Mohon tunggu...
Deni Toruan
Deni Toruan Mohon Tunggu... Guru - Pendukung Timnas Belanda

Pendukung Timnas Belanda

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengurangi Paradoks Global Publikasi Ilmiah

20 Mei 2017   20:42 Diperbarui: 20 Mei 2017   20:51 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak peraturan Menristek Dikti nomor 20 tahun 2017 tentang tunjangan profesi dan kehormatan Lektor Kepala dan Guru Besar dikeluarkan, langsung muncul perdebatan di lingkungan dosen. Mulai dari perdebatan di sosial media, milis tertutup dan surat kabar. Bahkan perkumpulan senat akademik beberapa perguruan tinggi ternama di Indonedia berkumpul untuk membahas persoalan publikasi ini.

Hiruk pikuk tentang persoalan publikasi ini memang menjadi bahan diskusi yg tak ada habisnya. Hal ini selalu menjadi bahan perhatian karena mengingat jumlah publikasi dari Indonesia masih jauh dari negara-negara lain. Menurut data DIKTI, walaupun seluruh publikasi Indonesia dikumpulkan, jumlahnya masih kalah dibanding di bawah Malaysia dengan 23 ribu publikasi internasional, Singapura 17 ribu, dan Thailand 13 ribu.

Dengan mempertimbangkan kondisi jumlah publikasi ini, pemerintah menyadari bahwa para kaum cendekia Indonesia perlu didorong lebih keras untuk menghasilkan produk karya ilmiah. Melalui peraturan menteri, para dosen yg sudah memiliki jenjang lektor kepala dan professor ditekankan untuk punya publikasi yang bereputasi internasional. Hitungan matematikanya sederhana. Kalau saja mereka, 31 ribu lektor kepala dan 6000 guru besar, mempunyai publikasi sekali dalam 3 tahun, maka bukan hal yg susah mengejar jumlah publikasi Malaysia. Namun di lain pihak, dari kelompok dosen tidak sedikit yg langsung protes dengab kebijakan ini. Beberapa alasan yg disodorkan di antaranya beban kerja mengajar yg sangat padat, fasilitas penelitian yg minim, dan kualifikasi dosen yg masih kurang.

Energi yg dihabiskan untuk memperdebatkan peraturan menteri ini terlalu besar, dan terbuang sia sia. Perdebatan terkait penelitian dan publikasi ini harus segera dihentikan. Pemerintah harus tetap teguh dengan tugasnya, membuat aturan, memfasilitasi, dan mengevaluasi kegiatan penelitian di Indonesia. Para dosen, khususnya para lektor kepala dan guru besar, harus menerima aturan yg ada. Mereka harus berusaha secara kreatif dan penuh semangat untuk memenuhi ketentuan yang ditetapkan.

Namun satu hal lain yang bisa dilakukan untuk mencapai cita-cita pemerintah itu adalah dengan mengubah sedikit strategi yg ada selama ini. Kalau kita sadari, di banyak perguruan tinggi yang mempunyai rangking terbaik di dunia, pelaksana penelitian dan penghasil publikasi adalah mahasiswa doktor dan pekerja postdoc, atau lebih sering disebut dengan staf peneliti. Sebenarnya merekalah yang menjadi ‘mesin’ publikasi, sementara para professor lebih berperan untuk merencanakan, mengelola dan membimbing pelaksanaan penelitian. 

Dengan jumlah mahasiswa doktor yang banyak dan bersama-sama dengan para staf peneliti, maka aktivitas penelitian akan selalu berjalan dengan baik dan berkelanjutan. Dan tentu, dengan keberlansungan penelitian dari sumber daya yang mumpuni, maka produk-produk penelitian berupa publikasi paper, buku atau bahkan paten bukan suatu hal yang sudah dibuat secara terus menerus.

Untuk itu, berkaca dengan aktivitas penelitian di luar negeri, maka perlu dipikirkan alternatif baru untuk usaha peningkatan publikasi di Indonesia. Hal ini dapat dimulai dengan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk penelitian di berbagai perguruan tinggi. Pemerintah, yang dalam hal ini dapat direalisasikan oleh DIKTI dan LPDP, dapat menunjuk beberapa perguruan tinggi tertentu, seperti ITB, UI, UGM, IPB dan UNPAD sebagai pusat keunggulan untuk menjadi motor penelitian. Perguruan tinggi ini ditugaskan untuk menerima sebanyak-banyaknya mahasiswa doktor setiap tahunnya. Selain itu, mereka juga diberi wewenang untuk mempekerjakan postdoc yang berkualifikasi S3 yang berasal dari dalam negeri atau luar negeri.

Untuk menarik potensi-potensi terbaik lulusan S2 agar bersedia melanjutkan studi di dalam negeri, maka perlu disediakan tunjangan hidup yang sesuai. Dengan pola penggajian yang baik, maka usaha melanjutkan studi sebagai mahasiswa doktor akan menjadi salah satu pilihan karir. Demikian juga dengan penyediaan fasilitas kepada para staf peneliti. Kalau staf peneliti diberi gaji yang sama dengan gaji peneliti yang ada di beberapa perguruan tinggi di Malaysia atau Thailand, maka dimungkinkan Indonesia akan menjadi salah satu tempat tujuan melanjutkan karir para lulusan-lulusan doktor dari Eropa, Asia Pasifik, Australia dan Indonesia.

Dari mana pendanaanya? Salah satu alternatif yang bisa dilakukan adalah dengan memecah alokasi pendanaan yang dibuat LPDP selama ini untuk mengirimkan mahasiswa doktor ke luar negeri. Kalau selama ini LPDP menganggarkan dana sebesar A untuk membiayai mahasiswa doktor di luar negeri, maka dengan memecah, sebagai contoh 0,5A dari dana itu dapat dialokasikan untuk membiayai menggaji mahasiswa doktor dan staf peneliti di perguruan tinggi Indonesia.

Seperti yang diketahui bahwa biaya yang dibutuhkan untuk mengirimkan mahasiswa doktor ke luar negeri sangat besar. Contoh kasus untuk mahasiswa di United Kingdom, biaya yang dikeluarkan bisa lebih dari 2 Milliar untuk satu orang. Padahal, yang paradoksnya adalah publikasi dari mahasiswa tersebut akan tetap menjadi milik perguruan tinggi di UK. Artinya dana dari Indonesia, tetapi publikasi menjadi klaim universitas UK. Dan satu lagi yang sangat paradoks adalah mengenai data. Tidak jarang data penelitian diambil dari Indonesia, oleh mahasiswa Indonesia, menggunakan dana Indonesia tetapi diolah dan kemudian dipublikasi menggunakan nama universitas luar negeri.

Mencapai cita-cita besar, khususnya dalam hal publikasi, diperlukan kreasi dan inovasi. Dengan alternatif mensponsori kandidat peneliti yaitu dengan menggaji mahasiswa S3 dan postdoc secara layak, maka dapat dipastikan kegiatan penelitian yang efektif dan produktif akan tercapai. Dengan demikian, secara langsung publikasi dari Indonesia juga akan meningkat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun