Mohon tunggu...
Deni Lorenza
Deni Lorenza Mohon Tunggu... Lainnya - penulis

Seorang penulis berdedikasi yang mengeksplorasi pengembangan diri dan perubahan hidup melalui tulisan yang inspiratif dan berbasis penelitian ilmiah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Peran Simulasi dalam Menyelamatkan Demokrasi, Tantangan dan Solusi Modern

23 September 2024   07:43 Diperbarui: 23 September 2024   07:56 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Simulasi adalah salah satu alat yang semakin banyak digunakan dalam berbagai aspek kehidupan modern. Tanpa disadari, banyak orang bergantung pada simulasi, seperti ketika mereka memeriksa prakiraan cuaca sebelum keluar rumah atau menggunakan aplikasi peta untuk menghindari kemacetan lalu lintas. Namun, simulasi ternyata tidak hanya terbatas pada hal-hal sehari-hari semacam itu. Beberapa ahli percaya bahwa simulasi dapat memiliki peran yang lebih besar, terutama dalam menyelamatkan demokrasi dari berbagai tantangan yang semakin kompleks.

Dalam video berjudul Simulations Can Help Save Democracy oleh David Shor, dijelaskan bagaimana simulasi mampu membantu memecahkan masalah-masalah dalam demokrasi, khususnya di tengah perubahan teknologi, demografi, dan iklim yang cepat. Bagi Shor, simulasi bukanlah hal baru. Sebagai seorang ilmuwan komputasi, ia memahami bagaimana simulasi bisa digunakan untuk menganalisis sistem yang sangat rumit seperti otak manusia. Demikian pula, demokrasi adalah sistem yang juga sangat kompleks dan terus berkembang. Dengan pendekatan yang tepat, simulasi bisa membantu dalam memahami dinamika politik dan memandu reformasi yang diperlukan.

Salah satu tantangan besar yang dihadapi demokrasi saat ini adalah polarisasi politik. Meskipun banyak pemilih di Amerika Serikat yang mengidentifikasi diri mereka sebagai "independen" atau tidak terikat pada salah satu partai politik besar, polarisasi justru semakin kuat. Dua kutub politik utama, yaitu Demokrat dan Republik, semakin terpisah secara ideologis, dan ketegangan antara keduanya semakin meningkat. Hal ini menciptakan fenomena yang tampaknya bertentangan---di satu sisi banyak yang tidak ingin berafiliasi dengan partai politik, namun di sisi lain perpecahan politik semakin tajam.

Simulasi dapat membantu menjelaskan mengapa fenomena ini terjadi. Dengan menjalankan berbagai skenario simulasi, peneliti dapat melihat bagaimana interaksi antara pemilih, partai politik, dan kandidat mempengaruhi dinamika polarisasi. Salah satu hasil yang menarik dari simulasi adalah bahwa meskipun ada banyak pemilih independen, ketika mereka dihadapkan pada pilihan politik yang sangat ekstrem, mereka cenderung memilih salah satu kubu yang ada. Ini memperkuat polarisasi, karena semakin banyak orang yang merasa harus berpihak pada salah satu dari dua opsi yang terbatas.

Polarisasi yang semakin tajam dapat memunculkan bahaya lain, yaitu ekstremisme politik. Ketika hanya ada dua pilihan yang sangat berlawanan, pemilih dipaksa untuk mendukung salah satu kubu, bahkan jika mereka merasa tidak nyaman dengan pilihan tersebut. Dalam simulasi, terlihat bahwa semakin besar tekanan untuk memilih di antara dua pilihan ekstrem, semakin besar kemungkinan munculnya "kepanikan politik" di mana pemilih terpaksa memilih kandidat yang lebih ekstrem. Hal ini dapat menyebabkan munculnya pemimpin-pemimpin politik yang kurang moderat dan lebih radikal, yang bisa berpotensi merusak demokrasi itu sendiri.

Namun, simulasi juga menawarkan solusi untuk mengatasi masalah ini. Salah satu solusi yang dibahas dalam video adalah redistricting atau penggambaran ulang batas-batas wilayah pemilihan. Dalam banyak sistem demokrasi, terutama di Amerika Serikat, wilayah pemilihan sering kali dirancang sedemikian rupa sehingga memberikan keuntungan bagi satu partai politik. Ini dikenal dengan istilah gerrymandering, di mana wilayah-wilayah pemilihan dibuat tidak seimbang demi keuntungan politik. Dengan bantuan simulasi, peta wilayah pemilihan yang lebih adil dan seimbang dapat dibuat. Simulasi dapat menunjukkan di mana letak ketidakadilan itu terjadi dan bagaimana perbaikan dapat dilakukan.

Selain itu, simulasi juga menunjukkan bagaimana sistem pemilihan yang berbeda bisa mengurangi polarisasi. Salah satu sistem yang mulai diterapkan di beberapa daerah adalah ranked-choice voting. Dalam sistem ini, pemilih tidak hanya memilih satu kandidat, tetapi mereka mengurutkan kandidat-kandidat yang ada berdasarkan preferensi. Sistem ini memaksa kandidat untuk bersaing bukan hanya dengan lawan dari partai mereka sendiri, tetapi juga dengan kandidat dari partai lain. Hal ini mendorong kandidat untuk memperluas daya tarik mereka dan mengurangi polarisasi. Simulasi menunjukkan bahwa dengan sistem ini, kandidat yang lebih moderat dan dapat diterima oleh lebih banyak pemilih cenderung lebih berhasil.

Ada pula sistem lain yang disebut top-four primary system, di mana empat kandidat dengan suara terbanyak maju ke pemilihan umum tanpa memandang partai politik mereka. Dalam sistem ini, kandidat dari berbagai latar belakang politik harus bersaing di pemilu akhir, yang menciptakan lebih banyak kolaborasi antar partai. Simulasi menunjukkan bahwa sistem ini bisa mendorong lebih banyak kompetisi yang sehat dan mengurangi tekanan polarisasi.

Meski demikian, tidak semua reformasi pemilu membawa dampak yang positif. Salah satu ide yang sering diusulkan untuk mengatasi polarisasi adalah munculnya kandidat dari partai ketiga. Meskipun ini tampak sebagai solusi yang logis, simulasi menunjukkan bahwa kehadiran kandidat dari partai ketiga justru bisa menghasilkan apa yang disebut dengan spoiler effect. 

Dalam banyak kasus, kandidat dari partai ketiga tidak memiliki peluang nyata untuk menang, tetapi mereka bisa "merusak" pemungutan suara dengan mengambil suara dari salah satu kandidat utama, sehingga kandidat yang kurang populer atau lebih ekstrem justru bisa menang. Oleh karena itu, simulasi menunjukkan bahwa daripada fokus pada partai ketiga, reformasi sistem pemilu seperti ranked-choice voting dan redistricting jauh lebih efektif dalam mengurangi polarisasi dan menjaga stabilitas demokrasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun