Awal Ramadan lalu, Indonesia dikejutkan dengan kasus paket takjil beracun di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kiriman sate ayam untuk santapan buka puasa berujung maut bagi nyawa yang tidak berdosa.
Celakanya korban tewas bukanlah sasaran utama pelakunya. Bermaksud ingin memberi pelajaran kepada pria yang membuatnya sakit hati, sate ekstra sianida malah dibawa pulang kurirnya karena ditolak si penerima.
Istri dan anak sang kurir yang muntah-muntah kemudian dilarikan ke rumah sakit setempat. Nahas, putranya yang baru berusia 10 tahun jadi korban dendam salah sasaran.
Dikutip dari yogya.inews.id, sasaran pelaku rupanya oknum polisi di Polresta Yogyakarta. Pelaku ternyata pernah terlibat hubungan gelap dengannya. Luka asmara memotivasi pelaku untuk mencelakai sang oknum polisi dan istrinya.Â
Dendam yang terus membekas mendorong pelaku memesan sianida secara online atas usulan temannya. Ia lantas mencampurkan bahan berbahaya tersebut dengan tujuan agar para targetnya sakit perut, tidak lebih.
Kita tentunya tidak habis pikir, kok bisa-bisanya ada orang yang tega berbuat demikian di Bulan Ramadan. Ia dengan sengaja menodai kemuliaan sedekah dan saling berbagi di bulan suci. Padahal laki-laki bukan cuma satu. Ia bisa cari gantinya kalau mau.
Alih-alih tuntas dendamnya, paket takjil kirimannya malah menghilangkan nyawa anak yang bahkan mungkin tidak tahu menahu soal perkara asmara orang dewasa. Dendam berlebihan memang kerap membuat manusia buta, tidak berpikir panjang akibat yang kelak ditimbulkannya.
Seperti segala keburukan yang terjadi di dunia, ada hikmah di balik kasus menggemparkan tersebut. Beberapa pelajaran yang bisa kita ambil di antaranya adalah pemanfaatan teknologi dan kebiasaan kita dalam mengelola rasa dendam.
Di zaman serba mudah sekarang, kita punya fasilitas yang cukup untuk melakukan interaksi sosial meski terpisah jarak. Jika dulu kita harus mengantri di wartel (warung telkom / warung telepon) untuk bisa berbincang dengan orang di seberang, sekarang kita cukup buka aplikasi di ponsel dan memilih mau sekedar teks atau bertatap lewat panggilan video. Dulu kita harus mengantar hadiah sendiri, kini kurir online dan offline berbaris di jalanan menunggu pesanan.
Kemudahan-kemudahan tersebut sepantasnya kita manfaatkan untuk hal-hal yang positif. Kemudahan teknologi dan fasilitas fisik dapat kita gunakan untuk mendekatkan yang jauh dan mempererat yang dekat.Â
Kemajuan zaman memang merupakan dua sisi koin yang saling melekat. Kebaikan yang diharapkan pastinya selalu disertai dengan keburukan yang bisa dimanfaatkan celahnya oleh yang bermaksud jahat. Di sinilah peran penting pelajaran kedua dari kasus takjil beracun ini.
Meski telah banyak diajarkan di pelajaran agama, budi pekerti, dan kewarganegaraan, implementasi "kejahatan harus dibalas dengan kebaikan" nampaknya memang cukup sulit dijumpai di kehidupan. Nyatanya banyak di antara kita yang lebh menikmati kesulitan orang agar sama-sama setimpal.Â
Para pencopet dan penjambret dengan senang hati kita pukuli dengan alasan agar mereka jera dan tidak datang lagi. Yang jatuh tersungkur malah kita sumpahi karena kita merasa itulah yang pantas ia dapati.
Pelaku paket takjil beracun tidak akan terjerat pidana dan ancaman hukuman mati jika ia menghentikan niat menuntut balasnya. Tidak akan kotor tangannya dengan kematian nyawa tidak berdosa karena kurang baik dalam mengelola perasaan dendamnya. Bisa saja ia menggantinya dengan hadiah yang baik untuk menyudahi murkanya.
Di momen Ramadan seperti sekarang ini, manajemen rasa dendam penting untuk kita asah kembali. Kita perlu semakin mempertajam keyakinan bahwa kejahatan yang dibalas kebaikan akan menuai lebih banyak kebaikan.
Kini tren berkirim hadiah menjamur lagi menjelang Idul Fitri. Dengan adanya larangan mudik, kita bisa memanfaatkan berbagai kemudahan yang kita miliki sekarang. Kiriman dapat mencapai teman, sahabat, keluarga, dan orang-orang terdekat lainnya dengan segera.
Mari sama-sama berdoa agar tidak muncul kasus parcel lebaran beracun menjelang Hari Kemenangan yang hanya sekali setahun.
Selamat Hari Raya dul Fitri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H