Mohon tunggu...
Denis Guritno Sri Sasongko
Denis Guritno Sri Sasongko Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan Pembelajar

Belajar menulis populer di Komunitas Guru Menulis dengan beberapa publikasi. Pada 2020, menyelesaikan Magister Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial di Universitas Indraprasta PGRI.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Stop Ajari Naik Motor Pakai Topi!

1 Oktober 2023   10:39 Diperbarui: 1 Oktober 2023   10:52 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://doktersehat.com/wp-content/uploads/2021/12/tips-membawa-bayi-bepergian-jauh-naik-motor-doktersehat-1-800x533.jpg

Setiap kali naik motor ke sekolah, pergi pulang, ada saja yang saya temui. Terakhir, hampir saja menabrak pengendara lain karena tiba-tiba memotong jalan. Jalan berpasir. Takut juga kalau tiba-tiba mencengkeram dan menginjak tuas rem, justru saya yang terbanting. Tapi, tak bisa menahan diri juga untuk tidak ngomel. 

Menjadi pemotor di Jakarta tentu pilihan penuh tantangan. Kerap kali saya bertemu dengan pemotor tanpa helm, melawan arah dengan alasan kalau memutar terlalu jauh, atau tak jarang banyak juga yang rasanya belum cukup umur, tambahan pula bonceng bertiga. Ohya, satu lagi tipe yang lain. 

Mereka  yang menyalip sesukanya. Kalau perlu, menyalip pemotor yang sedang menyalip. Negur? Silakan saja dicoba. Untuk tipe terakhir ini, pernah pagi hari waktu posisi saya sedang menyalip mobil, ada pemotor yang dengan gagah berani menyalip saya sambil membawa barang dagangan dan knalpot racing. Entahlah, mungkin dipikirnya jalanan adalah lintasan balap. Saya noleh memastikan nggak tersenggol barang bawaannya. Saat noleh itulah, mata saya bertemu mata dia. Itu dianggapnya sebagai tantangan. Tak heran, di tikungan, saya dihalang-halangi, diteriaki, dan ngajak berantem. Masih mau negur? Waktu dan tempat silakan dicoba di jalanan. Hehe.... 

Satu lagi yang membuat saya heran. Kalau berhenti di lampu merah, lampu hijau menyala pasti berbarengan dengan klakson yang menyalak kencang. Ya dipikir tuas gas kalau ditarik nggak butuh waktu ya? Motor saya pun bukan motornya Kamen Rider lho. Belum kalau macet, sebal rasanya karena beberapa kali ditabrak dari belakang. Bukannya menginjak rem, enteng banget membunyikan klakson. Dipikir motor saya ada sayapnya. Pernah, saking sebalnya, saya menoleh dan ngasih kode tangan ke atas seperti pesawat sedang take off. Uhhhhh, makin marahlah dia. Klakson dibunyikan berkali-kali. Lha mau gimana, wong sudah nggak bisa gerak. 

Sesampainya di perempatan dekat sekolah, pasti selalu padat dengan kendaraaan. Lampu merah yang cukup lama kerap membuat beberapa orang tidak sabar menunggu antrean. Satu sepeda motor tak jarang ditumpangi dua orang lebih. Tentu tanpa helm. Dari kejauhan kalau sudah terlihat lampu hijau, ada saja pemotor yang jalannya meliuk-liuk, nekat menyalip, main terobos, bahkan beberapa menerobos trotoar. Yang penting lagi, pemotor yang saya ceritakan adalah orangtua yang sambil membonceng anaknya berangkat sekolah. Anak diberi contoh dan tips menerobos lampu merah, melawan arus, melaju di trotoar. Bahkan dari pengalaman saya, ngomel kepada pemotor lain yang menegur perilaku tak tertib itu. Anak adalah peniru ulung. Nggak heran ketika si anak makin besar dan bisa mengendarai motor, perilakunya ya tak jauh beda. Gak bahaya ta? 

Kalau mau membaca data berapa banyak penjualan motor di Indonesia satu tahun terakhir ini, berikut datanya! Lihat saja, penjualan motor kisaran 350.000 per bulannya. Belum mobil tentunya. Ya pantas saja kalau menjelang jam kerja, pagi atau sore hari, pemotor menyemut. Macet di mana-mana. Bicara kecelakaan, data pun berbicara. Bukannya turun, setiap tahun terjadi peningkatan yang signifikan. "Di tahun 2023, kecelakaan yang terjadi di jalan telah mencapai 155 ribu kasus. dari angka tersebut sebanyak 66.602 kecelakaan berasal dari kalangan pelajar dengan jenis transportasi yang sama, yakni sepeda motor."

Pengalaman saya bisa jadi hanya sebagian kecil dari pengalaman banyak orang. Dalam satu sesi edufair di sebuah sekolah, saya terkesan dengan salah satu sponsor yang memberi edukasi pentingnya tertib berlalu lintas. Sponsor ini tak lain adalah produsen salah satu merek sepeda motor. Pengunjung stand diajari tertib berlalu lintas, etiket berkendara di jalan raya, patuh pada peraturan, dan tentu pentingnya tidak memakai topi ketika naik motor. Yang dipakai, ya helm standar. Rupanya, produsen ini sadar bahwa sulit rasanya mengubah kebiasaan orangtua. Maka, cara yang ampuh adalah menggunakan anak-anak untuk mengubah kebiasaan tersebut. 

Singkatnya, anak-anaklah yang diajari untuk berani mengingatkan orangtuanya. Sudah tahu naik motor ke sekolah tanpa helm itu berbahaya, anaklah yang mengingatkan. Kalau belum punya, ya minta dibelikan helm. Begitu pula menerobos lampu merah. Tak perlu menerobos, ngebut atau meliuk-liuk untuk sampai ke sekolah. Kalau selalu mepet, ya berangkat lebih pagi. 

Cara-cara seperti ini tentu saja tak membutuhkan banyak biaya. Tetapi kalau dijalankan dengan konsisten dan masif, tak mustahil membawa perubahan yang signifikan. Pasti ada yang keras kepala. Namun, rasanya tak menutup mata kalau ada pula yang justru tersentuh ketika ditegur sang anak. Krisis budaya tertib di jalan raya bisa mulai kita kurangi dari cara kita memberi contoh pada anak. Ayo, memulai pendidikan karakter dari berhenti memakai topi saat mengendarai sepeda motor. Salam satu aspal!


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun