[caption caption="Artist: Paolo Veronese Start Date: 1580 Completion Date:1582 Style: Mannerism (Late Renaissance) Genre: religious painting Technique: oil Material: canvas Dimensions: 248 x 450 cm Gallery: Pinacoteca di Brera, Milan, Italy"][/caption]
Selamat pagi
Tulisan ini adalah tulisan saya yang saya maksudkan untuk membuka masa "laku tapa" dan "olah kanuragan" saya. Konteksnya tentu dalam tradisi Katolik. Rabu kemarin, semua umat Katolik dan beberapa tradisi Krisitani sudah mengawalinya dengan menerima abu di dahi. Perkara sesudah penerimaan abu di dahi lalu selfie, saya pikir yang penting dilakukan setelah ibadah. Tidak lucu kan kalau waktu maju, lalu "cekrek" jadilah foto dengan bibir monyong ala duck face. Parahnya, ada pula yang dengan snapchat berkicau ringan, "eh... aku habis terima abu loh." Lalu, share... Hahaha... Bagi saya, itu urusan masing-masing. Perkara riya atau nggak itu silakan ditafsirkan saja karena bukan itu yang penting.Â
Â
Prapaskah: "Laku Tapa", "Olah Kanuragan", dan perkara Selfie
Menyebut masa prapaskah, saya teringat beberapa buku yang ditulis oleh Bastian Tito. Istilah laku tapa dan olah kanuragan rasanya tepat dipakai. Mengapa? Bagi saya, dua istilah ini mewakili apa yang didengungkan Nabi Yoel, "koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu." Jangan sekadar bicara soal hal fisik saja, tapi mari masuk dalam perjumpaan pribadi antara Yang Empunya Hidup dan saya. Nah, kalau bicara selfie setelah terima abu. Boleh ditempatkan dalam konteks ini. Senada dengan hal itu, salah seorang pakar mikroekspresi dalam wawancara dengan Fenie Rose (maaf saya lupa namanya) sempat bilang bahwa dari apa yang diungkapkan secara nyata, itu hanya mewakili 10% dari apa yang dikatakan. Bayangkan, dengan ekspresi selfie, hanya 10% yang terwakili. 90%nya kemana? Untuk itulah saya tidak pernah mau ambil pusing dengan yang namanya selfie. Selfie hanyalah perkara trend. Perkara yang tidak terlalu penting untuk diulas. Pertobatan? Ah saya rasa, untuk menyambungkan dengan laku tapa dan olah kanuragan itu, butuh sekian banyak clue, othak-athik gathuk, dan mungkin terlalu mengada-ada.Â
Perkara "olah kanuragan" pun diulas dengan baik oleh St. Paulus. Rasul ini sangat militan, namun mendalam dalam olah batin. Dalam 2 Kor 5:20-6:2, diterangkannya dengan indah bahwa yang namanya pertobatan bukan semata-mata meminta maaf dan memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan. Pertobatan juga berarti pendamaian. Dan lebih dalam, membiarkan diri didamaikan oleh Allah. Ini yang berat. Mengapa? Karena meski didengungkan ulasan-ulasan dan ajakan untuk kembali mengolah rasa, mengolah kepedulian, dan mengolah sense. Jujur, hidup juga mengundang kita untuk mematikan rasa perasaan itu. Apa sih yang namanya rela? Kalau tidak benar-benar saleh, mungkin ini berat dilakukan. Namun, justru itulah dalamnya pengalaman iman Paulus. Pertobatannya dalam perjalanan ke Damaskus menunjukkan bahwa semuanya sangatlah mungkin kalau membiarkan Allah sendiri yang bekerja. Hidup Paulus buktinya.Â
Â
Minggu I Prapaskah: Kisah "footprints" dan Padang Gurun
Bagi yang sering sekolah minggu, pernah dengar kisah footprints? Asal muasal kisah saleh ini dikarang oleh Margaret Fishback, seorang guru SD Kristen untuk anak-anak Indian di Kanada. Tubuhnya sangat pendek. Untuk ukuran orang Kanada, ia terbilang kecil, ramping, dan wajahnya halus seperti anak kecil. Tentang Margaret, tidak akan saya ulas. Namun potongan kisah ini kurang lebih diakhiri dengan suatu pertanyaan, "Tuhan, Engkau berkata ketika aku berketetapan mengikut Engkau, Engkau akan berjalan dan berbicara dengan aku sepanjang jalan, Namun ternyata pada masa yang paling sulit dalam hidupku hanya ada satu pasang jejak. Aku tidak mengerti mengapa justru pada saat aku sangat membutuhkan Engkau, Engkau meninggalkan aku?" Lalu pertanyaan ini dijawab oleh Tuhan berbisik, "Anakku yang Kukasihi Aku mencintai kamu dan takkan meninggalkan kamu. Pada saat sulit dan penuh bahaya sekalipun. Ketika kamu melihat hanya ada satu pasang jejak. Jejak itu adalah ketika Aku menggendong kamu." Saleh bukan? Dan itu yang diulang-ulang diperdengarkan, seolah-olah menjadi "obat" bahkan menurut Marx, kisah kesalehan seperti ini bisa menjadi candu yang meninabobokan.Â
Mengapa kisah itu menjadi candu? Bukankah baik, kalau di setiap momen-momen sulit hidup kita, kita disadarkan bahwa saat itulah Tuhan mengambil perannya sebagai Yang Maha Hidup dan Maha Mengetahui? Alangkah indahnya bukan kalau Tuhan benar-benar berperan dalam setiap persoalan hidup yang nyatanya dihadapai ciptaanNya. Marx menjawab bahwa dalam kisah-kisah saleh semacam itu, orang tidak mampu keluar dari kenyamanan dirinya. Orang dininabobokan untuk tidak keluar dari "zona nyaman"nya dan berani menghadapi persoalan hidup, bahkan jika disitu ada ketidakadilan. Apa benar demikian? Kita simpan sejenak pendapat Marx yang saya bahasakan ulang tadi.Â
Luk 4:1-13 mengisahkan Yesus yang dicobai di padang gurun selama 40 hari. Pokok persoalannya adalah dibawa Roh. Yang saya cetak tebal itulah yang menggelitik saya untuk menulis artikel ini. Mengapa? Karena Lukas tidak mengatakan bahwa Yesus digendong oleh Roh, tetapi terbimbing oleh Roh. Markus 1:12 jelas mengatakan "Roh memimpin Dia ke padang gurun." Saya jadi berpikir bahwa pengalaman Yesus masuk alam sepi, padang gurun, bukan semata-mata nyoba-nyoba atau pergi begitu saja untuk dicobai. Pengalaman itu menyadarkan bahwa di padang gurun, Yesus tidak bicara soal kesalehan semata, tetapi di sana ada Roh yang tinggal dan tetap membimbing Yesus.
Apa yang menarik dalam kisah di padang gurun ini adalah begini. Yesus sedang ada dalam situasi permasalahan konkret. Ia lapar karena 40 hari tidak makan. Salah satu godaan yang sangat manusiawi adalah makan. Alasannya tentu karena perut telah kosong. Dalam keadaan menurunnya kesadaran, pastinya godaan ini sangat menggiurkan. Belum bicara soal prestise karena ada para malaikat yang siap menatangNya atau soal pemberian reward Kerajaan. Kisah ini seolah hanya mewakili bahwa sekarang, saat anda mendengarkan kisah ini kembali, anda dan saya dihadapkan pada dua pilihan, mau tetap terbimbing oleh Roh yang mengantar ke padang gurun yang sepi untuk laku tapa itu, atau mau digendong oleh kekuatan lain?Â
Mengakhiri cuitan saya ini, adanya kisah footprints tadi memang mengantar pendengar pada pemahaman bahwa alangkah tepatnya Allah ikut serta dalam setiap momen hidup kita. Itu konkret dan tentunya Allah tetap baik jika dibiarkan berperan aktif. Namun jangan pula lupa bahwa di hadapan kita ada pilihan itu, mau tetap digandeng dan dibimbing oleh Roh yang mengantar kita memasuki alam sepi dan mengundang kita untuk laku tapa selama 40 hari. Atau, kita menyediakan diri dan mau digendong kekuatan lain yang menjauhkan kita dari tujuan semula laku tapa ini. Pilihan di tangan kita.Â
Selamat memasuki masa "laku tapa" 40 hari ini dan menyediakan diri dibimbing oleh Roh Kudus. Perkara selfie, monggo urusan masing-masing. Yang penting adalah menentukan pilihan yang tepat atas maksud masa "laku tapa" ini.Â
"Segala perkara dapat kutanggung dalam Dia yang memberi kekuatan padaku." (Flp 4:13)
Saling mendoakan.Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H