Mohon tunggu...
Denis Guritno Sri Sasongko
Denis Guritno Sri Sasongko Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan Pembelajar

Belajar menulis populer di Komunitas Guru Menulis dengan beberapa publikasi. Pada 2020, menyelesaikan Magister Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial di Universitas Indraprasta PGRI.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Macet Tak Lagi Ramah dengan yang Searah

1 Mei 2019   16:59 Diperbarui: 2 Mei 2019   20:17 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar (ilustrasi): pasangmata.detik.com

Macet, itu biasa. Namanya di Jakarta. Suka nggak suka, kalau bepergian, ya harus siap. Namun, saat hujan seperti ini, intensitas kemacetan jauh lebih parah. Solusinya, kalau nggak mau terjebak macet, jalan saja waktu hujan turun dengan derasnya. Meski tahu, siap-siap saja menerabas genangan air.

Tulisan ini tidak untuk membahas kebijakan pemerintah, tidak pula tulisan politis, tetapi sekadar berbagi pengalaman. Saya teringat seorang dosen yang berteman di media sosial Facebook pernah menulis. 

Kurang lebih saya kutip demikian, "saat seperti ini, saya mampu membedakan mereka yang ahli tata kota dan ahli tata kata." Menurut saya, benar juga pendapat beliau ini. Dan, saya tidak mau terjebak dalam dua dikotomi ini. Saya bukan ahli tata kota, bukan pula ahli tata kata.

Cerita Pertama

Siang itu, Jumat, 26 April 2019, sengaja saya bergegas menuju kampus, dua jam sebelum Ujian Tengah Semester di mulai. Seperti biasa, siang hari suasana serba tidak nyaman tentunya. 

Panas, dan macet di beberapa titik. Sepuluh menit berkendara, sampailah saya di daerah slipi. Di U-Turn sebelah slipi jaya, tampak beberapa kendaraan melawan arah. Dan...

"Prak....!!!" Spion motor saya bersenggolan dengan motor yang melawan arus, meski saya sudah jelas-jalas berada di sebelah kiri.

"Woi.... bisa naik motor nggak lo?!!!" Si pengendara meneriaki saya

Bingung saya. Posisi sudah di lajur jalan sebelah kiri, pun pula kondisi mobil tidak memungkinkan saya menghindar. Panas pun menyengat. Buru-buru menyiapkan diri ke kampus untuk Ujian Tengah Semester, tak sempat pula saya meladeni teriakan si pengendara. 

Cuek saja, saya ngeloyor pergi. Macet memang tak lagi ramah dengan yang searah. Pelajaran pertama, lawanlah arah berkendara untuk mendapat jalan pintas, makilah jika memang perlu, yakinlah diri paling benar meski tahu salah sebenarnya. Pelajaran pertama.

sumber gambar (ilustrasi): pasangmata.detik.com
sumber gambar (ilustrasi): pasangmata.detik.com
Cerita Kedua

Sepulang ujian, langit mendung. Lagi, kalau memang tidak mau kejebak macet. Teori kedua kupakai. Terabas saja hujannya. Maka, nekatlah saya pulang ke rumah meski di daerah Cipulir, saya harus memarkir kendaraan sebentar, memakai mantel dan melanjutkan perjalanan. 

Sesekali, saya menegadahkan kepala melihat mendung yang bergelayut. Hitam pekat seolah tak kuat lagi menahan air hujan.

Benar saja. Tidak sampai setengah jam berkendara. Hujan turun dengan derasnya. Saya memutuskan untuk tetap berkendara meski pelan-pelan. Jarak pandang tidak cukup jauh. 

Lumayan perih juga ketika air hujan menerpa wajah dan mata pun nggak bisa terbuka lebar. Sesekali, saya seka muka. Basah kuyup. Yakin nggak yakin, beberapa genangan air yang cukup tinggi saya terabas saja. Semoga motor saya kuat.

Hujan tak kunjung berhenti. Meski sudah jalan perlahan, saya pun masih harus memperhitungkan kemampuan motor matic saya menghentikan laju kendaraan jika terjadi hal yang tidak diinginkan. 

Dan, benar saja. Di daerah kreo, saya dikagetkan dengan motor yang melaju kencang dari tikungan sebelah kiri hendak menyeberang jalan. Saya berusaha menghentikan laju kendaraan. 

Namun tak sabaran juga, terlontarlah ucapan, "Mbok ya pelan to pak... pak." Bukannya mendapat jawaban yang adem, seadem guyuran hujan yang belum juga berhenti. Saya dihardik.

"Apa lo? Suka-suka saya lah. Motor, motor saya!"jawabnya sembari ngeloyor pergi.

Pelajaran kedua, potonglah arah berkendara orang lain, hardiklah jika memang perlu, yakinlah diri paling benar meski tahu salah sebenarnya. Pelajaran kedua.

Dua cerita ini saya bagikan sekadar menjadi catatan. Macet dan banjir memang menyulitkan. Sudah sulit, ditambah pula bertemu dengan mereka yang saya temui dalam dua cerita di atas. Mereka tak peduli salah atau benar. Yang penting, orang lain yang salah meski tahu tidak demikian adanya. 

Saya tak ahli tata kata, namun saya yakin macet tak sesulit mengubah kebiasaan untuk melawan arah berkendara. Memang sih, dunia nggak asik kalau nggak ada orang yang ngalah. Tapi, kalau semua ngerasa paling benar. Dunia juga nggak asyik. Monoton.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun