Model yang sama juga sudah mulai diterapkan kepada para penderita stroke. Walaupun kata-kata yang disampaikan penderita sangat tidak jelas, namun machine learning dapat mempelajari kumpulan kata-kata yang disampaikan oleh para penderita stroke. Sehingga nantinya, percakapan antara penderita dengan orang lain menjadi tidak terhalang.Â
Saat ini, AI juga banyak digunakan untuk deteksi dini penyakit kanker, seperti kanker payudara dan kulit. Dengan AI, para penyintas kanker dapat mengetahui gambaran kesehatan mereka tanpa menjalani pemeriksaan yang lengkap dan membutuhkan waktu lama.
Mungkin kita juga sudah mendengar kendaraan otonom. Kendaraan yang dapat berjalan dan bermanuver sendiri tanpa intervensi manusia. Uber, salah satu jaringan perusahaan transportasi, telah beberapa kali melakukan uji coba kendaraan otonom di jalan raya di US. Mobil Uber ini dimungkinkan bergerak dan bermanuver sendiri karena penggunaan teknologi AI, dibantu oleh dukungan teknologi komunikasi data kecepatan tinggi dan delay rendah.
Masih sangat banyak aplikasi AI yang sudah direalisasikan, sedang diteliti atau yang sudah dipikirkan akan terjadi di masa yang akan datang. Masih banyak juga hal-hal indah yang dapat ditawarkan oleh kehadiran AI. Yang menjadi pertanyaan, apa dampak mesin berbasis AI ini untuk kehidupan manusia di masa mendatang? Apakah benar kalau mesin yang berbasis AI mampu menyerupai kecerdasan manusia?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang sering menjadi bahan diskusi para pengembang AI, ahli robotika atau para ahli IT lainnya. Saya pribadi lebih setuju dengan pandangan para ahli bahwa robot dan AI harus bekerja dan berkolaborasi dengan manusia. Kita tidak bisa terburu-buru menghadirkan mereka, kemudian secara cepat akan mengambil alih sebagian besar pekerjaan manusia. Percayalah, kita tak akan mampu bersaing dengan mereka (robot pintar tanpa darah dan degup jantung) yang terbiasa bekerja cepat dan tanpa lelah.
Untuk pertanyaan kedua, mungkin kita bisa mengacu ke salah satu film berjudul "I, Robot" yang dibintangi oleh Will Smith. Di film itu diceritakan bahwa pada awalnya robot-robot pintar dan independen bermanfaat digunakan untuk membantu pekerjaan manusia. Namun di suatu saat, satu robot pintar kehilangan kendali dan akhirnya membuat masalah besar bagi manusia. Membuat banyak kerusakan.
Memang saat ini, perkembangan teknologi masih jauh dari kondisi yang digambarkan oleh film "I, Robot" itu. Namun, banyak ahli sudah memprediksi kalau itu akan terjadi suatu saat nanti. Bisa 30 atau 50 tahun lagi.Â
Kondisi ini lebih dikenal dengan istilah "singularity", dimana kecerdasan dan tingkah laku robot dapat benar-benar seperti manusia. Contohnya, ketika robot dapat belajar dan naik sepeda, kemudian dia dapat mengambil payung ketika hujan turun. Ketika kepintaran seperti itu sudah ada, maka kita tak bisa lagi berbuat banyak. Kita tidak bisa mengelak. Kita hanya bisa menerima dan melihat.
Karena itu, saya lebih bersetuju dengan pandangan para ahli seperti Stephen Hawkins, yang menganjurkan agar pengembangan dan aplikasi AI dibatasi. Tidak dilakukan pengembangan yang terlalu liberal, dapat sebebas-bebasnya. Kita tidak mau menciptakan mesin yang mampu belajar sendiri, susah dikontrol dan kemudian membuat masalah bagi manusia.
Mungkin implementasi "layering" pada teknologi AI dan robot dapat menjadi pilihan. Ketika para ahli mendesain dan membuat aplikasi AI, mereka harus membuat fungsional AI secara berlapis. Bagaimanapun pintarnya mesin belajar, kalau ada persoalan, maka lapisan bawah dapat dibatalkan oleh lapisan atas. Dengan demikian, manusia tidak akan lepas pengendalian terhadap mesin yang mereka ciptakan. Dalam hal inilah, peran para stake holder, khususnya pemerintah menjadi perlu dan krusial dalam merancang dan membuat panduan dan aturan hukum yang jelas dan mengikat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H