih besar. Masih saja kita di bawah langit, ruang yang menyelimuti bumi, masih dalam ruang galaksi, alam semesta dan seterusnya. Kita tidak mungkin menggapai satu karena banyaknya batasan akan ruang yang berlapis-lapis.
Ketakhinggaan satu (1) juga karena indra kita juga terbatas dalam mengenali / menerima respon. Jadi jangan pernah kita berharap untuk bisa melihat tuhan, mendengarkanNya, menyentuh. Semua itu adalah mustahil, dan bentuk takhingga akan tuhan untuk saat ini. Mungkin untuk menambah pemahanan akan hal ini bisa dibaca artikel saya yang berjudul "balada : menemani akal mencari tuhan", atau "balada : menemani akal memilih tuhan", dan juga "balada : menemani akal mengilustrasikan tuhan".
Takhingga() adalah bentuk lain dari satu (1) karena ketidak terbataskannya, karena tidak terikat oleh waktu dan tidak terikat oleh ruang. Atau karena kebesarannya maka ada disetiap ruang. Takhingga () juga bentuk lain dari satu (1) di masa depan. Dalam pandangan kita sebagai mahluk, bentuk lain dari satu (1) di masa depan adalah takhingga (), tak tergapai, tak tersentuh, tak bisa dihitung jumlahnya, atau sesuatu yang sangat besar. Kenapa seperti itu? Karena kita manusia terikat oleh waktu. Kita tidak bisa menerobos waktu, membuat jalan pintas untuk melewatinya. Maka sesuatu yang ada di masa depan adalah ketakhinggaan. Seiring waktu berjalan, maka takhingga itu akan menjadi satu(1), dan satu (1) saat ini akan menjadi nol(0). Semua itu terjadi dalam pandangan mahluk. Pada hakikatnya tidak ada yang berubah, satu tetaplah seperti itu sepanjang masa, itu adalah kekekalan akan satu(1). Allah subhanahu wa ta'ala itu kekal dan tidak pernah berubah.
Itulah nol(0), satu(1), dan takhingga() dalam pandangan saya, atau dalam konsep bilangan adalah siklus atau berputar. Jarak antara nol(0), satu(1), dan takhingga() pun sama. Tidak seperti dalam konsep bilangan linier, maka takhingga adalah sesuatu yang sangat berbeda. Nol(0), satu (1), dan takhingga() merujuk pada sesuatu yang sama, yaitu Allah subhanahu wa ta'ala. Dan dalam kaitannya dalam penyelesaian permasalahan mahluknya, semuanya akan terlihat maknanya. Berikut sekedar contoh
20 = 1 X 20
20 = 2 X 10
20 = 4 X 5
Maka nanti jawaban dari permasalahan 20, tidak jauh dari faktor penyebabnya yaitu, 1,2,4,5,10 dan 20. Langkah selanjutnya adalah menyelesaikan masalahnya. Caranya adalah dengan memindahkan semua masalah ke sisi kiri atau mengurangkan jawaban atas masalah yang berlipat dengan masalah itu sendiri. Jadinya seperti ini
Langkah selanjutnya adalah dengan mengurai jawaban dari permasalahan tersebut. Maka kita pilih dari semua faktor penyebab masalahnya yang menjadikannya 20 dan mempunyai selesih 1, yaitu 4 dan 5. Karena nilainya negatif, maka ketika mengurai jawabannya adalah yang nilai besar kita beri tanda negative yaitu 5. Maka kalimat matematikanya menjadi berikut.
Dari hal ini tentang permasalahan hidup yang sulit, atau permasalah yang bertubi-tubi menghantam kita adalah kembali berserah diri kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Maka semua permasalahan kita akan teratasi. Kita jadi tahu bagaimana hubungan antara takhingga(), satu(1), dan nol(0). Maka benarlah jika kita sudah islam kemudian menjadi muslim (berserah diri) maka tidak ada kekhawatiran apapun dalam diri kita. Maka marilah kita berislam dan berusaha terus untuk menjadi muslim.
Terakhir, maka jelaslah siapa Allah subhanahu wa ta'ala itu sesungguhnya.
Dialah yang awal dan Dialah yang Akhir, yang menghidupan dan yang mematikan, Dialah Allah yang maha perkasa lagi maha bijaksana. Dialah Allah yang maha atas segala sesuatu, dan kepada Allah-lah segala urusan itu dikembalikan. Segala puji bagi Allah, tuhan semesta alam yang Rahman dan Rahim.
Alhamdulillahi robil 'alamin, arrahmanir rohim.
Wa salamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H