Mohon tunggu...
Deni Mildan
Deni Mildan Mohon Tunggu... Lainnya - Geologist, Dosen

Geologist, Dosen | Menulis yang ringan-ringan saja. Sesekali membahas topik serius seputar ilmu kebumian | deni.mildan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

4 Alasan Orang Tua Tolak Vaksin untuk Anak

30 Juni 2021   16:48 Diperbarui: 30 Juni 2021   21:18 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Vaksin merupakan salah satu penemuan terbesar dalam dunia medis. Vaksin telah memungkinkan manusia megembangkan kekebalan terhadap penyakit-penyakit berbahaya.

Konsep imunisasi dan vaksinasi ditemukan oleh Edward Jenner. Ia pertama kali mempublikasikan kajiannya pada pada tahun 1798 dalam bukunya Penyelidikan Variolae vaccinae yang dikenal sebagai cacar sapi, yang menjelaskan efek perlindungan cacar sapi terhadap cacar. 

Istilah vaccinae dari nama taknosomi cacar sapi kemudian diperluas tidak hanya untuk perlindungan terhadap cacar sapi. Muncullah istilah vaccine atau vaksin seperti sekarang.

Vaksin telah terbukti paling efektif dalam melawan dan memusnahkan penyakit infeksi menular. Pemberian vaksin dapat mencegah berbagai penyakit berbahaya yang mengakibatkan kecatatan bahkan kematian dapat dihindari. Hasilnya, manusia bisa menambah usia harapan hidup hingga 30 tahun lebih lama dibandingkan 1 abad yang lalu.

Penggunaan vaksin dan program imunisasi saat ini telah dilakukan di berbagai negara. Di Indonesia sendiri, pemberian vaksin dasar secara gratis, seperti vaksin Hepatitis-B, Polio, BCG, dan DPT, merupakan program pemerintah untuk menjaga kesehatan  anak.

Meski telah terbukti efektif, nyatanya vaksin masih memperoleh penolakan dari berbagai belahan dunia. Suara penolakan vaksin paling vokal justru datang dari negara-negara maju dan adidaya. 

Bahkan sampai tahun 2019 lalu, Perancis mendapatkan predikat negara paling anti vaksin. Satu dari 3 penduduk Perancis menganggap vaksin tidak aman dan satu dari 10 penduduk berpikir bahwa imunisasi tidak penting bagi anak-anak.

Indonesia pun tidak lepas dari gerakan penolakan vaksin. Beragam argumen dilontarkan untuk menyanggah pemberian vaksin khususnya pada anak, mulai dari landasan agama hingga perlawanan terhadap persekongkolan elit global. Hal tersebut tak jarang membuat orang tua ragu bahkan ikut-ikutan menolak imunisasi vaksin untuk anak mereka.

Secara garis besar, inilah 4 alasan orang tua menolak vaksin untuk anak.

1. Kepercayaan agama

Ilustrasi agama (Foto oleh Wendy van Zyl dari Pexels)
Ilustrasi agama (Foto oleh Wendy van Zyl dari Pexels)
Indonesia merupakan negara yang terbilang religius. Agama menjadi hal yang penting dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Urusan kesehatan pun tidak lepas dari agama.

Karena saya muslim dan saya hanya bisa menghadirkan pandangan dari perspektif muslim, mari kita ambil contoh respon umat Islam Indonesia terhadap pemberian vaksin.

Seperti yang kita ketahui, Islam cukup sensitif dengan penggunaan bahan-bahan yang dinilai haram dan tidak suci. Umat Islam sebisa mungkin akan menghindari bahan-bahan haram dan tidak suci meskipun sedikit, baik dalam makanan maupun obat-obatan.

Vaksin polio khusus (IPV) adalah salah satu vaksin yang menuai polemik. Vaksin tersebut diinformasikan menggunakan enzim yang berasal dari babi. Babi merupakan salah satu hewan yang haram hukumnya untuk dikonsumsi.

Majelis Ulama Indonesia sendiri telah membicarakan hal ini dan sepakat membolehkan vaksin IPV sepanjang belum ada vaksin IPV lain yang terjamin suci dan halal. Beberapa pihak ada yang teguh dengan keharaman babi dan zat-zat atau produk turunannya. Perbedaan pendapat ini terjadi karena masing-masing pihak bersandar pada pendapat ulama yang sama-sama kuat.

Hal inilah yang kemudian memunculkan dua kubu pendapat soal vaksin dan imunisasi. 

2. Teori konspirasi

Teori konspirasi memang tidak pernah sepi peminat. Ia memang mind-blowing, kadang berseberangan dengan perspektif pikiran kita yang mainstream.

Baru-baru ini kita tentu mendengar teori konspirasi tentang vaksin Covid-19 yang katanya disusupi microchip buatan Bill Gates. Microchip ini diduga terhubung dengan jaringan 5G dan memberikan kontrol kepada elit global terhadap penduduk bumi. Teori ini dipercayai mereka yang menolak vaksinasi Covid-19.

Pernah juga muncul teori tentang vaksin yang dirancang untuk mempengaruhi fertilitas wanita suatu kelompok masyarakat di Asia Selatan. Vaksin dianggap sebagai "senjata biologis" untuk memusnahkan populasi kelompok tersebut secara sembunyi-sembunyi lewat kemandulan yang sengaja direncanakan.

Teori konspirasi (https://news.tulane.edu)
Teori konspirasi (https://news.tulane.edu)
Hubungan teori konspirasi dan penolakan vaksin telah muncul di beberapa penelitian. Salah satunya adalah hasil studi Matthew Hornsey, Ph.D dari University of Queensland yang dipublikasikan di jurnal Healthy Psycology.

Hornsey dan tim melakukan survei terhadap 5.323 orang dari 24 negara dengan menggunakan angket online. Mereka ingin mengetahui pendapat orang-orang anti vaksin terhadap beberapa teori konspirasi.

Hasilnya, di negara mana pun responden berada, orang-orang yang mempercayai teori konspirasi cenderung anti terhadap penggunaan vaksin.

Banyak juga yang mengaitkan vaksin dengan bisnis yang dijalankan perusahaan farmasi besar. Orang-orang anti vaksin percaya perusahaan farmasi memproduksi vaksin hanya untuk memperoleh uang dalam jumlah besar. Ketidakpercayaan muncul karena perusahaan-perusahaan tersebut tidak memberikan informasi yang cukup mengenai keamanan obat buatannya.

3. Internet dan media sosial

Kelompok anti vaksin sebenarnya sudah ada sejak pertama kali vaksin diperkenalkan. Namun pergerakannya terbatas, tidak ada sarana untuk menyampaikan pendapat dan merangkul orang-orang di luar sana yang sepemikiran.

Saat ini penyabaran klaim-klaim yang memperkuat anti vaksin dapat dengan mudah disebarluaskan lewat situs web, blog, dan media sosial. Kita bisa dengan mudah memperoleh informasi hanya beberapa kali klik dan mengetikkan kata kunci di mesin pencari.

Siapa saja bisa membuat konten, baik ahli ataupun penipu. Informasi yang disampaikan pun bisa jadi opini atau fakta, sulit dibedakan. Kontrol konten jauh lebih sulit dilakukan dibandingkan dengan media massa tradisional.

Ilustrasi media sosial (Foto oleh Lisa dari Pexels)
Ilustrasi media sosial (Foto oleh Lisa dari Pexels)
Belum lagi jika kita memiliki asimilasi yang bias, memahami informasi baru melalui "kacamata" yang telah kita percayai sebelumnya. Hal ini menyebabkan kita kesulitan menyerap informasi yang dapat secara radikal mengubah persepsi kita, meskipun informasi tersebut benar, akurat, dan terpercaya.

Dalam sebuah video humor di Youtube berjudul If Google Was a Guy, diceritakan seorang wanita mencari informasi kepada Google yang dipersonifikasi menjadi seorang kantoran. 

Si wanita mencari informasi tentang vaksin yang dapat menyebabkan autisme. Google kemudian berkata bahwa ia punya sejuta bukti tentang vaksin yang tidak menyebabkan autisme dan satu konten yang menyatakan sebaliknya. Sambil tersenyum, wanita tersebut beranjak dari kursi, mengambil berkas dari Google, dan berkata, "I knew it!".

Cuplikan If Google Was a Guy (Sumber: https://www.youtube.com)
Cuplikan If Google Was a Guy (Sumber: https://www.youtube.com)
Banyaknya informasi mengenai hal-hal positif tentang vaksin tidak menjamin perubahan pola pikir orang tua yang menolak vaksin. Bagi yang pro vaksin akhirnya ya capek sendiri. Sudah susah payah melawan misinformasi, ujung-ujungnya tidak ada perubahan yang terjadi.

4. Dalih kasih sayang orang tua

Orang tua sudah sewajarnya menyayangi anaknya lebih dari apapun. Ornag tua selalu menginginkan yang terbaik untuk anak, tidak ingin membuat mereka sakit dan menderita. Rasa kasih sayang ini pula yang membuat orang tua enggan memberikan vaksin kepada anaknya.

Ilustrasi kasih sayang orang tua (Foto oleh Andreas Wohlfahrt dari Pexels)
Ilustrasi kasih sayang orang tua (Foto oleh Andreas Wohlfahrt dari Pexels)
Beberapa vaksin memang memberikan efek samping kepada anak. Misalnya, vaksin DPT memberikan efek demam kepada anak. Orang tua mana yang tidak sedih melihat anaknya menangis karena demam. Saya pun mengalami hal yang sama beberapa bulan lalu.

Mendapati cerita yang sama dari tetangga atau teman dekat, orang tua bersikukuh tidak memberikan vaksin kepada anak. Mereka berdalih, "kalau mau dibuat sehat, kenapa anak malah dibuat sakit?".

Vaksin terbuat dari substansi penyakit (bakteri, virus, dll) yang telah dilemahkan atau dimatikan sehingga tidak dapat berkembang di dalam tubuh manusia, namun cukup untuk membuat antibodi bekerja. Pemberian vaksin akan membuat antibodi anak siap lebih awal sehingga menurunkan resiko terkena penyakit.

Sayangnya tidak semua orang tua memahami hal tersebut. Padahal demam atau rasa nyeri yang dialami anak setelah pemberian vaksin tidak seberapa jika dibandingkan dengan terkena terjangkit penyakitnya secara langsung. 

Referensi: satu dua tiga empat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun