Mari kita ambil beberapa contoh kasus.
Dalam salam satu poin pengamalan sila ke-2 disebutkan bahwa kita harus mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, jenis kelamin, dan sebagainya.Â
Berdasarkan standar tersebut tentunya kita paham betul bahwa merendahkan sesama bangsa Indonesia yang berbeda suku dan warna kulit tidak dibenarkan, tidak Pancasilais. Apalagi jika sampai mempertanyakan "proses evolusi" segala. Charles Darwin saja mungkin tidak terpikir melontarkan kata-kata macam begitu.
Sikap boros dan gaya hidup mewah berlebihan juga masuk ke dalam ranah butir pengamalan Pancasila, khususnya sila ke-5. Zaman Indonesia baru seumur jagung, hidup mewah mungkin susah karena selalu dibayangi pemerasan penjajah. Di era sekarang, gaya hidup demikian muncul dimana-mana, bahkan tersebar mudah lewat platform media sosial.
Dalam kasus tersebut, bukankah pamer kemewahan bukan termasuk sikap Pancasilais?
Secara pribadi, saya khawatir jangan-jangan kita selama ini salah melabeli seseorang dengan sebutan "tidak Pancasilais". Barangkali kita hanya melihat Pancasilais atau tidaknya seseorang hanya dari atribut, pesona, dan cara bicaranya.
Sebagaimana penilaian manusia terhadap manusia lainnya, nilai utama seseorang hanya kita lihat dari yang nampak. Padahal barangkali, kesan "tidak Pancasilais" seseorang menutup perilaku sejatinya yang jauh lebih "Pancasilais" daripada tokoh-tokoh yang bersuara.
Pancasila adalah nilai luhur budaya bangsa Indonesia. Tidak patut jika Pancasila dipersempit maknanya untuk sekedar "memberi tanda" pada pihak-pihak tertentu.
Jangan sampai Pancasila hanya sekedar rangkaian kalimat yang terus menerus digaungkan, jadi alat politik macam propaganda Jepang saat mengambil alih bangsa kita dari kuasa Belanda.
Catatan:
Penulis bukan pengamat politik