Mohon tunggu...
Denis Guritno Sri Sasongko
Denis Guritno Sri Sasongko Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan Pembelajar

Belajar menulis populer di Komunitas Guru Menulis dengan beberapa publikasi. Pada 2020, menyelesaikan Magister Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial di Universitas Indraprasta PGRI.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jangan Buang Skripsiku

4 Maret 2016   10:41 Diperbarui: 4 Maret 2016   17:58 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selesai ujian dan traktiran tadi, tidak berhenti tentunya. Saya masih harus membuat koreksi yang ditemui selama sidang. Setelah semuanya beres, barulah skripsi itu digandakan untuk beberapa pihak; kampus, asrama, dosen pembimbing, dan saya pribadi. Tentunya hal ini memakan biaya kalau dilihat dari pertama kali proses penulisan ini dimulai. Tak apalah, pikir saya, karena semuanya telah dijalani dengan baik. 

Poinnya sebenarnya adalah ini. Mengerjakan dan mempertanggungjawabkan skripsi dengan baik adalah dua hal yang sama dan beriringan. Selain bobot SKSnya yang tinggi, skripsi juga menjadi tanda mandirinya seorang mahasiswa. Setelah sekian lama belajar, skripsi menjadi momen yang baik untuk meneliti, menulis, mempresentasikan penelitian ilmiahnya. Nilai bukanlah yang utama tentu karena kalau prosesnya dijalani dengan baik, dosen pasti tak akan menutup mata dan sungkan memberi nilai yang sangat baik. Saya sendiri mengalaminya. Namun di situ ada penghargaan saya pada proses yang telah saya alami. Ada step by step penghargaan yang lebih berharga dari nilai yang didapat. Meski saya juga sadar, setelah melihat kembali skripsi itu sekarang, tulisan saya tidak ada apa-apanya dibanding penelitian yang berkembang. Belum setelah ujian skripsi, pertanyaan seorang mahasiswa tentu mau ke mana lagi? Nyatanya tak sedikit orang yang bekerja tidak sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas ilmu yang dienyamnya dulu. Namun saya merasa, jerih lelah penulisan ini pulalah yang perlu mendapat tempat.

Saya sendiri masih mencoba menghargainya dengan menyandingkan karya tulis saya semasa SMA dengan skripsi S1 saya. Kalau membuka koleksi buku saya, terharu saya dengan dua momen penulisan itu. Yang satu, menandakan saya pernah juga membuat penelitian sederhana semasa SMA. Yang lain, penelitian yang lebih serius untuk mengakhiri masa kuliah saya. Istimewa tentu, apalagi kalau mengenang pembicaraan di warung bakso itu tadi. Rasanya, kala itu, saya menang telak untuk taruhan sederhana di asrama. Namun, momen persahabatan itu yang tak terlupa meski jarak memisahkan. 

[caption caption="Mas-Mas Tukang Loak (Sumber: s.kaskus.id/images/2016/03/02/4132175_20160302065737.jpg)"]

[/caption]

Soal "Skripsi Terbang" dari Lantai 4, Rapi di Bak Mobil Tukang Loak, dan Betulin Genteng Perpustakaan

Sekarang, saya heran ketika media memposting ribuan tugas akhir, skripsi dan tesis yang tampak berserakan di halaman belakang perpustakaan. Konon katanya, tempat kehadiannya di UIN Alauddin Makassar. Dugaannya skripsi dan tesis ini dibuang oleh pihak kampus. Pasalnya, tampak pada foto dua orang pemuda sedang sibuk merapikan tumpukan, memasukkan bundle-bundle berserakan itu ke dalam karung, dan telah menunggu mobil bak terbuka yang telah ditumpuki karung-karung berisi bundle buku-buku yang dugaannya adalah skripisi atau tesis tadi. Saya menulis dugaan karena memang beritanya juga dugaan. 

Mulanya tak jelas apa motifnya, karena salah satu skripsi yang dibuang terbilang baru, yakni skripsi yang dicetak pada tahun 2013. Foto itu pertama kali disebar akun Facebook bernama Otodidak. Belum genap sehari diunggah ke media sosial, ribuan akun membagikan dan mendiskusikan pembuangan tugas akhir skripsi tersebut. Rata-rata netizen mengecam dan menduga skripsi itu dijual ke tukang loak. Beberapa netizen bahkan baper mengingat betapa sulitnya mengerjakan skripsi (seperti saya tentunya). Ada juga yang menanyakan alasan dibuang dan menyarankan agar skripsi disimpan sebagai arsip. Selain sebagai bahan rujukan penelitian berikutnya, menurut netizen hal itu merupakan wujud penghargaan kampus kepada mahasiswanya.

Tak heran, pada laman Facebook UIN Alauddin Makassar dan akun dengan nama Quraisy Mathar membantah telah membuang ribuan skripsi tersebut. Dia mengklaim sebagai orang yang bertanggungjawab atas pembuangan skripsi-skripsi tersebut. Menurutnya, kata yang lebih tepat adalah menyiangi. Selain klarifikasi itu, tentu ada pula klarifikasi bahwa pernah terjadi kebocoran hebat di lantai 4 yang mengakibatkan rusaknya karya intelektual yang disimpan di sana. Belum lagi, untuk menyiangi di lantai bawah, disebut tidak adanya tangga. 

Tak ketinggalan, disebut pula pada laman cek disini bahwa ada mahasiswa yang juga tidak menghargai skripsinya sendiri. Bagi Quraisy Mathar, "Kebijakan ini bukan utk membuang skripsi, melainkan menyiangi (selving). Setiap tahun pasca 2010, kita menerima lebih dari 7000an karya ilmiah (belum termasuk makalah dan hasil penelitian). Koleksi tersebut ditempatkan di lantai 4. Jika 4 tahun ke depan tidak kita siangi dari sekarang, maka karya ilmiah yg sekarang masih di rak, plus 34.000an yang akan masuk. Maka ada risiko overload koleksi. Kebijakan menyiangi tdk berarti memusnahkan hasil kerja ilmiah seluruh penulis (khususnya adik mahasiswa). Kami hanya menyiangi fisiknya setelah mengkonversi ke file pdf dan insyaAllah akan bisa diakses via website perpustakaan. Jadi tenanglah dinda, karya kalian tentu tdk akan dibuang, hanya dialihmediakan. Skripsi adinda semua sebetulnya juga ada di fakultas dan jurusan, namun biasanya tak dikelola dgn baik. Penyiangan di UPT Perpustakaan insyaAllah juga menjadi awal pemberdayaan perpustakaan fakultas secara lebih optimal, khususnya uyk layanan karya ilmiah." (Sumber:  di sini)

Saya pikir masalahnya bukanlah itu. Problem utamanya adalah pentingnya peran perpustakaan. Kalau ada definisi yang harus dirumuskan, tentunya perpustakaan adalah tempat dikumpulkannya aneka koleksi literer, musikal, seni, atau materi-materi lain dalam bentuk buku, manuskrip, rekaman, atau film. Koleksi ini tidak untuk dijual, tetapi untuk dipelihara dengan baik. Maka, tak heran kata perpustakaan berdekatan dengan profesi kurator. Karena di sana, ada pula naskah-naskah kuno yang harusnya dipelihara dengan baik. Tak berlebihan pula jika di beberapa perpustakaan terkenal di dunia, dibuat pula ruangan kedap udara atau pencahayaan yang pas untuk mengatur kelembaban udara dan mencegah supaya teks-teks kuno tidak rusak. Contoh yang sangat dekat dengan bidang ilmu yang saya pelajari adalah masih tersimpan rapinya naskah kuno, gulungan kitab yang ditemukan di Qumran, dan manuskrip lain. Meski sudah direkam dan release di laman ini, tetap saja naskah itu lestari dalam bentuk fisik buku, gulungan, atau manuskrip. 

Atas pemahaman saya di atas, menyiangi aneka macam materi yang masuk perpustakaan sebenarnya adalah tindakan yang wajar. Namun tidak bisa saya pahami bahwa ada perpustakaan yang takut overload koleksi sementara ada perpustakaan di tempat lain yang malahan minim koleksi. Memilah-milah materi dan merekamnya dalam bentuk piringan digital tentunya menjadi cara baru untuk menyimpan kekayaan intelektual tersebut. Tetapi untuk yang sudah ada, harus men-scan dan merekamnya juga bukan perkara mudah. Dan, meminta jasa tukang loak untuk datang dengan mobil terbuka juga bukanlah tindakan yang bijak. Bayangkan untuk suatu proses yang panjang, bagi mahasiswa normal, harus mengalami fluktuasi seperti pengalaman saya tadi. Meski kadang ada pula yang gagal dan tidak mendapat nilai yang memuaskan, saya kok berpikir "membuang" skripsi yang tak memenuhi kriteria layak untuk direkam itu dari lantai 4 bukanlah tindakan pantas. 

Saya tak bisa membayangkan betapa sakitnya (meski cenderung baper dan lebay), ketika penulis skripsi ini jalan-jalan di alun-alun kota, membeli kacang rebus, dan bungkusnya tertera namanya. Apa ndak sakit hati diperlakukan seperti itu? Proses panjang yang sudah dijalani harus berakhir sebagai pembungkus kacang rebus. Belum lagi foto mas-mas tukang loak yang bersandal jepit menginjak-injak skripsi yang ditulis "berdarah-darah" itu. Nggak kebayang kan dulunya harus ngejar deadline ngumpulkan materi skripsi per bab, sekarang masakan mau santai ketika skripsi diinjak dan dibilang jangan baper. Belum lagi kalau ditanya teman, "Skripsimu rampung?" Betapa sensinya kan? Jawaban kita entah melengos, entah bilang..... jangan seperti dosen saya. Titik. Kalau saya, tentu ndak bisa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun