Istilah "Pancasilais" dan "tidak Pancasilais" mencuat hebat kala Puan Maharani lewat PDIP mengumumkan rekomendasi pasangan bakal calon kepala daerah yang akan diusung Banteng Moncong Putih. Niat hati ingin memberikan dukungan, potongan kalimat pernyataannya malah menuai pro dan kontra.
"Untuk Provinsi Sumatera Barat, rekomendasi diberikan kepada Ir. Mulyadi dan Drs. H. Ali Mukhni. Merdeka! Semoga Sumatera Barat menjadi provinsi yang memang mendukung negara Pancasila," kata Puan dalam acara yang digelar DPP PDIP secara virtual
Sebagian masyarakat Sumbar marah-marah. Kurang Pancasilais apalagi, padahal zaman Agresi Militer Belanda dulu Republik selamat berkat pembentukan pemerintahan darurat di Tanah Minang. Persatuan Pemuda Mahasiswa Minang (PPMM) mengadukan Puan ke polisi, meski akhirnya ditolak karena kurangnya bukti.Â
Di lain pihak, pembela Puan bersikukuh putri presiden pertama RI hanya keseleo lidah. Puan hanya menyampaikan doa, katanya. Cuma harap maklum karena pilihan katanya kurang tepat.
Label tidak Pancasilais muncul lagi belakangan sebagai buntut tak lolosnya 75 pegawai KPK dalam Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Beberapa pihak menganggap mereka terpapar radikalisme, "kadrun", dan lain sebagainya.
Saking panasnya, Komnas HAM sampai turun tangan. Mereka menghimbau masyarakat untuk menghentikan stigma tidak Pancasilais kepada mereka karena dikhawatirkan akan berdampak serius dan berimplikasi panjang.
Pancasilais Itu Apa Sih?
Saya pribadi baru mengetahui ada istilah Pancasilais saat muncul Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Istilah ini semakin menambah daftar panjang "is-is" lain yang sudah muncul duluan, komunis, sosialis, fasis, ultranasionalis, dan banyak lagi.
Menurut KBBI, Pancasilais berarti penganut ideologi Pancasila yang baik dan setia. Secara bebas, Pancasilais dapat diartikan sebagai orang yang berpegang teguh, patuh, dan taat kepada Pancasila sebagai ideologi negara, serta mengamalkanya dalam kehidupan.
Pancasila adalah pilar ideologis dan falsafah bangsa Indonesia. Meskipun hanya terdiri dari lima sila, Pancasila memiliki dimensi implementasi yang sangat luas. Butir-butir Pancasila yang dikenal generasi dulu adalah salah satu cara untuk memperjelas maksud dari masing-masing sila.
Butir-butir pengamalan Pancasila pertama kali pertama kali diatur melalui ketetapan MPR No. II/MPR/1978. Setelah Reformasi, Butir-Butir Pengalaman Pencasila disesuaikan melalui Ketetapan MPR No. I/MPR/2003.
Jika butir-butir pengalamannya sudah diatur sedemikian rupa, kita tentunya punya standar untuk menentukan mana yang penganut Pancasila yang baik dan setia, dan mana yang bukan.
Mari kita ambil beberapa contoh kasus.
Dalam salam satu poin pengamalan sila ke-2 disebutkan bahwa kita harus mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, jenis kelamin, dan sebagainya.Â
Berdasarkan standar tersebut tentunya kita paham betul bahwa merendahkan sesama bangsa Indonesia yang berbeda suku dan warna kulit tidak dibenarkan, tidak Pancasilais. Apalagi jika sampai mempertanyakan "proses evolusi" segala. Charles Darwin saja mungkin tidak terpikir melontarkan kata-kata macam begitu.
Sikap boros dan gaya hidup mewah berlebihan juga masuk ke dalam ranah butir pengamalan Pancasila, khususnya sila ke-5. Zaman Indonesia baru seumur jagung, hidup mewah mungkin susah karena selalu dibayangi pemerasan penjajah. Di era sekarang, gaya hidup demikian muncul dimana-mana, bahkan tersebar mudah lewat platform media sosial.
Dalam kasus tersebut, bukankah pamer kemewahan bukan termasuk sikap Pancasilais?
Secara pribadi, saya khawatir jangan-jangan kita selama ini salah melabeli seseorang dengan sebutan "tidak Pancasilais". Barangkali kita hanya melihat Pancasilais atau tidaknya seseorang hanya dari atribut, pesona, dan cara bicaranya.
Sebagaimana penilaian manusia terhadap manusia lainnya, nilai utama seseorang hanya kita lihat dari yang nampak. Padahal barangkali, kesan "tidak Pancasilais" seseorang menutup perilaku sejatinya yang jauh lebih "Pancasilais" daripada tokoh-tokoh yang bersuara.
Pancasila adalah nilai luhur budaya bangsa Indonesia. Tidak patut jika Pancasila dipersempit maknanya untuk sekedar "memberi tanda" pada pihak-pihak tertentu.
Jangan sampai Pancasila hanya sekedar rangkaian kalimat yang terus menerus digaungkan, jadi alat politik macam propaganda Jepang saat mengambil alih bangsa kita dari kuasa Belanda.
Catatan:
Penulis bukan pengamat politik
Referensi: satu dua tiga empat lima
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H