Mohon tunggu...
Denis Guritno Sri Sasongko
Denis Guritno Sri Sasongko Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan Pembelajar

Belajar menulis populer di Komunitas Guru Menulis dengan beberapa publikasi. Pada 2020, menyelesaikan Magister Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial di Universitas Indraprasta PGRI.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Keroncong, Haruskah Kupulang ke Kota Gesang? (4)

17 Februari 2016   10:07 Diperbarui: 17 Februari 2016   12:56 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Eyang-eyang main musik - benzano.com"]

[/caption]

Yang Muda Yang juga Bertalenta

Kalau saya melihat foto di atas, saya cenderung untuk duduk dan dengan santai mendengarkan sang kakek memetik gitarnya. Itulah sebabnya, saya mengambil sikap lain. Anak-anak sudah berani tampil itu sudah satu nilai tambah yang luar biasa baik. Belum lagi, ketika harus bersentuhan dan menyapa musik keroncong. Ini nilai tambah lagi. Untuk itu, bukannya mencibir, tapi sesuai pengalaman saya, dekati, ceritakan pengalaman, dan bimbing. Istilah jawa yang sangat saya senangi adalah momong. Orang tua berperan sebagai pamong atau orang yang bisa momong. Ingatkan kalau orang tua dengan anak kandungnya yang masih kecil? Ya seperti itulah. Ketika belajar jalan, kalau jatuh ya diangkat, disemangati, dipeluk. Jatuh lagi, kembali diulang lagi. Itulah pamomong. Kisahkanlah kehebatanmu dalam memainkan alat musik dengan teladan. Maka, yang muda dan yang baru belajar pun akan menyimak dengan serius. Kami berpikir, di sinilah hebatnya musik keroncong. Ditularkan dengan budaya tutur dan budaya sikap. Ada kearifan lokal yang perlu untuk memupuk regenerasi. 

Lagi, dengan kata apresiasi, pengalaman buruk kami seperti yang dikisahkan sebelumnya membuat kami berpikir pula sesulit apa sih kalau harus memberi apresiasi? Tidak sulit, jika di situ yang dikedepankan adalah sikapnya. Tak sulit jika di situ ada semangatnya. Tak sulit jika di situ ada attitude-nya. Tak sulit, jika di situ ada attitude dan sikap sebagai pamomong tadi. Sering kali orang lupa kalau musik adalah tempat orang mengapresiasi dan bukan sarana mekanis layaknya matematika, ketika satu ditambah satu sama dengan dua. Pengalaman saya, penampilan kami justru dijadikan sarana mendapat pengakuan dan nama baik. Kalau dimanfaatkan seperti ini, tentu siapa yang tidak jengah? Bukannya momong, tetapi justru lagi-lagi mematikan semangat yang sudah dipupuk tadi. 

Bagi saya, keroncong bukan saja warisan budaya yang harus dilestarikan. Keroncong sangat dekat dengan masyarakat. Pengalaman saya, musik keroncong bisa didengarkan oleh berbagai kalangan. Musiknya ringan dan mudah dicerna telinga. Syairnya pun tidak terlalu rumit. Itulah sebabnya, ketika syair keroncong diperdengarkan, rasa kebangsaan pun pastinya dibantu untuk tumbuh. Patut disadari pula meskipun tergolong “musik serapan” di awal abad ke-16, musik keroncong diam-diam justru menjadi alat perjuangan bangsa Indonesia. Pemusik dan seniman almarhum Gesang misalnya, banyak mengangkat tema perjuangan ke dalam musik keroncong. Satu yang diungkap Hans pun tak ketinggalan. Menurutnya, mendengar keroncong membuat hati adem dan tenang. Musik keroncong tidak menggunakan drum set sehingga termasuk dalam musik yang tenang dan gampang diterima oleh telinga. Belum lagi, tentunya tak lupa bahwa musik keroncong kini mulai mengalami perkembangan jaman. Musik keroncong tak setua dulu ketika didengarkan. Untuk itu, tak perlu khawatir, lagu-lagu sekarang yang menjadi lagu favorit dan sering didengarkan pun bisa diaransemen dengan irama musik keroncong, dan pastinya ini akan membuat anda jatuh cinta.

Pengalaman saya ketika pulang ke Solo pun mengatakan bahwa keroncong kini tak hanya dimainkan oleh orang-orang tua. Banyak generasi muda yang tertarik dan menekuni musik keroncong. Belum lagi maestro seperti Djaduk Ferianto dengan apik memadukan antara keroncong dengan musik modern. Dalam karya musiknya, Djaduk banyak bereksperimen bersama grup musik Sinten Remen yang berbasis di Yogya. Itulah sebabnya, musik keroncong bisa menjadi alat komunikasi dan kritik sosial yang efektif. Di sinilah, musik adalah wadah orang bebas menginterpretasi sesuai musikalitas masing-masing pemain. Untuk itu, yang penting justru saluran dan sikap momong tadi. Atau minimal, penghargaan justru bisa diperoleh ketika musisi dihargai dengan pantas dengan menyediakan sarana menyalurkan interpretasi itu. Saya yakin, orang akan dapat menghargai musik yang dimainkan ketika di sana ada hati yang berbicara, ada interpretasi ulang, dan di sana lagu itu pun kembali menjadi segar dan mudah dinikmati. Dan hal ini bisa terjadi di mana saja. Masakan saya harus ke Belanda, Hongaria, Jerman, dan Praha untuk mendengarkan gubahan Rangkaian Melati? Masakan pula untuk menyegarkan kembali perkenalan saya dengan kata regenerasi dan apresiasi, HARUSKAH KUPULANG KE KOTA GESANG?

"hufth...." menghela napas.

#selamat_pagi

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun