Disclaimer:
Tulisan ini bertujuan untuk berbagi informasi berdasarkan latar belakang keilmuan pribadi, serta nalar dan sudut pandang yang terbatas. Penulis tidak bermaksud membenturkan antara agama dan ilmu pengetahuan
Bagi yang sudah pernah melaksanakan ibadah haji dan umrah, pasti sudah tidak asing dengan Hajar Aswad. Batu berbingkai perak murni ini ditempatkan di bagian tenggara Ka'bah.
Baru-baru ini pemerintah Kerajaan Arab Saudi merilis foto resolusi tinggi Hajar Aswad. Foto yang diambil dengan resolusi kamera 49.000 megapixel tersebut membuat topik tentang Hajar Aswad cukup populer belakangan (lihat juga artikel ini)
Jamaah biasanya berebut untuk menyentuh dan mencium Hajar Aswad, sebagaimana yang disunnahkan Rasulullah SAW. Sebagian jamaah yang kesululitan menembus kerumunan melambaikan tangan sebagai tanda penghormatan.
Hajar Aswad dahulu diperkirakan memiliki diameter sekitar 30 cm. Batu tersebut kemudian terpecah menjadi 15 bagian dan direkatkan dengan matriks semen sebagaimana kondisinya saat ini.
Dalam Islam, Hajar Aswad berkaitan erat dengan Nabi Ibrahim dan putranya Nabi Ismail. Hajar Aswad ditemukan saat keduanya mencari batu untuk membangun Ka'bah. Mereka kemudian menempatkannya di salah satu penjuru Ka'bah.
Berdasarkan hadits riwayat Tirmidzi no. 877 yang shahih menurut Syaikh Al Albani, Hajar Aswad turun dari surga dan mulanya berwarna putih lebih putih daripada susu. Warnanya menjadi hitam sebagai akibat dari dosa-dosa manusia. Penjelasan asal muasal Hajar Aswad ini diyakini oleh seluruh umat muslim.
Namun sebagaimana benda-benda yang ada di dunia pada umumnya, Hajar Aswad lama kelamaan mengundang rasa penasaran, khususnya para peneliti di bidang geologi. Beberapa ahli telah coba mengungkapkan karakteristik fisik dan kemungkinan proses-proses geologi yang terlibat dalam pembentukannya.
Prior-Hey, seorang ahli geologi, pada tahun 1953 mempublikasikan buku Catalog of Meteorites. Dalam karyanya tersebut Prior-Hey menganggap Hajar Aswad sebagai meteorit sehingga ia memasukkannya ke dalam katalog. Anggapan tersebut rupanya berasal dari Kahn pada 1936 yang berpendapat bahwa Hajar Aswad adalah meteorit aerolit, meteorit yang lebih mirip batu biasa dan tidak didominasi besi dan nikel seperti halnya meteorit yang umum kita ketahui.
Pendapat para ahli geologi tersebut agaknya jadi tonggak awal kepercayaan publik soal Hajar Aswad yang datang ke bumi sebagai meteor.Â
Pemahaman soal Hajar Aswad sebagai meteorit pun nampaknya cukup sulit dipastikan. Hajar Aswad memiliki sifat dasar terapung di air. Hal ini diketahui pada tahun 950 saat Gubernur Makkah Abdullah ibn Akim menguji batu-batu yang diduga Hajar Aswad yang dicuri sekte Ismailiyah Qaramithah 22 tahun sebelumnya.
Hal tersebut menandakan bahwa Hajar Aswad memiliki densitas yang lebih kecil daripada 1 gr/cc. Sementara itu, rata-rata meteorit yang sampai ke bumi memiliki densitas 2 hingga 4 gr/cc, bahkan 7,8 gr/cc untuk meteorit dengan kandungan besi dominan.
Impactite di Struktur Wabar umumnya merupakan blok-blok gelas berwarna putih yang komposisinya didominasi silika. Beberapa bagian memiliki selubung berwarna kehitaman. Kenampakan tersebut agaknya cocok dengan deskripsi dalam hadist yang menggambarkan warna Hajar Aswad yang lebih putih daripada susu. Impactite yang juga berongga menyebabkan gas terjebak di dalam batuan dan memungkinkannya mengapung di air, persis seperti percobaan sifat dasar Hajar Aswad di atas.
Berdasarkan hasil penelitian Storzer dan Wagner pada tahun 1977, impactite Struktur Wabar memiliki kisaran umur 64 abad. Â Ini cukup dekat dengan masa hidup Nabi Ibrahim dan pembangunan Ka'bah yang diasumsikan berada sekitar 40 abad silam.
Pada tahun 1994 hingga 1995 Jeffrey C. Wynn dan Eugene M. Shoemaker melakukan penelitian lebih komprehensif terhadap kawah-kawah hasil tumbukan di Wabar. Mereka melakukan studi kuantitatif terhadap kecepatan penimbunan kawah-kawah di Wabar oleh pasir. Mereka mendapati Struktur Wabar rupanya terbentuk pada umur yang jauh lebih muda, yaitu kurang dari 450 tahun yang lalu.
Hipotesis tentang Hajar Aswad sebagai impactite pun menemui jalan buntu. Pendapat yang disampaikan Thomsen runtuh dengan sendirinya. Bisa kita simpulkan Hajar Aswad bukanlah meteorit, bukan pula impactite.
Sampai saat ini misteri tentang asal-usul Hajar Aswad masih jadi topik menggelitik bagi banyak ahli. Keterbatasan bukti saintifik adalah masalah utama.Â
Pemerintah Kerajaan Arab Saudi dengan keras melarang pengambilan sampel Hajar Aswad untuk penelitian hingga saat ini. Bagaimana tidak, Hajar Aswad memiliki nilai historis dan religius yang sangat tinggi bagi umat muslim.
Wallahu a'lam bisshawab
Referensi:
Wynn & Shoemaker. 1998. The Day The Sands Caught Fire. Scientific American November 1998.
Thomsen. 1980. New Light On The Origin of The Holy Black Stone of The Ka'ba. Meteoritics 15 no. 1 (1980).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H