Jika kita berbicara mengenai harta, hal pertama yang ada di fikirkan kita adalah uang, emas, intan, dsb. padahal, harta tidak hanya mempunyai pengertian sedemikian rupa, untuk lebih jelasnya mari kita ulas lebih dalam lagi mengenai harta dan kepemilikannya dalam pandangan Islam. Harta menurut kamus Bahasa Indonesia berarti barang/benda milik seseorang baik yang berwujud/tidak berwujud, bernilai, dan menurut hukum telah mempunyai hak milik.[1] Harta di dalam bahasa Arab (Munawir, 1984) harta berarti ma malaktahu min kulli syai (segala sesuatu yang engkau punyai). Menurut istilah syar’i harta diartikan sebagai segala sesuatu yang dimanfaatkan pada sesuatu yang legal menurut hukum syara’ (hukum islam) seperti jual beli, pinjaman, konsumsi, dan hibah atau pemberian (An-Nabhani, 1990).[2] Sedangkan Istilah milik berasal dari bahasa Arab yaitu milk.Milik dalam lughah(arti bahasa) dapat diartikan Memiliki sesuatu dan sanggup bertindak secara bebas terhadapnya(Hasbi As Shiddieqy, 1989:8)[3]
Padahal, jika dipandang dari segi Islam, hakikat hak milik harta adalah Allah SWT. Sedangkan kepemilikan harta menurut Jati (2003) hakikat kepemilikan harta dibagi menjadi tiga, yakni Allah adalah Pencipta dan Pemilik harta yang hakiki, harta merupakan fasilitas bagi kehidupan manusia, dan Allah menganugerahkan pemilikan harta kepada manusia.[4]
Seperti yang dijelaskan dalam (QS. Al-Nur :33) “Dan berikanlah kepada mereka, sebagian harta Allah yang telah Dia berikan kepada kalian”. Allah SWT. Langsung menisbatkan harta kepada diri-Nya yang berarti ‘harta milik Allah’ dalam ayat tersebut. Setelah menyatakan bahwa Allah adalah pemilik harta dari segala harta, Allah menganugerahkannya kepada umat manusia. Penganugerahan dari Allah ini dalam rangka memberi fasilitas kepada manusia. Fasilitas yang dimaksud termasuk harta kekayaan yang ada di muka bumi ini. Sesuai dengan firman-Nya dalam (QS. Al-Baqarah: 29) “Dialah (Allah) yang telah menciptakan apa saja yang ada di muka bumi buat kalian semuanya”. tetapi, di samping Allah menganugerahkan fasilitas ini, Allah juga memberi perintah untuk senantiasa berupaya mencari harta agar dapat memilikinya. Setelah ia berupaya mencari kekayaan, maka jadilah manusia disebut “mempunyai” harta. Tetapi juga diperintahkan kepada manusia agar tidak melampaui batasnya dalam mencari harta, sesuai ddengan (QS. Al-Baqarah: 188) “Dan jangaanlah kalian saling memakan harta kalian dengan jalan bathil.”Dan juga pada (QS. Al-An’am: 125) yang berbunyi “Dan janganlah kalian dkati harta anak yatim, hingga sampai ia dewasa.”[5]
Dengan adanya semua keterangan dan dalil di atas, dapat disimpulkan bahwa harta hanya dimiliki manusia sebatas hidup di dunia, dan itupun harus diperoleh dengan cara yang telah ditentukan menurut syariat islam. Karena manusia hanya diberi harta sebagai titipan dan manusia diberi kuasa oleh Allah untuk memprosesnya demi kelangsungan hidup mereka di dunia yang bersifat sementara.
Namun, tidak berarti dengan mengetahui dalil bahwa hakikatnya harta adalah milik Allah lantas manusia tidak melindungi serta memiliki hak atas harta tersebut ketika di dunia, islam sebagai agama yang hidup dan benar mengakui hak milik pribadi setiap harta yang dimiliki oleh manusia. Karenanya, Islam telah mengadakan sanksi hukum yang cukup berat terhadap siapa saja yang berani melanggar hak milik pribadi tersebut. Seperti hukuman potong tangan yang dilakukan ketika ada kasus pencurian, tapi perlu digaris bawahi bahwa hukum potong tangan ini merupakan hukuman maksimal saja. Pencurian yang dilakukan karena terpaksa oleh keadaan, seperti kelaparan demi menyambung hidup hukuman tersebut tidak berlaku.[6]
Sebagai pemegang suatu harta sebagai hak milik pribadinya, maka si pemilik berhak menggunakan sepenuhnya harta tersebut selama dipandang ia memang layak dan cakap menggunakannya, jika dianggap tidak cakap maka harus ditunjuk seorang wali yang bertanggung jawab mengurus harta benda si pemiik agar dapat digunakan semaksimal mungkin untuk kesejaheraan pribadi dan kesejahteraan orang lain.
Selain itu Islam juga menetapkan beberapa ketentuan dan larangan dalam kepemilikan suatu harta, seperti larangan menimbun barang dengan tujuan memperoleh keuntungan sehingga ketika harga naik barang tersebut baru dijual, larangan riba, dan juga larangan memanfaatkan harta untuk hal-hal yang membahayakan orang lain. Semua ketentuan ini dilakukan agar manusia mencari harta Allah dengan jalan yang legal dan sesuai dengan syariat islam.[7]
Dan inilah ekonomi dalam pandangan Islam, semua tingkah laku serta tata caranya sudah diatur sedemikian rupa karena pada esensinya Islam bukan memandang sebelah mata masalah harta yang dianggap hanya sebagai ujian. Tapi Islam juga memandang harta sebagai perhiasan dunia yang digunakan untuk memenuhi kehidupan manusia secara berkecukupan untuk digunakan di jalan Allah.
SEMOGA BERMANFAAT
[1] KBBI offline.
[2] M.Sholahudin, SE., M.S.i. Asas-Asas Ekonomi Islam, (Jakarta, PT Rajagrafindo, 2007).,40
[3] Dr. Suhrawardi K. Lubis, S.H., Sp.N., M.H. Farid Wajdi, S.H., M.Hum., Hukum Ekonomi Islam,(Jakarta, Sinar Grafika, 2012)., 6
[4] M.Sholahudin, SE., M.S.i. Asas-Asas Ekonomi Islam, (Jakarta, PT Rajagrafindo, 2007).,41
[5] M.Sholahudin, SE., M.S.i. Asas-Asas Ekonomi Islam, (Jakarta, PT Rajagrafindo, 2007).,41-45
[6] Prof.Drs. H. Masjfuk Zuhdi, Studi Islam Jilid III Muamalah,(Jakarta,PT Rajagrafindo, 1988).,86
[7] Dr. Ahmad Mujahidin, M.Ag., Ekonomi Islam,(Jakarta, PT Rajagrafindo, 2007).,29
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H