Salah satu kegiatan ketika live in di Boro adalah napak tilas ke Gua Maria Sendangsono. Tempat ini selalu membekas di hati. Dalam beberapa kesempatan, kami jalan kaki dari Seminari Menengah Mertoyudan untuk berziarah sekaligus mengiringi perayaan ekaristi. Dalam sejarah Gereja, tempat ini menyimpan kekayaan rohani, awal mula kekatolikan di tanah Jawa. Syukur pada Allah bisa kembali ke tempat ini.
Jadwal napak tilas kami atur sedemikian rupa supaya tidak semuanya "tumplek bleg" di tempat yang sama. Selain memudahkan koordinasi, akomodasi kepulangan pun dapat kami atur dengan baik.
Lingkungan Nglebeng mendapat giliran terakhir. Kami awali kegiatan dengan doa pagi dan briefing. Mengingat perjalanan cukup jauh, tentu kami harus saling menjaga. Pagi hari, pkl. 08.00, kami berjalan kaki menuju Sendangsono melalui jalan pintas sehingga tak perlu memutar mengarah ke lingkungan Gejlig dulu.
Sepanjang perjalanan, anak-anak sangat antusias. Kiri kanan jalan penuh pepohonan menambah kesejukan. Meski terjal dan ada yang perlu dibantu, perjalanan tak terasa melelahkan karena ada teman-teman yang menghibur dan menguatkan.
Sesampainya di Sendangsono, kami berdoa Rosario terlebih dulu. Kami mengingat dan membawa dalam doa keluarga, orangtua, teman-teman, dan seluruh proses pendidikan yang kami alami. Setelah itu, mulailah anak-anak mengerjakan tugas yang harus dituntaskan, mewawancarai bapak ibu yang berjualan di sekitar Gua Maria.
Lelah, itu pasti. Selesai wawancara, beberapa anak memesan beberapa varia makanan dan minuman untuk disantap; mie rebus, mie goreng, nasi goreng, kwetiau dan masih banyak lagi. Mulanya, masih sedikit. Menjelang siang, banyak anak yang ingin makan membuat pesanan yang dilayani sedikit lambat tersaji.
Jelang pkl. 11.30, anak-anak mulai berkumpul di tangga masuk kawasan Gua Maria. Terlihat satu anak kebingungan karena belum juga memesan. Lapar tentunya. Namun, harus segera pulang ke lingkungan masing-masing. Teman serumahnya segera menggandeng tangannya, "Sudah, sudah. Ayo kita pulang. Nanti kumasakin di rumah."
Mereka berdua pun berlalu, menuju tangga, tempat teman-temannya berkumpul.
----
Untuk penggandeng tangan:
Terima kasih untuk teladan dan kebesaran hatimu ya. Tinggal bersama teman yang kami pilihkan tentu tidak mudah. Bapak tahu pergulatanmu. Pernah melihatmu menangis dan menguatkanmu, membuat bapak sangat bangga. Kamu tidak hanya berbesar hati, tapi juga memberi keteladanan. Caramu menggandeng tangan pun menunjukkan bahwa kami tak salah untuk memberimu kepercayaan. Bagiku, kisah ini adalah pengalaman iman yang meneguhkan dan mukjizat yang nyata hadir di depan mata. Sungguh nyata! Hati yang keras diubah menjadi lembut dan penuh kasih. Doa bapak menyertai. Terima kasih Bunda Maria. (Gua Maria Sendangsono, 2023).Â