Mohon tunggu...
Denis Guritno Sri Sasongko
Denis Guritno Sri Sasongko Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan Pembelajar

Belajar menulis populer di Komunitas Guru Menulis dengan beberapa publikasi. Pada 2020, menyelesaikan Magister Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial di Universitas Indraprasta PGRI.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Oseng Kacang Panjang Ibu

22 Desember 2020   16:27 Diperbarui: 22 Desember 2020   16:41 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namanya Djumiatun. Ia ibu saya. Usianya tak lagi muda. Tetapi, tetap saja tangannya gesit memasak di dapur. Tak lama berselang, tersajilah oseng kacang panjang ditemani tempe goreng. Keduanya masakan ibu, favorit saya dari kecil. Bahkan, kalau bertemu ibu, masakan itulah yang tak lupa tersaji untuk makan siang atau malam. Ibu dan cintanya, sesederhana oseng kacang panjang yang ia masak. Nikmat terasa ketika disantap dengan nasi yang baru tanak.

Namun jangan salah, dulu ibu saya anggap orang yang paling menjengkelkan. Menjengkelkan karena sejak saya kecil, beliaulah yang paling rewel dan banyak aturan. 

Sebut saja kalau makan harus cuci piring sendiri, telat bangun pasti dimarahi karena tempat tidur tidak rapi. Belum lagi, masa kecil saya dihabiskan di Timor Leste. Setiap sore, saya diberi tugas untuk menimba air di sumber air yang letaknya hampir dua kilometer dari rumah. 

Sembari mandi, saya harus membawa serta tiga jirigen bekas tempat minyak goreng yang disulap menjadi tempat air bersih. Pulangnya, jirigen itu saya tenteng pulang di tangan kiri dan kanan, serta saya tempatkan dalam ransel punggung. 

"Namanya juga ibu..." begitu saya menghibur diri dalam hati. Singkatnya, dari pagi hingga malam, yang namanya pekerjaan rumah harus beres lebih dahulu. Setelah mata terbuka di pagi hari dan sebelum mata terpejam, pokoknya rumah harus rapi.

Bertahun-tahun kemudian, kami pindah dari Timor Leste. Saya menyelesaikan sekolah di kota lain, berjauhan dengan ibu. Hingga akhirnya, saya pun menikah. Satu hal yang selalu saya kenang dan saya "kangeni" dari ibu, ibulah yang mendidik saya untuk memperhatikan dan menyelesaikan pekerjaan yang paling sederhana. 

Saya paham bahwa yang dikerjakan ibu tak ubahnya mewujudkan filosofi sederhana hidupnya. Yang namanya rumah adalah tempat yang paling nyaman. Bahkan, sebelum ada rumah, tempat yang paling nyaman di seluruh dunia adalah rahim ibu, hangat, tak kekurangan, tumbuh, bahkan hingga saya dewasa sekarang. 

Kalau sekarang saya harus bertanya, kok ya mau-maunya saya itu mengerjakan tugas-tugas dari ibu, ternyata ibu menyiapkan saya untuk tugas yang lebih besar, menjadi suami, menjadi orang tua, dan kini menjadi guru bagi anak-anak saya. Semuanya tak lepas dari "pekerjaan ibu" sebagai guru saya untuk mandiri. Terima kasih ibu, untuk oseng kacang panjangnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun