Ada keyakinan yang berkembang di masyarakat bahwa hubungan itu sulit, penuh tantangan, dan sering kali harus melewati rintangan besar untuk mencapai kebahagiaan. Namun, apakah ini benar-benar berasal dari hubungan itu sendiri? Atau justru karena tekanan sosial yang terus-menerus memaksa pasangan untuk memenuhi standar dan norma yang dianggap "benar"? Seorang terapis pasangan yang berpengalaman berbagi pandangan dan cerita yang menggambarkan bagaimana harapan sosial sering kali menjadi akar dari berbagai konflik dalam hubungan.
Bagi banyak pasangan, hubungan mereka dinilai berdasarkan standar sosial. Mereka diharapkan untuk mengikuti jalan hidup yang linear: jatuh cinta, menikah, membeli rumah, memiliki anak, dan seterusnya. Namun, ketika pasangan gagal memenuhi salah satu dari tahapan ini, sering kali mereka menghadapi penilaian atau kritik dari lingkungan sekitar. Misalnya, pasangan yang memutuskan untuk tidak memiliki anak mungkin akan dianggap "aneh" atau tidak menjalani hubungan yang "benar."
Sayangnya, tekanan semacam ini dapat menciptakan ketegangan di antara pasangan. Dalam banyak kasus, keinginan untuk memenuhi ekspektasi masyarakat menyebabkan rasa malu, kebencian, bahkan konflik yang seharusnya tidak perlu terjadi. Ketika pasangan memaksakan diri untuk terlihat "normal" sesuai dengan standar sosial, hubungan mereka justru sering menjadi lebih tegang dan sulit.
Sebagai contoh, terapis pasangan tersebut menceritakan kisah nyata tentang pasangan yang bertunangan. Mereka menghadapi tantangan unik sebagai keluarga campuran dengan anak-anak dari hubungan sebelumnya. Masyarakat, termasuk keluarga besar mereka, berharap mereka untuk segera tinggal bersama setelah bertunangan. Namun, mencoba memenuhi harapan ini hanya menambah stres dalam hubungan mereka.
Setelah mencoba berbagai cara, pasangan ini akhirnya membuat keputusan yang tidak biasa: mereka memilih untuk tinggal terpisah meskipun sudah bertunangan. Keputusan ini awalnya mendapat kritik dari orang-orang di sekitar mereka. Namun, yang mengejutkan, cara ini justru memperbaiki hubungan mereka. Dengan memiliki ruang masing-masing, mereka mampu menjaga keharmonisan, mengurangi konflik, dan meningkatkan kualitas interaksi mereka sebagai pasangan.
Contoh ini menunjukkan bahwa tidak semua pasangan perlu mengikuti aturan "normal" untuk memiliki hubungan yang bahagia. Dalam beberapa kasus, justru dengan melawan norma, pasangan dapat menemukan solusi yang lebih baik untuk tantangan mereka.
Namun, cerita tidak hanya datang dari klien terapis ini. Dalam pengalamannya sendiri, ia melihat bagaimana orangtuanya menjalani hubungan dengan cara yang sangat unik. Meskipun telah menikah selama puluhan tahun, mereka selalu menjaga individualitas satu sama lain. Salah satu kebiasaan mereka yang unik adalah pergi ke acara-acara keluarga menggunakan mobil terpisah.
Bagi sebagian orang, kebiasaan ini mungkin terasa aneh atau menunjukkan jarak dalam hubungan. Namun, bagi orangtua terapis ini, kebiasaan tersebut adalah cara mereka menjaga kebebasan pribadi sambil tetap menghormati hubungan mereka. Dengan melakukan hal-hal secara terpisah di waktu tertentu, mereka dapat lebih menghargai waktu bersama. Hal kecil seperti ini membuktikan bahwa hubungan yang sehat tidak harus terlihat seperti yang umum dilakukan oleh pasangan lain.
Lalu, mengapa banyak pasangan tetap merasa terjebak dalam norma? Salah satu alasannya adalah ketakutan akan penilaian dari orang lain. Banyak pasangan merasa bahwa jika mereka tidak menjalani hubungan sesuai standar masyarakat, mereka akan dianggap gagal atau tidak bahagia. Padahal, yang benar-benar penting dalam sebuah hubungan adalah bagaimana pasangan tersebut merasa terhadap satu sama lain, bukan bagaimana mereka dilihat oleh orang lain.
Hubungan yang sehat seharusnya menghormati keunikan setiap individu di dalamnya. Jika ada pasangan yang merasa lebih bahagia dengan menjalani hubungan secara berbeda, seperti memilih untuk memiliki kamar tidur terpisah atau berbagi peran yang tidak konvensional dalam rumah tangga, itu adalah pilihan mereka.