Tahun ini merupakan kedua kalinya Idul Adha berlangsung dalam kondisi pandemi. Tentunya ada kesan berbeda yang dirasakan umat muslim Indonesia.
Terlebih hingga hari ini masih berlaku PPKM Darurat, khususnya daerah Jawa dan Bali. Berbagai macam peraturan diterapkan untuk membatasi mobilitas masyarakat dalam rangka pencegahan kasus COVID-19 yang hingga kini belum juga mereda.
Penerapan ketentuan PPKM Darurat ini rupanya tidak hanya membatasi ruang gerak beribadah. Kegiatan usaha masyarakat pun terkena dampak yang cukup signifikan. Tak terkecuali kegiatan jual beli hewan kurban.
Keluhan datang dari para penjual hewan kurban yang rutin bertransaksi setiap tahun. Mereka merasa Idul Adha kali ini jauh lebih sepi, bahkan dibandingkan Idul Adha tahun lalu yang sama-sama dalam kondisi pandemi. Hewan kurban yang dijajakan tidak sepadan dengan transaksi pembelian yang dilakukan.
Salah seorang pedagang hewan kurban asal Depok, mengaku penjualan hewan kurbannya menurun drastis. Mungkin bisa dikatakan yang paling rendah selama sepuluh tahun terakhir.
Jika biasanya ia bisa menjajakan 800 lebih hewan kurban setiap menjelang Idul Adha, kini ia hanya bisanya menyediakan 200-an hewan kurban. Itupun masih menyisakan 43 ekor kambing dan 7 ekor sapi hingga H-1 Idul Adha.
Omset yang ia peroleh jatuh terjerembab. Tidak sampai 50 persen dari omset biasanya.
Fenomena sepi pembeli hewan kurban ini tidak hanya terjadi di kota besar, tetapi juga di daerah. Di Kuningan saja, yang berada di pinggiran Jawa Barat.
Para penjual hewan kurban harus rela bersabar menunggu pembali datang. Jika biasanya sepekan menjelang Idul Adha hewan kurban sudah hampir habis dipesan, kini lebih dari setengahnya masih belum memiliki calon pembeli.
Apa yang menyebabkan penjualan hewan kurban sepi?
Pertama, PPKM Darurat.
Penerapan PPKM Darurat sederhananya membuat segala urusan jadi ribet. Segalanya jadi serba terbatas, termasuk kegiatan masyarakat yang mengundang banyak massa seperti penyembelihan hewan kurban.
Sudah tradisi di masyarakat kita, penyembelihan hewan kurban selalu dihadiri banyak orang. Biasanya selalu kita jumpai bapak-bapak yang ikut nimbrung memotong daging, ibu-ibu yang menyiapkan kantong kresek, hingga anak-anak yang iseng memegangi tandung kambing dan perut sapi.
Keramaian seperti ini cukup mengkhawatirkan di saat-saat sekarang. Pemerintah pun sejak jauh-jauh hari sudah mewanti-wanti kerumuman yang terjadi karena prosesi ibadah, termasuk kurban. Dikhawatirkan kerumunan yang tidak terkontrol dapat memperbesar potensi penularan COVID-19.
Belum lagi ada potensi denda jika nantinya kegiatan berkerumun tersebut diketahui aparat. Tambah ruwet jadinya.
Tidak mau ribet, masyarakat akhirnya meniadakan penyembelihan hewan kurban, atau paling tidak mengurangi jumlah hewan kurbannya. Hal ini memberikan dampak terhadap penjualan hewan kurban.
Alternatif mengirim hewan kurban ke luar daerah pun cukup sulit dilakukan para penjual. Mobil pengangkut harus menghadapi penyekatan di sana-sini. Waktu pengiriman pun semakin lama.
Hal ini cukup berisiko mengingat hewan kurban rentan stres. Perjalanan yang terlalu lama bahkan dapat menyebabkan kematian pada hewan kurban.
Kedua, faktor ekonomi masyarakat.
Kurban merupakan salah satu rangkaian ibadah Idul Adha yang berhubungan dengan kondisi ekonomi seseorang. Orang yang merasa dirinya mampu dianjurkan untuk melaksanakan kurban. Bahkan beberapa ulama berpendapat kurban hukumnya wajib selama harta kita cukup untuk itu.
Tentunya tidak sedikit uang yang mesti dikeluarkan untuk membeli hewan kurban. Menjelang Idul Adha harga kambing kualitas standar saja bisa mencapai lebih dari 3 juta rupiah. Sapi setidaknya dapat dibeli dengan harga minimal 17 jutaan.
Kondisi pandemi seperti sekarang, ditambah pemberlakukan PPKM Darurat memberikan dampak signifikan terhadap ekonomi masyarakat. Yang digaji ataupun wirausahawan, sektor formal maupun informal, semuanya mengalami kesulitan. Keadaan ini membuat masyarakat berpikir ulang dalam mengelola keuangannya.
Ada yang berhemat karena pemasukannya kian tak tentu. Ada juga pengusaha yang menyimpan uangnya agar para karyawan tetap punya penghasilan dan usahanya tidak gulung tikar.Â
Padahal mereka ingin sekali berbagi, saling menggembirakan hati di tengah pandemi.
Dihadapkan pada pilihan-pilihan berat, masyarakat akan mengutamakan hal-hal dengan prioritas lebih tinggi. Akhirnya kurban terpaksa ditinggalkan.
***
Di sisi lain, sebagian masyarakat yang mampu dan memiliki kelonggaran finansial tetap menyimpan hartanya. Mereka tidak hendak berbagi dan hanya ingin menyelamatkan diri sendiri.
Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang demikian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H