Sejak tanggal 2 Maret 2020, Indonesia mulai memasuki masa pandemi virus Covid-19. Hampir semua orang ketakutan sebab melihat dampak yang ditimbulkan akibat tertular virus jenis baru ini. Keadaan di Wuhan, China dan beberapa wilayah di Eropa yang menunjukkan banyak orang tersengal-sengal, berjatuhan, jenazah berserakkan di jalan-jalan, depan rumah, bahkan di lorong-lorong rumah sakit; menjadi momok yang sangat mengerikan bagi Indonesia. Seakan kondisi yang belum pernah terjadi di abad-abad modern ini di seluruh dunia merupakan tanda-tanda kiamat.
Tetapi setelah berjalannya waktu, tak terasa kita sudah 10 bulan menjalani hidup dalam masa pandemi Corona. Menurut data Satgas Covid-19 milik Pemerintah, angka penularan, kematian, dan kesembuhan terus mengalami kenaikan. Di Indonesia, angka penularan dan kematian bukannya semakin menurun malah naik terus. Angka penularan antara 6000-9000 orang per hari dan angka kematian antara 100-200 orang per hari.
Angka kesembuhan biasanya tak jauh dari angka penularan. Angka kematian yang semakin tinggi di Indonesia tidak membuat jenazah berserakkan di jalan-jalan seperti Wuhan dan wilayah-wilayah lain. Di dalam lingkungan kehidupan sehari-hari pun tidak ada banyak yang sakit lalu meninggal. Semua kenalan dan anggota keluarga masih ada sampai sekarang. Sehingga banyak rakyat bertanya tentang hal ini: Apakah pandemi ini permainan politik? Sebab angka yang dipublikasikan Pemerintah tak sesuai fakta di lapangan.
Saya mengakui bahwa pandemi virus Corona itu ada. Tapi saya juga tidak bisa membantah fakta yang terjadi di masyarakat. Orang-orang yang terinfeksi virus Corona justru dari kalangan menengah sedang sampai menengah ke atas. Mereka, kaum yang selalu minum vitamin, hidup bersih dan sehat, menerapkan protokol kesehatan malahan tertular virus Corona. Sebut saja para pejabat Pemerintahan, atlet, selebritis, public figure, karyawan kantor, dan masih banyak lagi.
Secara logika, bila terjadi wabah penyakit menular, justru harusnya yang kebanyakan orang-orang yang tertular adalah kaum menengah ke bawah, sebab gaya hidup mereka jauh dari bersih dan steril. Sebut saja petugas kebersihan alias tukang sampah yang tiap hari harus bersentuhan dengan sampah yang kotor, pedagang pasar tradisional, pengemis, anak jalanan, masyarakat pemukiman padat penduduk, pedagang kaki lima, dan semua orang yang gaya hidupnya tidak bersih.
Tapi anehnya, mereka sampai kini masih hidup semua, tidak ada yang sakit apalagi mati karena Corona. Ada sebuah pemukiman padat penduduk di kota besar yang zona merah. Masyarakatnya sejak Maret 2020 hingga kini tidak pernah pakai masker. Mereka malah menyebut orang-orang yang pakai masker adalah Bagong (Babi Hutan).Â
Makan pun mereka tidak pernah cuci tangan apalagi pakai handsanitizer. Mereka biasa ngebotram, alias makan bersama tetangga-tetangganya, tanpa kebersihan dilahaplah makanan itu yang kebanyakan makanan tidak sehat seperti jeroan, tumis kangkung pakai sambal seuhah-seuhah.
Ketika beribadah pun, mereka tidak pernah pakai masker dan berhimpitan. Tidak ada jamaah yang glebak karena Covid-19. Sehingga karena fakta pandemi ini tidak ada efeknya bagi mereka, mereka menyebut pandemi ini rekayasa.
Balik lagi ke pertanyaan: Mengapa orang menengah ke bawah kebal terhadap Covid? Saya bukan ahli kesehatan, tapi saya melihat sendiri fakta yang ada memang demikian. Karena penasaran, saya tanyakan hal ini kepada beberapa orang dari kaum menengah ke bawah.Â
Ketika saya atau orang lain menyuruh mereka menggunakan masker supaya tidak tertular Covid, mereka pada umumnya selalu berkata, "Urang mah percaya ka Allah wae, tong ka Pemerintah. Rejeki, jodoh, hidup, mati tos di tangan Gusti Allah." Kalau alasan mereka sudah ke agama, kita pun tak bisa berdebat.
Saya bisa menyimpulkan mengapa mereka lebih kebal terhadap Covid. Orang-orang menengah ke bawah sudah terbiasa hidup tidak higenis. Sehingga segala macam kuman sudah menjadi 'makanan' mereka sehari-hari. Sehingga ketika virus Corona ini masuk ke tubuh mereka, tidak ada reaksi apapun yang terjadi. Anak-anak mereka dibiarkan umbelan, apakah itu karena Corona? Tidak, mereka sudah umbelan dari dulu dan tidak pernah diberi obat flu. Maka itu, mereka lebih berani disuruh test-test Covid daripada kaum menengah ke atas yang super takut.
Kaum miskin itu sebenarnya lebih berharap ingin lekas beralih dari dunia ini memasuki surga-Nya sebab mereka tidak bisa menikmati dunia ini. Berbeda dengan kaum kaya yang takut mati, sebab mereka nyaman dengan hidupnya dan bisa menikmati dunia ini dengan uang mereka.
Namun yang terjadi malah sebaliknya. Kaum yang selalu hidup bersih dan steril tidak terbiasa dengan kuman, sehingga ketika masuk virus Corona, tubuhnya langsung bereaksi. Saya yakin, mungkin di tubuh masyarakat menengah ke bawah itu pasti ada yang membawa Corona, hanya saja tubuhnya tidak bereaksi, jadi seperti numpang saja. Nanti ketika virusnya menular ke orang yang rentan, orang itulah yang justru langsung menimbulkan gejala.
Kesimpulannya adalah, masyarakat menengah ke bawah karena sudah terbiasa hidup tidak higenis sehingga daya tahan tubuhnya lebih kuat daripada masyarakat menengah ke atas yang terbiasa hidup bersih. Apakah ini artinya kita harus hidup jorok? Nggak gitu juga. Semoga para ahli kesehatan yang lebih berwenang mau menjelaskan fakta di masyarakat ini secara ilmiah: Mengapa kaum menengah ke bawah kebal terhadap Covid-19?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H