Perjumpaan dengan Romo Madya menyisakan satu kisah. Bagi Romo, mungkin ini adalah keusilan kami sebagai remaja. Tetapi bagi kami, muridnya, sebenarnya alasannya sederhana. Kami tidak siap dan selalu deg-degan ketika ditunjuk untuk  menerjemahkan kalimat dalam Bahasa Latin ke dalam bahasa Indonesia.Â
Romo Madya kami kenal sebagai Romo yang disiplin dan tertib. Demikian pulalah dalam mengenal kami atau memastikan kami hadir di kelas beliau. Beliau pun akan memanggil kami dari urutan awal sampai terakhir. Kami berpikiran positif. Pasti, begitu pulalah kalau memberi tugas untuk menerjemahkan kalimat dalam buku Elementa tersebut. Beliau akan menunjuk dari bangku depan sebelah kiri, dekat pintu keluar, sampai urutan paling belakang.Â
Berbekal keyakinan itu, kalau ada sepuluh soal. Kami pasti akan menghitung berurutan. Kami hitung. Oh, Catur dapat nomor satu. Budi nomor dua, Krisna nomor tiga. Artinya, saya akan kebagian nomor empat. Bagi yang rajin, tentu semalam sebelumnya akan menyelesaikan dan menyiapkan diri lebih dulu. Tetapi, kan semuanya tidak begitu. Beberapa dari kami berprinsip, ya kami siapkan sejauh perlu. Simple! Belum lagi kalau malam sebelumnya ada tugas deadline ini dan itu; majalah dinding, lay out Aquila Majalah sekolah, dan lain-lain. Ternyata, Romo Madya menyadari itu. Akhirnya, beliau pun membuat kami kelabakan. Entah siapa yang membisikkan. Tetapi, beliau yang semula runtut dan urut, jadi mulai random. Inilah genealogi kisah Tivus.Â
Sama seperti kelas Frater Doni, tugas kami adalah mengenali kalimat-kalimat. Begitu terus. Tapi di kelas Romo Madya, kalimatnya sudah tidak lagi sederhana. Contohnya, mulai kami kenal Gradus Comparationis; positivus (tingkat setara), comparativus (tingkat yang mengatakan "lebih"), dan superlativus (tingkat yang mengatakan "ter" atau "paling). Dalam kalimat, Romo mengenalkan bentuk sederhananya misalnya domus alta est (rumah itu tinggi). Untuk mengatakan lebih tinggi, Romo membuat kalimat arbor altior est (pohon itu lebih tinggi). Terakhir, untuk mengatakan yang tertinggi, Romo membuat kalimat turris altissima est (menara itu yang tertinggi).Â
Nah, tuntutannya masih sama, yaitu mengenali casus, numerus, dan genus kalimat yang harus kami terjemahkan dari soal dalam buku. Harus diakui, waktu mengajar kami, Romo memang tak lagi berusia belia. Kalau harus menyelesaikan koreksi jawaban kami, Romo jagonya. Teliti! Tapi tidak kalau sudah duduk di meja guru di depan, lengkap dengan semilir angin yang kadang meninabobokan. Ternyata, tanpa disadari kami justru berhasil melatih kemampuan untuk mengecoh pendengaran Romo dengan suara lirih yang kami buat seolah sudah menjawab pertanyaan beliau.Â
"Arbor altior est quam domus nostra. Denis, domus dalam kalimat ini, casusnya apa?"tanya Romo mantap. Biasanya, Romo akan bertanya kalau kami terdiam sejenak mencermati kalimat Latin yang harus kami terjemahkan. Rasa-rasanya, beliau mengerti kalau saya tidak siap.Â
"....tivus Romo!" jawab saya lirih.Â
"Ya, benar! Nominativus!" tegas Romo Madya.Â
Kami sekelas saling pandang. Eh, lha kok berhasil! Di bangku belakang, beberapa teman saya pun menahan tawa. Saya tahu yang dipikirkan mereka. "Kalau berikutnya ditanya... jawab saja tivus!"Â Dalam hati, mungkin Romo sedang capek. Namun, tidak bagi kami yang harus menahan diri untuk tidak tertidur. Kalau sudah ditanya, rasanya adrenalin mengalir deras berbarengan dengan semilir angin yang membuat kami mudah meletakkan kepala di atas meja. Lha kok ini, ada solusi jitu menjawab pertanyaan romo. Tivus! Haha...
Sebenarnya, tips ini pun tidak dipelajari otodidak. Kisah tivus dituturkan turun temurun dari kakak kelas. Beberapa dari kami yakin bahwa cara ini tak lekang oleh waktu. Beberapa dari kami pun memberanikan diri mencobanya, tetapi lama kelamaan, Romo pun tahu. Suatu hari, beliau menyampaikan, "mulai sekarang, jangan menggunakan kata tivus. Sebut, casus pertama sampai keenam." Hahaha.... mateng!"
Tentang Keteladanan Â