Satu kesempatan, saya ajak anak yang dianggap "badung" oleh teman-temannya. Saya ajak anak ini untuk bicara dari hati ke hati. Sulit mulanya. Banyak hal yang diceritakan. Sampai, ia bercerita tentang pengalaman personalnya. Tidak saya sebut di sini, tetapi dari situlah saya bisa mengajaknya berpikir konsekuensi logis tindakannya. Barulah, anak saya ini berani mengungkapkan. Sebenarnya ingin juga berbuat baik, tetapi gagal dan justru menyakiti teman lain. Bagi saya, mendengar sendiri anak yang menceritakan pengalaman pribadinya sungguh membuka ruang yang memperkuat dimensi emosional dan praksis moral dalam kehidupannya sehari-hari.Â
Apa yang bisa kita lakukan?Â
Prinsip diseminasi paradigma kebaikan adalah ajakan bagi setiap pribadi di lingkungan sekolah untuk menjadi pribadi yang baik bagi orang lain. Harapannya, terbentuk pribadi yang lebih mementingkan sesuatu yang dibutuhkan oleh orang lain daripada kebutuhannya sendiri. Sikap seperti ini tidak bisa tumbuh begitu saja, tetapi harus difasilitasi, didampingi, dan dilatih.Â
Selain kami, para guru dan karyawan, memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi teladan dalam kebaikan. Di rumah, orangtua pun harus mendukung dan berjalan beriringan. Tidak mungkin kita bicara tentang paradigma kebaikan, sementara kita sendiri tidak memahami dan melaksananakan paradigma ini bagi diri sendiri dan orang lain. Tentu tidak mudah. Dengan perwalian umum dan membuka ruang yang memperkuat dimensi emosional akan pentingnya praksis moral, sekolah akan menjadi tempat yang subur bagi bertumbuhnya nilai-nilai kebaikan, tidak saja untuk peserta didik tetapi juga seluruh anggota komunitas sekolah. Mari kita mulai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H