[caption caption="Kelas Biola (dok. pribadi)"][/caption]Saya ingat, hari itu adalah hari Minggu. Hari itu, kakek teman saya merayakan ulang tahun pernikahan yang ke-50. Kami berdua mengumpulkan beberapa teman dan bersepakat untuk mementaskan beberapa lagu. Konsepnya adalah orkes kamar. Singkatnya, penampilan kami sukses tentunya. Perayaan itu pun berjalan dengan baik, syahdu, dan penuh makna. Satu hal yang saya ingat setelah selesai acara, seorang bapak mendekati saya. Beliau meminta saya untuk mengajar ekstra kurikuler biola di sekolah, tempatnya mengajar. Inilah awal saya memulai peran saya sebagai pendidik.
Hari Pertama Kelas Musik
Hari pertama saya mengajar, saya awali dengan teori musik, latihan notasi balok, dan pengenalan alat musik biola. Untuk memudahkan kegiatan belajar mengajar, saya mengenalkan notasi balok dengan program Encore yang sudah diinstal dan dipersiapkan pada notebook yang dimiliki masing-masing anak pada waktu briefing. Pikir saya, memanfaatkan fasilitas yang anak-anak punya, tentunya memudahkan proses pemahaman anak-anak. Untuk itulah, saya meminta anak-anak membawa notebook masing-masing. Dan, kelas pun dimulai...
Saya “Anak-anak, setelah kita mengenal not balok. Coba, sekarang kita letakkan tanda berhenti di antara not yang tadi bapak jelaskan.”
Murid “Caranya pak... caranya bagaimana?”
Saya “Oh ya, caranya tekan secara bersama-sama ya, tombol Control dan tombol Page Down.”
Murid “Yang mana pak?”
Saya “Itu yang tulisannya CTRL dan PGDN. Ayo silakan dicoba.”
...hening...
Saya “Sudah bisa...?”
Murid “Belum pak... belum...”
Saya “Lho kenapa belum bisa?” ... saya pun mendekati murid itu. “Coba kamu contohkan...” pintaku
Murid “Ni ya pak... sudah kutekan CTRL, trus bareng sama tombol P-G-D-N bareng.... susah pak.”
Saya “.... %*&^$$^#... “
...teman-temannya dan saya pun senyam-senyum ...
Entah karena tidak konsentrasi atau karena sedang banyak yang dipikirkan, saya ingat Riko, murid saya itu (bukan nama sebenarnya, red), itu pun geli sendiri dengan yang dikerjakannya. Namun, teman-temannya pun tak kuasa menahan tawa. Yang kuingat, sejak saat itu, setiap kali saya meminta anak-anak mengontrol tempo permainan biola mereka, anak-anak sesekali menghentikan gesekannya dan berceloteh, “ditekan bareng ndak pak...?” atau “sama Don sekalian ndak pak...??”
Mulanya, saya tidak tahu siapa yang dimaksud Don. Karena kalau mau konsisten dengan penulisan Inggris, pengucapan dôn seharusnya menunjuk pada kata dawn. Sementara kata down seharusnya diucapkan doun. Paling tidak itulah yang dijelaskan dalam Kamus Inggris-Indonesia karangan Hassan-Shadily. Ternyata, bukan itu maksudnya. Don adalah nama Riko yang baru. Panggilan dari Don Riko, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan Don Riko dalam bahasa Spanyol yang berarti Tuan Riko. Don Riko adalah Riko yang pernah salah menekan tombol CTRL+PgDn bersama-sama di hari pertama masuk kelas musik.
Passion: Mendidik dengan Hati
Bagaimana pun nama tetap memiliki makna dan arti. Kata orang bijak, nama adalah doa. Kalau dulu bapak saya memberi nama Denis pada saya, itu artinya radite manis, lahir pada hari minggu legi, menurut kalender jawa. Kalau anda dinamai Sabar, harapannya, anda didoakan memiliki karakter dan sifat yang penyabar. Dan saya pikir hanya di Jawa, nama mudah dirangkai, didapat, dan diciptakan seturut ciri-ciri fisik yang menyertainya. Tak heran, penjual mie ayam yang ciamik di depan terminal Purbalingga dinamai Mie Ayam pak Kumis. Konon katanya, dulu yang mendirikan adalah pak Anto yang punya kumis lebat. Meski sekarang, kalau makan mie ayam di tempat itu, tidak lagi ada pak Anto. Yang ada adalah Pak Minto, anak pak Anto yang meneruskan usaha bapaknya. Belum lagi pak Unyil, penjual sate ayam keliling di kompleks perumahan, tempatku tinggal. Ia dipanggil demikian karena penampilannya seperti Unyil, gundul-gundul culun begitu. Belum lagi pak RT, mas Guru, lik Carik, yang dipanggil demikian karena profesinya. Meski demikian, tetap saja ada penampilan yang tidak begitu saja menjadi nama empunya ciri fisik atau profesi itu. Pak Anto bisa dinamai pak Kumis karena kumisnya tebal, tetapi saya tidak bisa menamai ibu penjual gorengan di depan rumah, “bu Bokong” sekalipun bokongnya besar. Sekalipun berani, saya tidak mau merasakan keahliannya mengolah saya yang dilumuri tepung lalu digoreng di wajan penggorengannya.
Layaknya masa ospek, pergantian nama itu laksana inisiasi, penanda seseorang diterima dalam kelas. Semasa SMA, teman-teman saya mendapat gelar Eko menjadi Mujeng, kependekan dari Muka Jengkol, karena sebagai anak Jakarta yang datang ke Mertoyudan, ia belum pernah tahu yang namanya pohon jengkol. Kalau sedang jalan dengan teman, ia selalu bilang, “Eh itu pohon jengkol ya?” Belum lagi, Alex yang memiliki nama layaknya anggota Ksatria Templar, Alexander. Namanya menjadi Kojret. Sebutan itu hanya karena ia latah pada setiap akhir kalimat ditambahi kata jret sebagai imbuhan yang tak punya makna apa-apa, “Pie to jret.” Masih ada lagi Petrus Sumarno yang dipanggil Cepot hanya karena wajahnya mirip tokoh Cepot, wayang golek dari Jawa Barat. Dan Riko, menurut saya lebih beruntung. Nama yang didapatkan orang tuanya dengan laku tapa, menjadi jauh lebih indah dengan gelar Don. Itulah sebabnya, saya menyimpulkan bahwa setiap nama selalu berkaitan dengan pengalaman yang unik, pribadi sifatnya, dan tidak dapat digantikan. Setiap kali dipanggil dengan nama masing-masing, sekalipun itu adalah julukan yang disematkan oleh teman-teman, di dalamnya ada perhatian dari teman-teman. Riko dipanggil dengan nama yang unik oleh lingkaran teman-teman di kelas musik. Bagi saya, panggilan Don pun patut disyukuri karena memang unik, pribadi sifatnya, dan tak tergantikan.
Mengajar ekstrakurikuler biola memang tidak masuk dalam kurikulum Ujian Nasional. Namun saya berpikir anak-anak perlu bersentuhan dengan aspek budaya yang terintegrasi dengan seni. Dengan kata lain, ekstrakurikuler ini pun diberikan karena sifatnya yang unik, memiliki makna mendalam, dan memiliki manfaat terhadap kebutuhan perkembangan anak-anak. Anak-anak diundang untuk makin mengalami pengalaman estetis, tahu bagaimana mensyukuri pengalaman hidupnya dalam apresiasi dan ekspresi lagu yang dimainkan bersama-sama. Tak heran, pendekatan yang diutamakan adalah “belajar dengan seni,” “belajar melalui seni” dan “belajar tentang seni.” Pendekatan inilah yang tidak dapat diberikan oleh mata pelajaran yang lain. Sifat musik yang multidimensi mendorong anak-anak untuk mengembangkan kompetensi, meliputi konsepsi, apresiasi, dan kreasi, dengan cara memadukan secara harmonis unsur estetika, logika, kinestetika, dan etika. Itulah sebabnya, teknik-teknik dasar dan lanjutan dalam bermain biola yang saya ajarkan tidak saja terbantu dengan metode lagu Suzuki Violin Method supaya anak-anak tidak cepat bosan, tetapi saya tambahkan juga dengan passion. Bagi saya, menyentuh alat musik dan memainkannya menjadi makin bermakna dan menampung kecerdasan musikal ketika ada passion di dalamnya. Dan, semuanya saya awali dengan mengenali karakter anak didik saya dari namanya masing-masing.
Saya menyebutnya sebagai pedagogi passion. Pedagogi ini memungkinkan anak didik saya disapa secara pribadi. Dengan sapaan personal, anak-anak dapat dengan mudah disadarkan akan tugas dan tanggungjawabnya sebagai anak didik, tanpa adanya pemaksaan secara fisik dan psikis. Untuk mahir bermain biola, tentunya butuh waktu dan proses. Dan, saya merasa bersyukur tidak harus menghukum secara fisik atau melontarkan kata-kata kasar supaya anak-anak mau terus berlatih dan tidak puas diri. Passion memungkinkan saya menjadi pendidik yang dewasa dalam mendampingi anak didik saya. Saya bersyukur Riko sudah menyelesaikan grade I kursus biolanya. Semoga sharing ini makin memperkaya kita sekalian. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H