Disclaimer:
Ulasan ini tidak ditujukan untuk memojokkan orang-orang yang yakin tentang bumi datar dan perkara-perkara yang ada di belakangnya
Sejak beberapa waktu lalu, kampanye bumi datar mulai bergaung di Indonesia. Berkat bombardir konten yang masif di berbagai media seperti blog dan Youtube, para penganut teori bumi datar mendapatkan banyak perhatian publik Nusantara. Salah satu yang paling terkenal adalah channel FE (Flat Earth) 101 Channel yang tercatat 4 tahun lalu mengunggah konten pertamanya.
Teori bumi datar cukup kontroversial karena berada di jalur yang jelas berbeda dengan sains modern. Meski begitu, teori bumi datar memberikan warna tersendiri dalam kehidupan kita dengan memberikan alur berpikir alternatif. Mereka dapat mencari benang merah antara rekayasa tempat kita berpijak dengan rencana segelintir elit global yang tengah mengendalikan penduduk dunia.
Dari sekian banyak argumen yang dikemukakan, satu hal yang paling menarik perhatian saya adalah bahwa selama ini kita dibohongi oleh sains lewat sistem pendidikan. Sistem pendidikan eksisting dianggap perpanjangan tangan para elit untuk menguasai pikiran kita dengan kebohongan bulatnya dunia. Sekolah juga dianggap tidak memacu peserta didik untuk berpikir kritis dan menerima doktrin semata.
Argumen tersebut agak menggelitik pikiran saya
Kebanyakan kita hanya menganggap para penganutnya sebagai orang yang halu, kerap menjadikannya bahan ejekan, dan mendebatnya sampai kering tenggorokan. Agaknya kita perlu membedah dari sudut pandang berbeda soal kelompok anti mainstream satu ini.
Jika digali lebih dalam, Flat Earth lebih dari sekedar tandingan hasil kerja ilmuwan. Flat Earth adalah ekspresi rasa tidak percaya dan kekecewaan terhadap otoritas yang dalam hal ini adalah pemerintah, lembaga pendidikan, dan tenaga pendidik.
Rasa tidak percaya dan kecewa tersebut melahirkan perlawanan terhadap sistem yang telah berjalan. Menolak dikendalikan, mereka mencoba keluar dari kekangan dan berpikir dengan bebas sebagaimana mereka anggap begitulah hidup seharusnya. Mereka merasa dipaksa apa adanya tanpa kesempatan melempar pertanyaan, merasa dicekoki teori begitu saja.
Tidak ada asap kalau tidak ada api. Sikap menentang otoritas tentunya memiliki faktor-faktor penyebab. Ada beberapa masalah yang saya coba gali dari fenomena bumi datar dan kaitannya dengan pendidikan kita pada umumnya.
Dikutip dari detik.com, dalam survei kualitas pendidikan yang keluarkan oleh PISA, Indonesia menempati peringkat ke-72 dari 77 negara. Indonesia bercokol di peringkat enam terbawah, jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei. Survei PISA merupakan rujukan dalam menilai kualitas pendidikan di dunia, yang menilai kemampuan membaca, matematika dan sains.
Menurut pengamat pendidikan peringkat yang rendah dalam survei oleh PISA disebabkan oleh sistem pendidikan kita yang masih kuno. Masih terlalu banyak aturan-aturan yang membelenggu sehingga kegiatan pendidikan sulit berkembang. Sistem yang feodalistik ini juga kurang menghargai keleluasaan berpikir, terutama peserta didik.
Peserta didik jadi kurang luwes dalam mengekspresikan apa yang ada di kepalanya. Eksplorasi dan eksperimen agaknya terlupakan. Papan tulis bicara, cukup mereka mendengarkan.
Jika suatu ketika ada semacam pencerahan yang datang, secara intuitif peserta didik akan meninggalkan hal-hal yang membuat mereka merasa terbelenggu. Otoritas akan dianggap makin bias, mereka pun meragu.
Ditambah lagi otoritas minim teladan. Ada saja permasalahan yang ditimbulkan, mulai dari korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan lain sebagainya. Orang-orang tidak lagi bisa memastikan apakah otoritas bisa jadi pegangan.
'Feodalisme' yang lama bercokol di sistem pendidikan Indonesia membuat siswa tidak terlatih berpikir secara kritis dan komprehensif. Kita jadi mudah terprovokasi berita-berita setengah jadi. Lihat saja babi ngepet dan rumah yang katanya dipindahkan jin, yang . . . . ah sudahlah.
Berpikir kristis dan komprehensif membantu melihat suatu permasalahan secara menyeluruh. Â Peserta didik tidak akan mudah ragu, tidak pula mudah percaya isu tanpa verifikasi.Â
Yang terasa sekarang banyak diantara kita yang kurang bijak menyaring informasi. Mudah terombang-ambing dan diyakinkan oleh perkara sepele. Di era digital macam sekarang tidak sulit mengedukasi, begitu juga menyulut emosi.
Sistem pendidikan yang feodalistik, kurangnya pola pikir kritis dan komprehensif, serta kurang bijak dalam menyaring informasi adalah permaslah utama yang menyebabkan lingkungan pendidikan kita seperti tidak berarti. Pendidikan bertahun-tahun mudah digoyang fakta-fakta tanggung yang jauh dari nalar berpikir seorang terpelajar.
Saya pribadi berharap semoga program-program di dunia pendidikan yang telah direncanakan dapat berjalan dengan baik. Perubahan sistem ke arah yang lebih terbuka akan menjadi angin segar bagi pendidikan Indonesia. Kita tunggu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H